Epilog – Denting Terakhir

Rana duduk di dermaga. Cahaya pagi menyapu rambutnya yang ditiup angin. Di belakangnya, rumah kecil yang tenang. Di hadapannya, laut yang tak pernah menjelaskan apa-apa. Hanya menunggu—tanpa tanya, tanpa batas—kembalinya Ilham yang entah kapan.

Di sampingnya — buku catatan yang terlihat baru. Tinta di halaman pertama masih basah. Tapi… ia tak ingat menulis apapun.

Halaman itu hanya berisi satu kalimat:

“Denting pertama adalah awal, tapi bukan permulaan.”

Rana menoleh ke tiang kayu kecil rumahnya. Lonceng tergantung di sana. Masih yang sama. Tapi kali ini, ia terasa… lebih berat.

Seolah menyimpan sesuatu.

Dentingnya terdengar — satu kali.

Dan dalam sepersekian detik, mata Rana berkedip. Bibirnya bergerak kecil.

“Aku… pernah di sini.”

Hatinya tercekat. Pandangannya menyapu lautan.
Kosong. Tapi juga penuh.

“Orang bilang sabar itu menunggu. Tapi bagi Rana, sabar adalah samudra.”

Kalimat itu kembali.



Di jauh sana, di tengah samudra, seorang Ilham bersama dua temannya berdiri di geladak perahu.

Ia menggenggam tali layar, lalu menatap ke arah kosong. Tapi bukan ke arah Rana.

Melainkan… ke arah Mu.

Ilham tersenyum kecil.

“Kalian masih di sini, ya?”

“Aku nggak bisa menghentikan kalian kalau memang tak ingin membaca lagi. Dan aku selalu siap menghadapi badai itu—memutus tali itu—,berkali-kali jika perlu. Tapi kali ini… tolong, bantu aku mencapai akhir yang lebih indah.”

“Karena aku yakin, bukan cuma aku dan Rana—kamu juga bisa mendengarnya, kan? Denting itu.”

Layar terkembang.

Dan denting terakhir terdengar —


TITIK.

Cerita kembali ke awal. Tapi tidak ada yang benar-benar sama.

Setiap kata yang dibaca…
Setiap bab yang dibuka…
…adalah bagian dari lingkaran.

Dan kamu, kalian, adalah bagian dari itu juga. 

Tapi kali ini kalian punya kuasa dimana Denting itu harus berakhir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama