Bab 6: Detak yang Tak Sadar Tertambat
Hujan semalam benar-benar membuatku kelelahan. Kupikir sedikit gerimis tak akan mengapa, tapi ternyata tubuhku tak setangguh yang kubayangkan. Kurasa aku masuk angin.
Meski begitu, aku tetap berangkat kerja. Aku berdiri lama di depan lemari pakaian, menimbang mana yang bisa menyamarkan wajah pucatku. Pilihanku jatuh pada blus warna hijau zaitun dan celana hitam—warna yang netral dan tak mencolok. Aku membiarkan rambutku terurai, berharap bisa menutupi sedikit kekusaman di wajah.
Sesampainya di kantor, ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. AC menyala seperti biasa, tapi tubuhku menggigil meski sudah memakai jaket tipis. Meja-meja mulai terisi, suara tuts keyboard mulai memenuhi udara. Aku duduk di kursiku dan membuka laptop, berusaha menyalakan semangat meski kepala masih berat.
Lalu, sebuah insiden kecil terjadi.
Aku bangkit menuju rak dokumen yang cukup besar di tengah ruangan. Saat tanganku meraih map berwarna cokelat, tangan lain juga meraihnya dari arah berlawanan. Jemariku menyentuh jemari seseorang. Kami sama-sama terdiam.
Elio.
Ia menatapku. Mata itu, gelap dan dalam, tak segera berpaling. Dan untuk sepersekian detik, aku tak bisa berpikir. Jari-jariku masih menyentuh punggung tangannya sebelum aku buru-buru menariknya.
"Maaf," kataku pelan, lalu tiba-tiba terbatuk kecil. Tenggorokanku gatal.
Elio mengernyit. "Kamu sakit?"
Aku menggeleng pelan. "Enggak... cuma masuk angin sedikit."
Dia diam, tapi ekspresinya tak berubah. Seperti sedang menilai apakah aku sedang bohong.
Lalu dia berkata, tanpa intonasi berlebihan, "Kalau kamu pingsan, aku enggak janji bisa ninggalin kamu begitu aja."
Aku menoleh, menatapnya. "Maksudnya?"
Dia mengambil map lain dari rak. "Artinya jangan nekat."
Dan ia pergi begitu saja.
Aku berdiri mematung di antara rak dokumen, jantungku berdetak lebih kencang dari seharusnya.
Jam makan siang, aku masih tak terlalu nafsu makan. Tapi aku tetap ke pantry dan membuka kotak makan yang tadi sempat kubeli di minimarket. Rasanya hambar. Entah makanan ini memang hambar, atau lidahku yang tak bisa merasakan apa pun.
Saat kembali ke meja, aku tertegun. Di samping keyboardku, ada termos kecil berwarna abu-abu. Bukan milikku.
Tertempel post-it kuning dengan tulisan tangan yang khas:
"Air hangat. Buat tenggorokanmu. Kembalikan nanti sore."
Tanpa nama. Tapi aku tahu.
Aku meraih termos itu, membuka sedikit tutupnya. Aroma jahe samar menguar. Susu jahe. Bukan sekadar air putih.
Aku mengangkat wajah dan menoleh ke arah mejanya. Elio sedang mengetik, tidak menoleh ke mana-mana. Seperti biasa. Tapi aku tahu… dia tahu aku melihatnya.
Aku menyesap susu hangat itu perlahan. Rasa pedas jahe langsung menjalar ke tenggorokan dan perutku. Hangat. Lebih dari cukup.
Dan senyum itu, lagi-lagi muncul di bibirku tanpa bisa kukendalikan.
Sore hari, hujan turun rintik. Gerimis yang tak deras, tapi cukup membuat sepatu basah jika berjalan tanpa pelindung.
Aku membereskan meja lebih awal, berharap bisa pulang sebelum hujan bertambah deras. Tapi saat berdiri, aku baru sadar satu hal: aku tak membawa payung.
Aku menatap keluar dari balik jendela kaca kantor. Genangan air sudah mulai terbentuk di pinggir jalan. Aku menggigit bibir bawah, bimbang.
Lalu suara lembut terdengar dari arah belakang.
"Kamu nunggu reda, atau… ikut aku aja?"
Aku menoleh. Elio berdiri sambil memegang payung lipat yang baru saja dibuka. Hujan gerimis menetes di kaca, tapi di bawah payung itu ada ruang kecil yang hangat.
Aku ragu sesaat.
"Aku tahu kamu enggak suka minta bantuan," katanya lagi, suaranya pelan.
"Tapi kadang orang yang kuat juga butuh berteduh."
Aku mengangguk perlahan. Dan kami berjalan berdampingan, dalam diam. Payung itu cukup besar, tapi tetap saja bahu kami sesekali bersentuhan. Aku bisa merasakan napasnya, ritmenya yang tenang.
Kami berjalan sampai di halte. Ia mengantar sampai ke halte. sebenarnya dia menawarkan mengantar sampai kosan tapi aku menolak, aku belum siap.
Aku menatapnya. Kali ini tak mencoba menyembunyikan apa pun di wajahku.
"Elio..."
Ia menatapku balik.
"Terima kasih. Untuk semuanya."
Dia hanya mengangguk. Tapi tatapannya lama, dan ada sesuatu yang tak terucap di dalamnya. Seperti… sesuatu yang sengaja belum dibuka.
Dan aku tahu, detak ini… sudah tak bisa kusembunyikan lagi.
Malam harinya, aku duduk di tepi tempat tidur. Tangan memegang termos yang tadi sudah kubersihkan dan keringkan. Kupandangi benda kecil itu, benda sederhana yang terasa jauh lebih berarti dari yang terlihat.
Aku menyentuh bagian luar termos itu dengan jari. Menyusuri teksturnya, seolah mencoba memahami perasaan sendiri.
Aku menulis pesan singkat:
"Termosnya sudah kubersihkan. Bisa kukembalikan besok pagi?"
Tak lama, balasannya muncul:
"Boleh. Tapi kamu harus minum air hangat lagi malam ini."
Aku tersenyum. Tak membalas. Tapi pesan itu kutatap lama.
Tiba-tiba saja, aku teringat sesuatu yang membuatku tertawa pelan: tadi siang, saat hendak masuk pantry, aku melihat bayangan kami di kaca lift. Langkah kami nyaris seirama. Seperti dua nada yang akhirnya menemukan irama.
Dan saat itu juga, aku sadar sesuatu.
Kadang, tanpa sadar, hati kita sudah tertambat. Bukan karena kata-kata besar, bukan karena gombalan, bukan karena janji manis. Tapi karena hal-hal kecil. Satu sendok susu jahe hangat. Satu payung kecil. Satu kalimat ringan, yang justru terasa dalam:
"Aku enggak janji bisa ninggalin kamu begitu aja."
Dan hari itu, aku tahu.
Aku sudah tidak berjalan sendirian lagi.
Komentar
Posting Komentar