DENTING

Orang bilang sabar itu menunggu. Tapi bagi Rana, sabar adalah samudra.

Luas, dalam, sunyi—dan tak pernah meminta siapa pun untuk memahaminya. Ia tak lagi menghitung berapa lama ia duduk di jendela rumah kayu kecilnya, menatap laut lepas yang membiru seperti hati yang sudah pasrah. Sudah dua tahun sejak perahu suaminya, Ilham, tak pernah kembali. Tanpa pesan, tanpa puing.

“Kalau ia tenggelam, laut pasti sudah mengembalikannya,” bisik ibu tua di pasar.
“Kalau ia hidup, mengapa tak pulang?” tanya yang lain.

Tapi Rana tak pernah menjawab. Ia hanya mendengar... lalu diam, seperti laut itu sendiri.

Setiap pagi, ia menyeduh teh. Duduk. Menunggu. Menenangkan badai dalam dirinya yang lebih riuh dari gelombang.

Malam itu, hujan turun tipis. Angin membawa aroma garam yang menusuk kenangan. Lalu terdengarlah suara itu.

Denting.

Bukan dari jam. Bukan dari gelas. Tapi dari lonceng kecil di depan rumah yang dulu digantungkan Ilham sendiri, katanya untuk menandai angin laut datang. Tapi lonceng itu tak pernah berdenting lagi sejak Ilham hilang.

Kecuali malam itu.

Rana membeku. Suaranya hanya sekali. Lembut, seperti menyentuh hati yang nyaris kering. Ia keluar dengan jantung yang pelan-pelan mempercepat langkah.

Laut tenang. Tapi di sana, di ujung dermaga, berdiri seseorang. Rambutnya lebih panjang, tubuhnya lebih kurus. Tapi langkahnya masih sama: pelan, penuh ragu. Ilham.

Ia tak menjelaskan apa pun malam itu. Hanya menggenggam tangan Rana, dan berkata,
“Aku pulang. Tak banyak yang bisa aku bawa… kecuali sisa-sisa diriku yang hancur.”

Rana tak menangis. Ia tak marah. Ia hanya tersenyum kecil—senyum orang yang telah belajar bahwa sabar bukan berarti tak terluka, tapi percaya bahwa laut akan selalu mengembalikan apa yang pernah ia ambil… pada waktu yang paling tak terduga.

Besok paginya, Rana tidak membuat teh. Ia menyiapkan dua cangkir kopi, membiarkan tawa kecil keluar dari sudut bibirnya. Ilham sedang menambal perahu. Tangannya gemetar, tapi hatinya mantap. 

Hari itu Rana mengatakan padanya "mungkin kamu belum sadar sekarang, tapi aku rasa ini adalah bahagia yang kuinginkan, disini... sekarang... aku merasa cukup."

Hidup mereka tidak kembali seperti dulu. Tapi keduanya tahu: awalnya bukan saat Ilham pulang, tapi saat denting itu terdengar.

Karena denting itu adalah bisik semesta bahwa sesuatu telah bergeser. Sesuatu telah dimulai.

Dan mereka berdua… siap menapaki awal baru, seluas samudra, sedalam sabar.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama