Bab 8: Nama yang Kupilih untuk Menyebutmu

Pagi itu, kantorku masih berisik dengan bunyi mesin fotokopi dan suara ketikan yang tiada henti. Tapi hatiku... tak segaduh biasanya. Entah sejak kapan, suara-suara itu hanya seperti latar belakang dari satu suara yang lebih kuperhatikan: dia.

Elio duduk tak jauh dari meja kerjaku. Seperti biasa, rapi dan tenang. Seperti laut dalam yang tak bisa ditebak. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya saat kami saling bertatapan beberapa kali pagi ini. Ada kehangatan yang membuatku berhenti berpura-pura sibuk dengan layar monitor.

Ketika makan siang tiba, Elio menghampiriku dengan dua kotak bekal. “Makan bareng?” tanyanya singkat. Aku hanya mengangguk, meski detak jantungku tak sesingkat itu.

Kami duduk di ruang pantry yang kebetulan sedang sepi. Sesekali ia mencuri pandang saat aku mencoba membuka sumpit plastik tanpa membuatnya patah di tengah. “Kamu tuh selalu berjuang dengan hal-hal kecil, ya,” ujarnya, senyum tipis muncul.

Aku mendelik. “Kamu tuh selalu komentar hal-hal kecil, ya.”

Dia terkekeh pelan. Tapi kemudian suaranya menjadi lebih pelan, lebih dalam. “Seliya.”

Aku mendongak, berhenti mengunyah. “Apa?”

“Seliya,” ulangnya. “Aku lebih suka panggil kamu begitu. Zayka kedengarannya seperti nama panggung. Tapi Seliya... lebih jujur.”

Aku terdiam. Kata itu bergema di kepalaku. Nama yang jarang sekali kupakai, nama yang biasanya hanya dipanggil Ibu saat sedang marah... atau saat ingin mengingatkanku bahwa aku ini tetap anak yang harus dijaga.

“Boleh?” tanyanya hati-hati.

Aku mengangguk pelan. “Boleh.”

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa... namaku terdengar indah.


Suasana kantor mendadak berubah tegang saat notifikasi email masuk berbunyi: "REVISI URGENT - SIANG INI". Dadaku langsung sesak.

Laporan yang kukerjakan semalam ternyata diminta ulang, dengan tambahan data baru. Deadline-nya dua jam lagi.

Aku menarik napas panjang. Tanganku mulai sibuk membuka file Excel dan Word bersamaan. Di tengah kekalutan, Risa melongok ke mejaku.

“Zay, maaf ya... ternyata aku salah input data pengeluaran kemarin. Jadi yang total pengeluaran bulan lalu harusnya ditambah 2 juta.”

Aku tersenyum pahit. “Oke, nggak apa-apa. Aku revisi.”

Entah sudah berapa kali minggu ini revisi datang di saat yang tidak ideal. Tapi... tak ada pilihan. Kantor seperti mesin, dan aku adalah bagian kecil yang harus tetap bergerak.

Jam terus berdetak. Aku hampir tidak sadar bahwa waktu berlalu sangat cepat. Ketika akhirnya menarik napas panjang dan berdiri untuk mengambil air, Elio berdiri dari kursinya. “Tunggu sebentar.”

Dia pergi ke pantry dan kembali membawa dua gelas air putih dan sepotong donat.

“Untuk kamu. Jangan pingsan sebelum kirim file,” katanya datar, tapi matanya memerhatikanku dengan serius.

Aku terkekeh kecil. “Baik, Mas Elio.”

“Jangan dipanggil mas,” katanya cepat.

“Kenapa?”

Dia diam sejenak. “Karena aku mau kamu nyaman. Seliya”

Jantungku berhenti sepersekian detik. Kalimat itu sederhana. Tapi... kenapa terasa seperti sesuatu yang akan aku ingat lama?


Sepulang kerja, kami tak sengaja berjalan ke arah halte yang sama. Hujan turun gerimis, dan Elio membuka payung hitam kecilnya. Tanpa banyak tanya, dia mengangkat sebelah tangannya, mengajakku masuk ke bawah naungan payung yang sempit itu.

“Besok jangan lupa bawa payung sendiri ya, Seliya,” katanya. Nama itu lagi. Dan aku merasa... terlalu nyaman mendengarnya dari mulutnya.

Aku mencuri pandang padanya. “Kamu selalu perhatian ke semua orang begini?”

Dia menoleh cepat. “Enggak.”

“Berarti aku spesial?” Aku menggoda, setengah bercanda.

Dia tak langsung menjawab. Tapi langkahnya melambat, dan ia bergumam, “Iya.”

Jantungku seketika melonjak. Tapi aku tetap berpura-pura biasa. Payung kecil itu tidak cukup untuk dua orang dewasa. Tapi entah kenapa, aku tidak ingin beranjak dari bawahnya.


Di rumah malam itu, aku kembali membuka sticky note kecil di laci meja. Kalimat darinya yang kutulis ulang tempo hari masih menempel rapi.

Kamu boleh lemah. Tapi jangan pura-pura kuat terus.

Sekarang, aku menambahkan satu lagi:

Karena aku mau kamu nyaman, Seliya.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama... aku merasa bukan hanya diperhatikan, tapi dimengerti.

Seseorang tak hanya melihatku sebagai pekerja, sebagai perempuan yang harus bisa segalanya. Tapi sebagai Seliya—versi diriku yang paling jujur, paling rapuh, dan paling layak dicintai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama