Bab 3 – Payung yang Sama

Tak ada hujan pagi itu. Tapi bukan berarti semuanya lebih baik. Langit tetap kelabu, seolah lupa caranya cerah. Udara lembap membuat pakaianku terasa berat, dan genangan masih tersisa di beberapa sudut jalan, menyimpan sisa hujan kemarin seperti luka yang belum sembuh.

Aku sampai di kantor lebih pagi dari biasanya. Meja-meja masih kosong, lampu-lampu belum semua menyala, hanya sebagian ruangan yang terang oleh cahaya remang dari luar jendela. Aku menyalakan komputer, membuka email, dan mulai bekerja dalam sunyi.

Di daftar presensi kantor, tertulis jelas: Zayka Seliya Tari. Nama lengkapku. Setiap kali membacanya, ada sedikit perasaan asing yang menggigit. Aku tak pernah benar-benar menyukai nama "Seliya". Itu hanya potongan nama dari sebuah kompromi orangtuaku—singkatan yang entah sejak kapan dipaksakan menjadi bagian dari identitasku.

Kalau boleh memilih, aku lebih nyaman dengan Zayka. Seliya selalu terdengar seperti nama yang bukan milikku. Tapi aku tak pernah benar-benar bisa menolak. Sama seperti aku tak pernah bisa menolak hidup yang sudah dituliskan untukku.

Tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar dari arah pintu masuk. Aku tidak menoleh, tapi aku tahu itu dia—pria itu. Yang kemarin membagi payung tanpa bicara. Yang matanya bertemu denganku di pantry tapi tak mengucap apa pun.

Ia berjalan ke mejanya. Duduk. Menyalakan komputer. Tak berkata apa-apa. Tapi keberadaannya terasa, seperti embusan hangat di pagi yang dingin.

Aku melirik dari balik layar monitor. Rambutnya agak berantakan pagi ini. Kemeja biru tuanya sedikit kusut. Di meja, ada gelas kopi—seperti kemarin.

Entah kenapa, perasaanku tenang.

Jam makan siang, aku membuka bekal yang kubawa: nasi dan tumis kangkung sisa kemarin. Tak enak. Tapi cukup untuk bertahan. Aku makan perlahan, lagi-lagi sendiri. Sudah biasa. Sudah terlalu biasa.

Lalu pintu pantry terbuka. Langkah itu masuk. Ia membawa dua gelas kopi dalam satu tangan dan kantong kertas kecil di tangan lainnya. Tanpa bicara, ia meletakkan satu gelas di meja pantry—tempat yang sama seperti kemarin—lalu duduk di mejanya, beberapa meter dariku.

Aku memperhatikannya. Ia membuka kantong kertas dan mengeluarkan roti isi. Makan perlahan. Sendiri. Sama seperti aku.

Aku ingin tahu siapa dia. Apa jabatannya. Kenapa sepi seolah tak membuatnya resah. Tapi lidahku terlalu kaku untuk bertanya. Dan aku terlalu takut bahwa kehadirannya yang tenang akan berubah jika aku mulai bicara.

Jadi aku diam. Tapi di dalam hati, ada keinginan kecil yang tumbuh. Keinginan untuk tahu namanya. Suaranya. Ceritanya.

Saat jam pulang tiba, langit mendung kembali menggantung. Tapi belum turun hujan. Aku berdiri di lobi, menatap langit dengan hati-hati. Tak membawa payung. Lagi.

Langkah kaki mendekat. Ia berdiri di sampingku. Kali ini, tak ada payung yang terbuka. Tapi kehadirannya cukup untuk membuatku tidak merasa sendiri.

Kami keluar bersamaan. Jalan berdampingan hingga di ujung blok. Lalu aku berbelok ke arah kosku. Ia tetap lurus.

Tak ada kata. Tapi langkah kami... terasa seirama.

Dan aku mulai sadar: terkadang, seseorang tak perlu banyak bicara untuk membuat dunia terasa sedikit lebih baik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama