Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama
Pagi itu laut masih biru, tapi tidak lagi kelabu.
Rana duduk di tepian perahu kecil yang baru selesai diperbaiki. Catnya belum kering sempurna, tapi Ilham bersikeras ingin mengujinya hari ini. “Biar laut tahu kita tak menyerah,” katanya sambil menatap cakrawala, seolah sedang menantang masa lalu.
Mereka melaut bersama. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun. Rana membawa bekal kecil: nasi bungkus, ikan goreng, dan sepotong harapan yang lama ia simpan rapat-rapat di dada.
Angin bergerak lambat. Ombak menggulung pelan, seolah ingin mendengar cerita yang mereka simpan. Di tengah lautan, mereka tidak banyak bicara. Hanya suara air, kayu yang berderak pelan, dan napas yang kadang tercekat oleh rasa yang tak bisa dijelaskan.
“Aku sempat ingin mati,” kata Ilham akhirnya. “Tapi ada satu hal yang menahanku: bayanganmu duduk di jendela, menunggu... dan denting itu.”
Rana menoleh.
“Aku dengar denting itu juga, di pulau tempat aku terdampar. Lonceng kecil dari kapal karam yang tersisa. Aneh sekali. Tapi sejak itu, aku tahu... aku belum selesai. Aku belum boleh selesai.”
Rana menggenggam tangan Ilham. Tidak erat. Tidak lemah. Tapi cukup untuk membuatnya tahu: dia ada.
Denting.
Lonceng di perahu berayun pelan. Sekali saja. Lalu sunyi lagi.
“Angin berubah,” ujar Rana.
Ilham tersenyum. “Ya. Dan kita juga. aku merasa lebih baik disini.”
Laut tak perlu menjadi saksi. Ia hanya ruang. Tapi sabar—itu yang membuat keduanya tetap bertahan. Dan denting—itulah pertanda bahwa segalanya memang bisa berubah… bahwa luka bisa pulang, dan cinta bisa tumbuh lagi, dari reruntuhan, dari puing-puing kehilangan.
Hari itu mereka tidak menangkap banyak ikan. Tapi mereka membawa pulang sesuatu yang lebih berharga: keyakinan bahwa mereka bisa memulai awal baru, meski semuanya pernah hampir tenggelam.
Rumah yang Tak Lagi Sepi
Matahari sore menggurat langit dengan warna jingga tua. Perahu kecil mereka bersandar pelan di dermaga. Ilham memegang tali tambat seperti seseorang yang baru belajar mengikat hidupnya kembali. Sementara Rana memanggul keranjang kosong, matanya memandangi langit yang tak terbakar—hanya hangat, seperti hatinya.
Rumah itu masih sama. Kayu-kayunya masih berderit jika diinjak. Jendela kecil itu masih menghadap laut, tempat Rana dulu menunggu, bertahun-tahun lamanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda kini—rumah itu tidak lagi sepi.
Ada suara sendok beradu dengan gelas. Ada tawa kecil, ada gumaman obrolan, ada dua pasang kaki yang saling mengejar waktu yang pernah hilang.
Di malam hari, lonceng di depan rumah berdenting sekali lagi. Bukan karena angin, tapi karena tangan Ilham yang menggantungkannya ulang dengan senyum kecil.
“Kalau kau dengar denting ini lagi, apa yang akan kau pikirkan?” tanya Ilham.
Rana tak langsung menjawab. Ia duduk di undakan rumah, menatap bulan yang mengambang di atas laut, damai dan penuh terang.
“Aku akan tahu... bahwa hidup tak pernah benar-benar berhenti. Bahwa denting itu bukan akhir, bukan juga pertengahan, tapi… tanda bahwa kita akan mulai lagi.”
Ilham mengangguk, lalu duduk di sampingnya. Mereka tak saling bersandar, tak saling memeluk. Tapi ruang antara mereka kini sudah tidak kosong. Ada sabar yang tumbuh jadi samudra. Ada luka yang menjelma rumah. Dan ada cinta... yang belajar dari kehilangan, tapi memilih untuk tinggal.
Denting.
Sekali lagi.
Tapi kali ini, bukan tanda kepergian.
Bukan panggilan penantian.
Melainkan bunyi lembut... dari awal yang benar-benar baru.
Komentar
Posting Komentar