Bab 2 – Petualangan Si Raja Trotoar
Gue percaya semua makhluk hidup terlahir dengan takdirnya masing-masing. Ada yang jadi burung, bebas terbang ke langit. Ada yang jadi ikan, bebas ngelamun di air. Dan ada juga yang seperti gue—terjebak jadi makhluk jalanan yang satu-satunya prestasi hidupnya adalah bisa tidur di lima jenis kardus berbeda.
Tapi, hei, jangan salah. Gue ini Raja Trotoar. Penguasa emperan, raja gorengan jatuh, dan pemilik hak paten atas posisi tidur yang bisa bikin tukang parkir iri.
Tiap pagi gue bangun di bawah warung bubur. Siang, pindah ke depan ATM, pura-pura menunggu antrian. Malam? Tidur di dekat mobil di parkiran, biar dikira punya orang dalam. Hidup gue fleksibel, penuh strategi, dan penuh ayam goreng.
Tapi ada satu aturan utama: jangan masuk wilayah dealer motor Yahama.
Bukan karena gue takut. Tapi karena di sana ada Pak Johni, sales dealer sekaligus makhluk paling absurd yang pernah hidup. Dia percaya reinkarnasi itu nyata, dan dia yakin dulunya adalah seekor ayam betina yang mati karena patah hati.
“Gue tuh dulu bertelur sambil nangis,” katanya waktu itu, sambil ngelus motor bebek. “Makanya sekarang gue jualan motor bebek. Nostalgia.”
Jadi bisa lo bayangin, waktu hujan deras dan semua tempat teduh penuh, gue gak punya pilihan lain selain kabur ke dealer buat berteduh.
Dan di situlah, takdir gue berubah.
Dia muncul.
Aira.
Cewek dengan payung ungu, jaket merah, dan aura yang bikin hati gue deg-degan kayak kucing liat odol. Dan yang lebih ajaib—dia gak jijik. Dia malah nyamperin gue dan bilang:
“Kamu sendirian, ya?”
SENDIRIAN?? Gue penguasa trotoar, cuy! Gue udah keliling lima RT. Gue bukan "sendirian", gue... mandiri.
Tapi mulut gue gak bisa jawab. Yang keluar cuma:
“Mauu...”
Sial.
Aira senyum. Dan itu... adalah senyum pertama yang bikin dada gue nyesek kayak kejebak di dalam helm. Dia ngeluarin plastik putih dari tasnya—isinya gorengan! Gue liat jelas: satu bakwan, dua risoles, dan satu tahu isi yang menggoda iman.
Tanpa mikir, gue lompat. Elegan. Anggun. Penuh harga diri.
Gue nyaris nyium risolesnya waktu suara berat muncul dari belakang.
“Lho, Mbak, jangan deket-deket. Dia suka nyolong.”
Itu Pak Johni.
Aira ketawa. “Namanya siapa, Pak?”
“Rei,” jawab Johni. Gue dan Johni saling tatap. Sejenak, gue merasa kita memang punya chemistry. Mungkin aku adalah telur pak johni sebelum dia reinkarnasi.
Tapi Aira cuma tertawa. “Rei, ya? Oke. Mulai sekarang kamu teman aku, ya.”
Dan begitu aja... gue resmi masuk ke hidup dia.
Dan bau tai kucing itu? Masih ada. Tapi sekarang, gue gak takut lagi.
Komentar
Posting Komentar