Bab 4 – Pelindung Kecil
Manusia itu lemah.
Itu kesimpulan gue setelah tiga minggu mengamati Aira dari sudut parkiran dealer. Lemah bukan dalam arti negatif—lebih kayak... gampang capek, gampang takut, gampang jatuh hati, gampang nyebelin juga kadang.
Hari itu Aira kelihatan pucat. Mata panda. Jalan kayak robot habis di-restart. Tapi tetap senyum waktu ngelihat gue di pojokan.
“Hei, Rei...” suaranya pelan. “Hari ini gak bawa makanan ya. Aku... agak mual. Kayaknya kecapekan. Tadi malam gak bisa tidur.”.
Biasanya dia selalu ceria. Tapi hari ini tangannya gemetar. Dia cuma ngelihat langit dan bilang, “Kadang, aku pengen jadi kayak kamu deh. Tidur kapan aja, gak mikirin cicilan, gak takut sama bos yang suka dadakan ngajak Zoom.”
Gue melirik dia, lalu berdiri, dan...
...menyundulkan kepala gue ke Aira.
Gak ada artinya secara medis, memang. Tapi semoga itu artinya: ‘Lo gak sendiri.’
Sore itu, bahaya datang dari bentuk paling tidak terduga: kecoa terbang.
Aira baru selesai tutup dealer dan lagi kunci-kunci pintu, pas tiba-tiba dari balik banner motor matic, muncul satu makhluk bersayap legendaris: kecoa raksasa, terbang zig-zag kayak mabok.
Aira langsung lempar kunci dan menjerit kayak di sinetron. “REI! REIIIIIIIIIIII!”
Gue refleks lompat ke depan. Gue bukan penggemar kekerasan, tapi ini soal harga diri. Gue terkam makhluk hitam itu dan—dengan segala rasa jijik—gue lempar ke selokan terdekat.
Aira bengong. Napasnya ngos-ngosan.
“Kamu... kamu nyelametin aku?” dia ngomong sambil megap-megap.
Gue gak jawab. Gue cuma duduk dengan anggun. Sedikit jijik juga sih. Tapi sok cool.
Sejak hari itu, Aira mulai bilang ke semua orang kalau gue "bodyguard-nya".
Dia bahkan mulai bikin badge kecil dari karton dan ditulis tangan: REI – Chief of Emotional Support and Kecoa Defense.
Gue dipakaikan kalung gantungan itu kayak anak SD baru disuruh jadi ketua kelas.
Dan gue gak marah.
Gue bangga.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue penting buat seseorang.
Komentar
Posting Komentar