Bab 8 — Rumah Manusia
Masuk ke rumah manusia itu rasanya... aneh.
Bukan karena takut, ya. Tapi karena lantainya terlalu bersih. Kayak belum pernah diinjak makhluk jalanan seumur hidupnya. Bau karbol dan aroma sabun cuci piring bersaing dengan hidungku yang terbiasa dengan bau trotoar dan gorengan jatuh.
Begitu kaki depan menyentuh ubin, aku langsung ngerasa... asing. Ini bukan kardus bekas mie instan. Bukan juga keset di depan minimarket. Ini permukaan yang bisa bikin refleksi diri muncul tanpa disuruh. Lantai licin, terang, dan... dingin. Rasanya kayak masuk surga, tapi belum siap mental.
Aira membuka pintu pelan, lalu melongok ke arahku. “Masuk, Rei. Gak apa-apa kok.”
Aku melangkah. Pelan-pelan. Kaki satunya seperti mau balik ke luar, tapi ego berkata lain. Gue ini Raja Trotoar. Masa kalah sama karpet berbulu lucu begini?
Begitu masuk, aku langsung diam. Bukan karena takut. Tapi karena... banyak banget bantal.
Di sofa. Di lantai. Di kursi. Di sudut ruangan ada rak kecil isinya buku, lilin aroma terapi, dan—astaga—foto seorang manusia yang tersenyum ke arah kamera. Kupikir itu pacarnya, tapi ternyata itu dirinya sendiri. Ada tiga versi.
Aku menatap Aira. Dia tampak sibuk menyiapkan tempat tidur kecil di sudut ruang tamunya. Lapisan kardus, kain lembut, dan... bantal kecil bergambar kartun kucing. Oh, ironis.
“Ini buat kamu, Rei. Biar kamu nyaman.”
Aku cuma diam. Sebagian diriku ingin bilang "Gue biasa tidur di atas tutup got, loh," tapi mataku sudah setengah merem duluan.
Tapi rasa canggung itu belum hilang. Rumah ini terlalu... manusiawi. Aku bahkan gak tahu harus ngelus-ngelus apa buat nenangin diri.
Lalu perutku bunyi.
Dan Aira tertawa. Bukan ketawa mengejek, tapi kayak... ketawa manis orang yang tahu kamu lapar dan siap masakin mie rebus.
“Laper, ya? Tunggu, aku ambilin makanan dulu. masih ada ikan bakar buatan ibu.”
Aku langsung tegak. ikan bakar?? Kapan terakhir kali aku makan makanan yang bukan sisa nasi goreng atau nugget jatuh dari tangan bocah?
Beberapa menit kemudian, Aira datang membawa mangkuk kecil berisi makanan. Aromanya menggoda. Aku mencium... salmon? Atau entah, mungkin ayam yang pakai parfum.
Aku makan. Lahap. Dengan tetap jaga gengsi.
Selesai makan, Aira duduk di lantai dekatku. “Kamu boleh tinggal di sini, Rei. Kalau kamu mau.”
Aku melirik ke arahnya. Wajahnya... tenang. Tapi matanya punya sesuatu yang kosong. Kayak ada lubang kecil yang lama tak terisi. Dan sekarang, ia sedang mencoba mengisinya dengan sesuatu yang Baik?
Dan entah kenapa, aku membiarkannya.
Aku naik ke atas bantal kecil itu, melingkar pelan, dan membiarkan tubuhku rebah. Lalu, entah karena terlalu nyaman atau terlalu kenyang... aku tidur.
Sebelum benar-benar lelap, aku mendengar suara Aira lagi.
“Welcome home, Rei.”
Rumah?
Mungkin.
Atau... setidaknya, tempat ini tidak mengusirku karena bauku.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku... aku tidur bukan karena lelah bertahan. Tapi karena... tenang.
Epilog — Rumah yang Baik Tapi Penuh
Ada hari-hari di hidupku yang berjalan biasa saja. Alarm telat bunyi, kopi kepanasan, dan pekerjaan numpuk kayak cucian akhir pekan. Hari-hari yang bikin aku mikir, hidup segini-gini aja, ya?
Lalu, Rei datang.
Seekor kucing Baik, bulunya acak-acakan, jalannya malas, dan entah kenapa... bikin aku ingin memeluk dia. Meski pertama kali ketemu, bau tubuhnya nyaris bikin aku kehilangan indra penciuman permanen.
Tapi... dia menatapku. Bukan seperti kucing pada umumnya. Tatapannya kayak manusia yang pura-pura kuat padahal capek. Kayak aku.
Sejak hari itu, Rei tidur di rumahku. Di pojok ruang tamu. Di atas bantal kecil yang dulunya aku beli buat dudukan sendirian nonton drama Korea. Sekarang bantal itu punya aroma baru: Baik yang familiar... dan hangat.
Kadang dia nyolong ayam goreng. Kadang dia pipis di pot bunga. Tapi anehnya, aku gak pernah benar-benar marah.
Karena di tengah semua kekacauan hidup ini... dia hadir, tanpa diminta. Dan dia tidak pergi.
Rei bukan sekadar kucing. Dia rumah.
Dan seperti semua rumah... kadang ada baunya. Tapi selalu ada tempat pulang di dalamnya.
Dan rumah ku sedikit Baik tapi penuh.
Komentar
Posting Komentar