Bab 6 - Hujan, Gorengan, dan Bau yang Nggak Bisa Dilupakan
Hari itu hujan turun sangat deras. Langit gelap seperti sedang murung, dan aku—yang hanya membawa payung ungu dan jaket merah tipis—terpaksa mencari tempat berteduh. Terlihat orang-orang berdesakan di bawah kanopi toko, berkerumun sambil memeluk diri sendiri. Udara dingin, dan sedikit basah menyelusup ke sela-sela pakaian.
Saat itulah aku melihatnya.
Ada makhluk duduk di pojok dekat motor. Sedikit kusut, tapi wajahnya tenang. Matanya tajam namun tidak liar. Justru ada ketenangan yang aneh di dalam sorot matanya. Seperti... orang yang sudah melewati banyak hal, tapi masih bisa duduk santai, mengamati dunia tanpa banyak bicara.
Entah kenapa, aku merasa dia sedang menungguku.
Ada aroma khas yang langsung menyengat begitu aku mendekat. Sejenis... bau tai kucing yang sudah akrab dengan hujan dan kehidupan jalanan.
Aku refleks mundur setengah langkah. Tapi anehnya, tidak kabur.
Mungkin karena dia menatapku. Bukan tatapan minta makan atau tatapan takut. Tapi lebih ke arah... "Ya, aku bau. Terus kenapa? Dunia juga nggak wangi-wangi amat."
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tersenyum.
Aku berjalan pelan, menyapanya, “Kamu sendirian, ya?”
Ia menatapku cukup lama, seolah ingin menjawab,
“Sendirian? Aku ini penguasa trotoar, tahu.”
Tapi tentu saja yang terdengar hanyalah suara pelan seperti "mau" sembari melihat tas berisi gorengan yang kubawa, entah sebuah permintaan atau pernyataan.
Aku tersenyum. Dari dalam tas, aku mengeluarkan plastik putih berisi gorengan yang tadi kubeli di pinggir jalan. Isinya: satu bakwan, dua risoles, dan tahu isi yang aromanya nyaris membuat aku sendiri goyah iman.
Saat aku ulurkan plastiknya, dia langsung melompat. Gerakannya cepat, elegan, seperti sudah terbiasa memanfaatkan peluang. Lucu sekali. Tapi sebelum ia berhasil mencium risoles, sebuah suara berat terdengar dari belakang.
“Lho, Mbak, jangan deket-deket. Dia suka nyolong.”
Aku menoleh. Itu Pak Johni, sales dealer motor yang pernah bercerita dengan serius bahwa ia adalah ayam betina di kehidupan sebelumnya. Menurutnya, dulu ia mati karena patah hati dan kini menjual motor bebek sebagai bentuk terapi batin. Iya. Sesederhana dan seabsurd itu.
Aku hanya tertawa kecil dan bertanya, “Namanya siapa, Pak?”
“Rei,” jawabnya tanpa ragu. Seolah mereka itu memang sudah jadi rekan kerja satu tim.
Aku menatap dia sekali lagi. Rei. Nama itu terdengar pas. Tidak terlalu manis, tapi cukup berkelas untuk makhluk yang duduk seperti bangsawan di motor tua.
“Rei, ya?” Aku tersenyum. “Mulai sekarang kamu teman aku, ya.”
Dan saat itu juga, tanpa kontrak atau tanda tangan, aku merasa sudah mengadopsi sesuatu. Seperti perasaan bahwa mungkin aku tidak lagi sendiri.
Soal bau tai kucing itu? Masih ada. Tapi anehnya, aku tidak lagi ingin menyingkir.
Komentar
Posting Komentar