Bab 10: Yang Tak Terucap Tapi Tertanam
Hujan sore itu turun perlahan, seperti enggan menyentuh tanah. Jendela kaca di ruang kerja dipenuhi titik-titik kecil yang melukis bayangan samar langit kelabu. Di balik layar laptop yang menampilkan angka-angka, aku diam-diam melirik sosok yang kini duduk beberapa meja di depannya. Elio. Selalu terlihat tenang, selalu tahu waktu yang tepat untuk bicara dan diam.
Beberapa hari terakhir, interaksi mereka berubah. Bukan menjadi lebih romantis, bukan pula semakin intens. Tapi... lebih dalam. Seperti ada lapisan perasaan yang mulai terbentuk, tak banyak kata, namun penuh makna.
Aku mengingat kembali malam minggu lalu, saat aku dan Elio berbincang lama di taman kecil dekat halte. Kami bertukar cerita tentang banyak hal malam itu, dan Elio bercerita tentang adik perempuannya, dan seolah dia memang tercipta untuk kuat, yang membuat dia tumbuh tanpa tahu cara meminta bantuan siapa pun. dan aku juga menceritakan mimpiku yang ingin pergi ke sebuah tempat di tempat yang pernah kita sebut langit terdekat dengan bumi.
"Mungkin itu sebabnya aku peka sama rasa lelah orang," kata Elio sambil memandang ke depan, bukan ke arahku.
Aku hanya mengangguk waktu itu, merasa seperti diberi kunci untuk memahami cara laki-laki itu mencintai dunia—pelan, tanpa suara, tapi selalu ada.
Hari ini, kantor diliputi tekanan. Deadline baru datang tiba-tiba, sementara listrik sempat padam satu jam dan membuat banyak file rusak. Suasana mendadak jadi tegang.
Aku bekerja keras menyalin ulang dokumen yang sebelumnya sudah selesai. Aku tidak bicara banyak. Tidak juga mencari Elio dengan matanya. Tapi... saat sore mulai turun, ada satu file yang ia butuhkan—dan hanya Elio yang punya akses.
Aku mengetik pesan singkat:
"Elio, boleh minta file backup laporan kemarin? Serverku nggak bisa restore."
Tak sampai dua menit, Elio berdiri di belakangnya, menaruh flashdisk dan segelas air putih.
"Tenang Seliya, tarik nafas" katanya pendek. Tapi cukup. Aku memang baru saja menyadari nafasku tertahan sejak tadi.
Malam itu, setelah semua selesai dan kantor mulai kosong, aku tidak langsung pulang. aku duduk di kursinya, membuka jendela kecil di samping ruang admin yang sudah jarang dipakai. Angin malam masuk, membawa aroma tanah basah. Tenang.
Elio masuk pelan, membawa dua susu kotak kecil dari minimarket di bawah.
"Aku nggak tahu kamu suka rasa vanilla atau coklat. Jadi ambil dua-duanya."
aku tersenyum. "Terima kasih."
"Coklat" Elio menyodorkan minuman susu coklat
"Kamu tau aku suka coklat? terus kenapa beli 2?" Tanyaku.
"Gapapa, karena vanilla kesukaan ku. Manisnya pas, aku suka." Jawabnya sambil menatapku
Hening mengambang beberapa saat. Hanya suara rintik hujan dan bisik kipas angin tua yang mengisi ruang.
"Seliya... kamu pernah takut jatuh hati?" Elio bertanya tanpa menatap langsung.
Aku tidak langsung menjawab. Tapi kemudian mengangguk. "Bukan takut jatuhnya. Tapi takut kalau yang kujatuhin... nggak bisa nangkep."
Elio tertawa kecil. "Kalau aku, jatuh hati itu kayak gempa yang dilanjutkan dengan tsunami. Tapi percaya gak kalau ada hujan yang bisa buat tsunami?"
Aku tertawa "Elio... Elio... gak mungkin ada hujan yang bisa bikin tsunami, ngaco kamu."
Malam itu mereka tidak saling menyatakan apa-apa. Tidak ada kalimat cinta, tidak ada genggaman tangan. Tapi sesuatu tertanam. Dalam diam. Dan itu cukup.
Besok paginya, aku mendapati satu sticky note di layar laptopnya.
"Yang kuat itu bukan yang nggak pernah jatuh, tapi yang nggak menyerah meski sempat patah."
Tanganku menyentuh catatan itu pelan. seperti merasuk dalam hatiku dan tertanam disana.
Hari-hari setelahnya, aku mulai memperhatikan perubahan kecil dalam diriku. aku lebih berani bersuara saat rapat. Lebih jujur saat merasa lelah. Dan lebih sabar saat pekerjaan kacau.
Di salah satu rapat mingguan, atasannya memuji inisiatifku untuk mengubah sistem pelaporan. Padahal itu ide yang bahkan belum ku yakini seratus persen.
Dan saat dia kembali ke mejanya, Elio melintas dan berbisik pelan,
"Kamu nggak butuh validasi siapa-siapa buat jadi hebat. Kamu sudah hebat dan selalu hebat, Seliya. kalau kamu lupa, aku bisa ingatin kamu terus."
Aku terdiam. Bukan karena kalimatnya berlebihan. Tapi karena kalimat itu... masuk ke bagian dirinya yang dulu selalu ingin dihargai, tapi tak pernah tahu caranya.
Suatu malam, aku pulang larut. Di halte, aku membuka buku yang sudah lama aku simpan di meja kantor tapi tak pernah selesai aku baca. Di halaman pertama, aku menemukan kertas kecil yang entah sejak kapan ada di sana.
"Pelan-pelan aja Seliya. Nggak usah buru-buru jadi utuh."
Tulisan tangan Elio. aku tidak tahu bagaimana bisa, tapi aku tahu itu miliknya.
Dan malam itu, aku menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena merasa... dicintai tanpa disuruh berubah.
Tanpa mereka sadari, benih itu sudah tertanam. Dan meski belum terucap... Ia tumbuh.
Pelan-pelan. Tapi pasti.
Komentar
Posting Komentar