Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Bab 10: Yang Tak Terucap Tapi Tertanam

Hujan sore itu turun perlahan, seperti enggan menyentuh tanah. Jendela kaca di ruang kerja dipenuhi titik-titik kecil yang melukis bayangan samar langit kelabu. Di balik layar laptop yang menampilkan angka-angka, aku diam-diam melirik sosok yang kini duduk beberapa meja di depannya. Elio. Selalu terlihat tenang, selalu tahu waktu yang tepat untuk bicara dan diam. Beberapa hari terakhir, interaksi mereka berubah. Bukan menjadi lebih romantis, bukan pula semakin intens. Tapi... lebih dalam. Seperti ada lapisan perasaan yang mulai terbentuk, tak banyak kata, namun penuh makna. Aku mengingat kembali malam minggu lalu, saat aku dan Elio berbincang lama di taman kecil dekat halte. Kami bertukar cerita tentang banyak hal malam itu, dan Elio bercerita tentang adik perempuannya, dan seolah dia memang tercipta untuk kuat, yang membuat dia tumbuh tanpa tahu cara meminta bantuan siapa pun. dan aku juga menceritakan mimpiku yang ingin pergi ke sebuah tempat di tempat yang pernah kita sebut lang...

Bab 9: Kehadiran yang Kubiasakan

Aku mulai terbiasa dengan hari-hari yang diam-diam kutunggu karena kehadiran seseorang. Bukan karena janji, bukan karena kata manis, tapi karena hal-hal kecil yang entah sejak kapan menjadi rutinitas diam-diam yang kurindukan. Pagi ini, aku membuka tas dan mendapati selembar kertas kecil terselip di sela buku agenda. Tulisan tangannya khas. Tegas, tapi rapi. "Hari ini dingin. Jangan lupa bawa jaket. Aku nggak mau kamu sakit." Entah kapan dia menyelipkannya. Tapi itu bukan yang pertama. Ada hal-hal kecil lain yang mulai sering kutemukan—tisu yang ditaruh di mejaku sebelum presentasi, camilan sehat saat tahu aku sedang diet, bahkan playlist musik yang tiba-tiba muncul di emailku dengan subject: "Untuk kerja sambil senyum." Awalnya aku menganggap semua itu sebagai bentuk perhatian biasa. Tapi semakin hari, semakin aku sadar... aku menantikan itu. Menantikan dia. Seperti pagi menanti matahari, atau laut menanti pasang. Di kantor, rutinitas seperti biasa. Tapi perasaanku...

Bab 8: Nama yang Kupilih untuk Menyebutmu

Pagi itu, kantorku masih berisik dengan bunyi mesin fotokopi dan suara ketikan yang tiada henti. Tapi hatiku... tak segaduh biasanya. Entah sejak kapan, suara-suara itu hanya seperti latar belakang dari satu suara yang lebih kuperhatikan: dia. Elio duduk tak jauh dari meja kerjaku. Seperti biasa, rapi dan tenang. Seperti laut dalam yang tak bisa ditebak. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya saat kami saling bertatapan beberapa kali pagi ini. Ada kehangatan yang membuatku berhenti berpura-pura sibuk dengan layar monitor. Ketika makan siang tiba, Elio menghampiriku dengan dua kotak bekal. “Makan bareng?” tanyanya singkat. Aku hanya mengangguk, meski detak jantungku tak sesingkat itu. Kami duduk di ruang pantry yang kebetulan sedang sepi. Sesekali ia mencuri pandang saat aku mencoba membuka sumpit plastik tanpa membuatnya patah di tengah. “Kamu tuh selalu berjuang dengan hal-hal kecil, ya,” ujarnya, senyum tipis muncul. Aku mendelik. “Kamu tuh selalu komentar hal...

Bab 7: Suhu yang Tak Terukur

Pagi itu, saat alarmku berbunyi, rasanya tubuh ini tak ingin diajak kompromi. Sepertinya sakitku makin parah dari kemarin. Mataku berat, kepala seperti dipenuhi kapas basah, dan tenggorokan makin nyeri dari kemarin. Tapi anehnya, aku tetap bangun. Seolah ada magnet yang menarikku untuk tetap bergerak, meski detak jantungku lemah dan peluh dingin merayap di pelipis. Kulayangkan pandangan ke luar jendela. Langit masih kelabu, gerimis yang mulai jatuh menetes pelan di kaca, membentuk pola abstrak yang menyiratkan suasana hatiku: tidak baik-baik saja. Tapi aku tetap berdiri, melangkah ke kamar mandi, menyikat gigi dengan perlahan, dan memilih pakaian kerja yang paling nyaman. Sampai di kantor, langkahku terasa lebih lambat dari biasanya. Tangga ke lantai dua terasa lebih curam, koridor lebih panjang, dan suara sepatu di lantai seperti gema tak berujung. Aku sampai di meja dengan sedikit terhuyung, dan sempat menarik napas panjang sebelum menyalakan laptop. "Kamu nggak apa-apa?" s...

Bab 6: Detak yang Tak Sadar Tertambat

Hujan semalam benar-benar membuatku kelelahan. Kupikir sedikit gerimis tak akan mengapa, tapi ternyata tubuhku tak setangguh yang kubayangkan. Kurasa aku masuk angin. Meski begitu, aku tetap berangkat kerja. Aku berdiri lama di depan lemari pakaian, menimbang mana yang bisa menyamarkan wajah pucatku. Pilihanku jatuh pada blus warna hijau zaitun dan celana hitam—warna yang netral dan tak mencolok. Aku membiarkan rambutku terurai, berharap bisa menutupi sedikit kekusaman di wajah. Sesampainya di kantor, ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. AC menyala seperti biasa, tapi tubuhku menggigil meski sudah memakai jaket tipis. Meja-meja mulai terisi, suara tuts keyboard mulai memenuhi udara. Aku duduk di kursiku dan membuka laptop, berusaha menyalakan semangat meski kepala masih berat. Lalu, sebuah insiden kecil terjadi. Aku bangkit menuju rak dokumen yang cukup besar di tengah ruangan. Saat tanganku meraih map berwarna cokelat, tangan lain juga meraihnya dari arah berlawanan. Jemariku me...

Bab 5: Ruang yang Tak Lagi Sepi

Pagi itu, aku bangun lima belas menit lebih awal dari biasanya. Entah kenapa mata ini terbuka begitu saja, tanpa alarm, tanpa suara gaduh dari luar. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang kosong. Rasanya seperti… ada yang menunggu. Aku berdiri di depan cermin, merapikan rambut lebih lama dari biasanya. Menatap wajah sendiri, lalu menyesuaikan kerah kemeja yang tak terlalu kusut. Bukan karena ingin tampil menarik. Hanya… ingin terlihat layak. Entah untuk siapa. Di kantor, semuanya berjalan seperti biasa. Meja-meja sibuk, komputer menyala, suara tuts keyboard bersahutan. Tapi ada yang berbeda hari ini: sebuah kotak kecil putih polos ada di atas mejaku. Tanpa nama, tanpa catatan. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi semua terlihat sibuk. Perlahan kubuka kotaknya. Dua potong roti lapis. Dan selembar kertas kecil. Kamu lupa bawa bekal. Jangan sampai lapar, kamu bukan mesin. Tulisan tangan itu membuat detakku berpacu. Tak bertanda tangan, tapi aku tahu betul siapa yang menulisnya. Elio. Aku menoleh ke ...

Bsb 4 – Garis Interaksi

Aku menemukan diriku menunggu. Tak lagi hanya berharap tanpa sadar, tapi sungguh-sungguh menanti kehadiran yang entah sejak kapan jadi bagian dari hariku. Pagi itu, aku datang lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, ada rasa ingin tiba lebih dulu di kantor, seolah ada sesuatu yang menantiku di ruang kerja yang dingin dan datar itu. Mungkin bukan sesuatu—tapi seseorang. Aku duduk di meja, menatap layar laptop yang bahkan belum kutekan tombol power-nya. Tanganku menggulir mouse tanpa arah. Pandanganku beberapa kali melirik ke arah pintu. Sunyi. Lalu— Langkah itu datang, ritmenya seperti jeda di antara lagu yang terlalu sering kudengar akhir-akhir ini. Dia masuk, kali ini tanpa kopi di tangan. Ia tidak menatap langsung ke arahku, tapi saat ia melewati meja kami, aku tahu. Pandangan kami bersinggungan sejenak. Ada jeda yang terasa menggantung di udara. Singkat, tapi cukup untuk membuat jantungku berdetak tak beraturan. Seharian kami tak banyak berbincang. Tapi kehadirannya cukup membuatku ...

Bab 3 – Payung yang Sama

Tak ada hujan pagi itu. Tapi bukan berarti semuanya lebih baik. Langit tetap kelabu, seolah lupa caranya cerah. Udara lembap membuat pakaianku terasa berat, dan genangan masih tersisa di beberapa sudut jalan, menyimpan sisa hujan kemarin seperti luka yang belum sembuh. Aku sampai di kantor lebih pagi dari biasanya. Meja-meja masih kosong, lampu-lampu belum semua menyala, hanya sebagian ruangan yang terang oleh cahaya remang dari luar jendela. Aku menyalakan komputer, membuka email, dan mulai bekerja dalam sunyi. Di daftar presensi kantor, tertulis jelas:  Zayka Seliya Tari . Nama lengkapku. Setiap kali membacanya, ada sedikit perasaan asing yang menggigit. Aku tak pernah benar-benar menyukai nama "Seliya". Itu hanya potongan nama dari sebuah kompromi orangtuaku—singkatan yang entah sejak kapan dipaksakan menjadi bagian dari identitasku. Kalau boleh memilih, aku lebih nyaman dengan Zayka. Seliya selalu terdengar seperti nama yang bukan milikku. Tapi aku tak pernah benar-benar ...

Bab 2 – Hari Tanpa Warna

Keesokan harinya, dunia masih abu-abu. Hujan masih turun tipis, langit tetap kelabu, dan langkahku menuju kantor tetap lambat karena sepatuku belum benar-benar kering. Aroma apek dari kain basah menemani pagi itu, seolah menempel pada tubuhku dan enggan lepas. Kota ini selalu seperti ini. Aneh. Seperti tidak punya musim. Panas dan hujan datang sesukanya, kadang berganti dalam satu hari. Mungkin karena letaknya di pesisir, dekat laut yang selalu membawa awan entah dari mana. Udara asin menyelinap masuk ke paru-paru, bercampur dengan aroma aspal basah dan asap kendaraan. Aku tidak pernah benar-benar paham kapan musim hujan dimulai, karena rasanya hujan bisa turun kapan saja. Kadang, matahari bersinar terik saat pagi, lalu langit berubah mendung tanpa aba-aba saat siang, dan malam datang dengan badai. Waktu terasa kabur di sini. Tidak ada musim gugur atau musim semi. Hanya pergantian dari panas yang melelehkan ke dingin yang menggigilkan. Aku duduk di halte dengan kepala bersandar di t...

Kau Tak Harus Kuat Hari Ini

BAB 1 – Selimut Tipis, Sepatu Robek Pagi itu, sekitar pukul tujuh, tepat sebelum jam terlambat kantor, hujan masih turun rintik-rintik dari langit yang kelabu. Aku berdiri di pinggir jalan, tubuhku membeku oleh udara dingin dan sepatuku yang basah kuyup. Jaket yang kupakai sudah tak mampu lagi menahan air yang menetes dari ujung payung orang-orang yang berlalu-lalang, karena aku tak membawa payung. Sepatuku, yang ujungnya sudah robek, menyisakan rasa perih setiap kali aku melangkah. Rasanya seperti luka lama yang tak kunjung sembuh, tapi aku harus terus berjalan. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Karena hidup ini bukan tentang ingin, tapi tentang bertahan. Kontrakan kecil yang kusebut rumah tak pernah benar-benar hangat. Dindingnya lembap, warnanya pudar. Aku tinggal di kamar 2x3 meter, cukup untuk satu kasur tipis, satu meja kecil bekas, dan gantungan baju di pojok ruangan. Di sana, selimut tipis milikku menjadi saksi bisu berapa kali aku menggigil dalam diam. Tapi entah kenapa, ...

Bab 8 — Rumah Manusia

Masuk ke rumah manusia itu rasanya... aneh. Bukan karena takut, ya. Tapi karena lantainya terlalu bersih. Kayak belum pernah diinjak makhluk jalanan seumur hidupnya. Bau karbol dan aroma sabun cuci piring bersaing dengan hidungku yang terbiasa dengan bau trotoar dan gorengan jatuh. Begitu kaki depan menyentuh ubin, aku langsung ngerasa... asing. Ini bukan kardus bekas mie instan. Bukan juga keset di depan minimarket. Ini permukaan yang bisa bikin refleksi diri muncul tanpa disuruh. Lantai licin, terang, dan... dingin. Rasanya kayak masuk surga, tapi belum siap mental. Aira membuka pintu pelan, lalu melongok ke arahku. “Masuk, Rei. Gak apa-apa kok.” Aku melangkah. Pelan-pelan. Kaki satunya seperti mau balik ke luar, tapi ego berkata lain. Gue ini Raja Trotoar. Masa kalah sama karpet berbulu lucu begini? Begitu masuk, aku langsung diam. Bukan karena takut. Tapi karena... banyak banget bantal. Di sofa. Di lantai. Di kursi. Di sudut ruangan ada rak kecil isinya buku, lilin aroma tera...

Bab 7 – Hujan(lagi), Handuk, dan rumah

Aku selalu mikir, hidup itu kayak hujan tiba-tiba pas lo lagi tidur di atas trotoar—bete, nggak jelas, dan basah semua tanpa ampun. Dan hari itu, waktu aku manggil dia “teman”, aku gak nyangka itu bakal bikin aku ngerasa kayak lagi diselimutin takdir yang basah dan ribet. Rei itu aneh. Dia kayak teka-teki yang gak bisa aku pecahin. Kadang aku mikir, dia kayak manusia yang punya aroma “spesial” yang bikin kamu pengen minggir, tapi juga pengen deket. Susah dijelasin. Sejak hari itu, aku sering banget ketemu dia nongkrong depan dealer motor tempat aku kerja. Bukan karena dia suka motor—gak deh. Tapi karena aku suka denger dia, suara yang bikin hati gue kadang ikutan senyum tanpa alasan jelas. “Reiiiii!” aku teriak dari dalam dealer, berharap dia denger. Dan dia pasti jawab, kayak speaker yang lagi on tapi kadang nge-lag. Hari itu aku ngasih dia ikan goreng—ya, gorengan klasik yang selalu jadi favorit aku juga. Tapi yang paling penting, aku cerita tentang hari aku yang capek banget. Bo...

Bab 6 - Hujan, Gorengan, dan Bau yang Nggak Bisa Dilupakan

Hari itu hujan turun sangat deras. Langit gelap seperti sedang murung, dan aku—yang hanya membawa payung ungu dan jaket merah tipis—terpaksa mencari tempat berteduh. Terlihat orang-orang berdesakan di bawah kanopi toko, berkerumun sambil memeluk diri sendiri. Udara dingin, dan sedikit basah menyelusup ke sela-sela pakaian. Saat itulah aku melihatnya. Ada makhluk duduk di pojok dekat motor. Sedikit kusut, tapi wajahnya tenang. Matanya tajam namun tidak liar. Justru ada ketenangan yang aneh di dalam sorot matanya. Seperti... orang yang sudah melewati banyak hal, tapi masih bisa duduk santai, mengamati dunia tanpa banyak bicara. Entah kenapa, aku merasa dia sedang menungguku. Ada aroma khas yang langsung menyengat begitu aku mendekat. Sejenis... bau tai kucing yang sudah akrab dengan hujan dan kehidupan jalanan. Aku refleks mundur setengah langkah. Tapi anehnya, tidak kabur. Mungkin karena dia menatapku. Bukan tatapan minta makan atau tatapan takut. Tapi lebih ke arah... "Ya, aku ...

Bab 5 – Pertemuan yang Bukan Sengaja

Sebelum Rei datang, hidupku tuh… Meh. Bukan yang tragis, bukan yang bikin sinetron kehabisan stok air mata. Cuma... ya, kayak teh tawar yang lupa dikasih gula. Gak pahit sih, tapi juga gak ada alasan buat diminum. Tapi tetap diminum, karena... ya, udah terlanjur diseduh. Setiap pagi aku bangun, buka tirai kosanku yang langsung ngadep ke tembok tetangga, dan bertanya ke diri sendiri: "Hari ini ada hal spesial gak, Aira?" Biasanya jawabannya: "Ada, laler mati di bawah galon." Kerjaan? Aman, stabil, dan cukup membunuh jiwa secara perlahan. Aku bagian admin di dealer motor. Ngecek nomor rangka, masukin data STNK, dan nyelametin printer dari keinginan bunuh diri. Bosku? Tipe manusia yang kalau ngasih senyum, kayaknya itu sisa dari stock lebaran dua tahun lalu. Tapi ya sudahlah, yang penting THR lancar. Kehidupan sosial? Kosanku kayak reality show versi low budget. Satu suka bawa pacar, satu lagi doyan rebus telur jam 2 pagi. Aku? Paling rame kalau ngomong...

Bab 4 – Pelindung Kecil

Manusia itu lemah. Itu kesimpulan gue setelah tiga minggu mengamati Aira dari sudut parkiran dealer. Lemah bukan dalam arti negatif—lebih kayak... gampang capek, gampang takut, gampang jatuh hati, gampang nyebelin juga kadang. Hari itu Aira kelihatan pucat. Mata panda. Jalan kayak robot habis di- restart . Tapi tetap senyum waktu ngelihat gue di pojokan. “Hei, Rei...” suaranya pelan. “Hari ini gak bawa makanan ya. Aku... agak mual. Kayaknya kecapekan. Tadi malam gak bisa tidur.”. Biasanya dia selalu ceria. Tapi hari ini tangannya gemetar. Dia cuma ngelihat langit dan bilang, “Kadang, aku pengen jadi kayak kamu deh. Tidur kapan aja, gak mikirin cicilan, gak takut sama bos yang suka dadakan ngajak Zoom.” Gue melirik dia, lalu berdiri, dan... ...menyundulkan kepala gue ke Aira. Gak ada artinya secara medis, memang. Tapi semoga itu artinya: ‘Lo gak sendiri.’ Sore itu, bahaya datang dari bentuk paling tidak terduga: kecoa terbang . Aira baru selesai tutup dealer dan lagi kunci-kun...

Bab 3 – Semakin Aneh, Semakin Dekat

Buat gue, takdir itu kayak hujan mendadak pas lo lagi tidur di atas trotoar—gak jelas, ngeselin, tapi lo tetap kena basahnya. Dan hari itu, waktu Aira bilang gue “teman”, gue langsung ngerasa kayak... diselimutin takdir. Jujur aja,  banyak hal yang gue gak ngerti dari manusia. Gue nggak ngerti kenapa mereka suka nyanyi di kamar mandi tapi malu kalau ketauan. Gue juga nggak ngerti kenapa mereka selalu nyari kunci motor pas udah telat, padahal kuncinya udah nemplok di tangan. Tapi yang paling gue nggak ngerti… kenapa gue jadi pengen ketemu Aira lagi. Sejak hari itu—hari ketika gue ketemu sama Aire gue jadi sering mangkal di depan dealer motor tempat dia kerja. Bukan karena gue suka motor. Tapi karena gue suka denger dia ketawa. “Reiiiii!” seru Aira dari dalam. “Eh kamu dateng lagi! Mau makan? Atau... mau ngobrolin hidup?” Dia duduk di samping gue, manggil-manggil pakai suara cemprengnya yang... anehnya, nggak bikin telinga sakit. Aira tuh kayak speaker bluetooth murahan yang...

Bab 2 – Petualangan Si Raja Trotoar

Gue percaya semua makhluk hidup terlahir dengan takdirnya masing-masing. Ada yang jadi burung, bebas terbang ke langit. Ada yang jadi ikan, bebas ngelamun di air. Dan ada juga yang seperti gue—terjebak jadi makhluk jalanan yang satu-satunya prestasi hidupnya adalah bisa tidur di lima jenis kardus berbeda. Tapi, hei, jangan salah. Gue ini Raja Trotoar . Penguasa emperan, raja gorengan jatuh, dan pemilik hak paten atas posisi tidur yang bisa bikin tukang parkir iri. Tiap pagi gue bangun di bawah warung bubur. Siang, pindah ke depan ATM, pura-pura menunggu antrian. Malam? Tidur di dekat mobil di parkiran, biar dikira punya orang dalam. Hidup gue fleksibel, penuh strategi, dan penuh ayam goreng. Tapi ada satu aturan utama: jangan masuk wilayah dealer motor Yahama . Bukan karena gue takut. Tapi karena di sana ada Pak Johni , sales dealer sekaligus makhluk paling absurd yang pernah hidup. Dia percaya reinkarnasi itu nyata, dan dia yakin dulunya adalah seekor ayam betina yang mati karena ...

BAIK (BAU TAI KUCING)

Bab 1 – Tai Kucing dan Filosofi Jalanan Ada hal-hal yang gak bisa dijelasin pakai logika. Contoh aja: kenapa setiap kali gue jatuh cinta, badan gue baunya kayak tai kucing? Serius, deh. Bukan cuma amis atau asem—tapi bau menyengat khas kotoran kucing , yang bisa bikin bayi nangis dan anjing kabur. Gue gak pernah lihat kucingnya, apalagi nginjek kotorannya. Tapi setiap kali hati gue mulai bergetar, entah kenapa... tubuh gue ikut berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Gue kira awalnya itu kutukan. Atau efek samping dari kurang gizi. Tapi kata dokter, gue ini terlalu sehat buat punya masalah medis yang aneh-aneh. “Lagipula, siapa juga yang badannya bisa bau tai kucing karena jatuh cinta?” kata dokter sambil semprot parfum fruity blossom ke dirinya. Ironisnya, parfum itu justru bikin gue makin pengen muntah. Gue tinggal di jalanan. Tapi jangan salah, gue bukan pengangguran. Gue sibuk . Pagi mikirin sarapan, siang mikirin kenapa hidup ini keras banget, malam mikirin kenapa gue masih hidu...

Epilog – Denting Terakhir

Rana duduk di dermaga. Cahaya pagi menyapu rambutnya yang ditiup angin. Di belakangnya, rumah kecil yang tenang. Di hadapannya, laut yang tak pernah menjelaskan apa-apa. Hanya menunggu—tanpa tanya, tanpa batas—kembalinya Ilham yang entah kapan. Di sampingnya — buku catatan yang terlihat baru. Tinta di halaman pertama masih basah. Tapi… ia tak ingat menulis apapun. Halaman itu hanya berisi satu kalimat: “Denting pertama adalah awal, tapi bukan permulaan.” Rana menoleh ke tiang kayu kecil rumahnya. Lonceng tergantung di sana. Masih yang sama. Tapi kali ini, ia terasa… lebih berat. Seolah menyimpan sesuatu. Dentingnya terdengar — satu kali. Dan dalam sepersekian detik, mata Rana berkedip. Bibirnya bergerak kecil. “Aku… pernah di sini.” Hatinya tercekat. Pandangannya menyapu lautan. Kosong. Tapi juga penuh. “Orang bilang sabar itu menunggu. Tapi bagi Rana, sabar adalah samudra.” Kalimat itu kembali. Di jauh sana, di tengah samudra, seorang Ilham bersama dua temannya berdiri di geladak pera...

Bab 11 – Saat Laut Menarik Segalanya

Pagi datang dalam kabut. Matahari terbit setengah hati di balik awan kelabu. Pulau terasa sunyi. Bahkan burung-burung tampak lupa cara berkicau. Ilham berdiri di tepi dermaga, mengenakan jaket tuanya yang warnanya sudah pudar. Di sakunya: secarik kertas kecil, tali goni usang, dan lonceng yang sudah ia lepaskan semalam — kini tergantung kembali di tangannya, seperti menolak ditinggal. Damar dan Asra tak terlihat. Seolah mereka hanya bagian dari satu malam saja, lalu hilang seperti mimpi buruk yang tak sempat selesai. Ilham menatap laut. Tapi pikirannya pada Rana. "Kalau ini harus terjadi lagi... aku gak mau dia ikut terseret. Kalau aku harus mengulang, biar aku saja yang tahu semuanya." Ia meletakkan lonceng itu kembali ke tiang kayu kecil rumahnya. Ia menggantungkannya pelan, lalu membisikkan sesuatu pada angin: “Kalau kau datang lagi, kembalikan aku ke tempat di mana aku bisa memperbaiki semuanya.” Denting pelan menjawab. Seolah laut mengerti. Rana berdiri tak...

Bab 10 – Ombak yang Tak Kembali

Pagi itu, langit tampak lebih kelabu. Angin tak membawa aroma garam seperti biasa, dan suara ombak terdengar lamban. Rana duduk memandangi dermaga kosong. Di pangkuannya, secarik kertas terlipat dua: surat singkat dari Lio. “Rana, aku harus kembali. Laut memanggilku lagi. Tapi bukan karena aku ingin pergi darimu, justru karena aku ingin kamu tetap di sini, berdiri untuk dirimu sendiri.” Di akhir surat, tersemat gambar kecil: peta pulau ini dengan lingkaran merah di bagian timur. Di bawahnya tertulis, “di sana, denting lebih keras.” Rana menatap jauh ke laut. Ada ruang kosong di dalam dirinya yang entah kapan mulai tumbuh. Dan untuk pertama kalinya, Rana mulai merasa… denting itu bukan hanya pertanda.  Ia adalah bagian dari sesuatu yang belum dia pahami. “Kenapa semuanya terasa seperti berulang?” Ilham berdiri di balik tirai, memperhatikan Rana yang termenung. Tangannya mengepal. Ia ingin keluar, mengatakan sesuatu, tapi kata-kata terasa berat—seolah lidahnya dikunci oleh waktu...

Bab 9 – Langkah yang Terlambat

Malam itu, Ilham pulang lebih awal dari biasanya. Pintu rumah terbuka sedikit, dan suara denting lonceng di kejauhan terasa lebih jelas—seperti sebuah panggilan yang mengingatkan mereka pada masa lalu yang tak bisa dilupakan. Rana sudah berada di ruang tamu, duduk dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang cantik kini tampak lebih muram dari biasanya. Ilham berdiri di ambang pintu, memperhatikan wanita yang ia cintai, tetapi hatinya terasa semakin jauh. Ia tahu sudah terlalu banyak yang rusak di antara mereka—terlalu banyak kebohongan yang ia tutupi, terlalu banyak kata-kata yang tak pernah diucapkan. Tapi malam ini, ia tidak ingin lagi bersembunyi. “Aku ingin bicara, Rana,” katanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Rana menatapnya dengan tatapan kosong. Ada luka di matanya yang tak bisa disembunyikan. “Kau ingin bicara? Setelah semua yang kau sembunyikan dariku?” Ilham menarik napas dalam-dalam, berjalan menuju kursi di depan Rana. Ia duduk, dan ada keheningan yang berat. Dentin...

Bab 8 – Menghitung Ombak yang Pergi

Hari-hari berikutnya, Rana merasa seperti ada dua dunia yang berusaha menariknya. Dunia yang gelap, penuh kebohongan, dan kekerasan—dunia yang dibangun oleh Ilham. Dan dunia lain, yang terasa lebih terang, meski belum sepenuhnya ia pahami, bersama Lio. Dunia yang penuh senyum sederhana dan percakapan yang tidak terbebani oleh rahasia. Pagi itu, Rana kembali ke pelabuhan dan tanpa sengaja menemukan Lio duduk, memoles papan kayu kecil menjadi bentuk aneh yang entah akan jadi apa. Di sampingnya, seikat rumput laut tergulung rapi dan peta-peta tua yang tampak ringkih oleh air asin. "Apa lagi yang kau bentuk dari laut hari ini?" tanya Rana, duduk di sebelahnya sambil menyentuh gulungan peta itu. Lio mengangkat bahu. "Papan bunyi. Di tempat tertentu, kalau ditaruh di laut, dia bakal bergetar. Aku sedang mencari denting yang benar." Rana mengerutkan dahi. "Denting?" "Suara laut. Setiap perairan punya nada sendiri. Samudra India itu berat, dalam, kayak dada ...