Bab 5: Ruang yang Tak Lagi Sepi

Pagi itu, aku bangun lima belas menit lebih awal dari biasanya. Entah kenapa mata ini terbuka begitu saja, tanpa alarm, tanpa suara gaduh dari luar. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang kosong. Rasanya seperti… ada yang menunggu.

Aku berdiri di depan cermin, merapikan rambut lebih lama dari biasanya. Menatap wajah sendiri, lalu menyesuaikan kerah kemeja yang tak terlalu kusut. Bukan karena ingin tampil menarik. Hanya… ingin terlihat layak. Entah untuk siapa.

Di kantor, semuanya berjalan seperti biasa. Meja-meja sibuk, komputer menyala, suara tuts keyboard bersahutan. Tapi ada yang berbeda hari ini: sebuah kotak kecil putih polos ada di atas mejaku. Tanpa nama, tanpa catatan. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi semua terlihat sibuk.

Perlahan kubuka kotaknya. Dua potong roti lapis. Dan selembar kertas kecil.

Kamu lupa bawa bekal. Jangan sampai lapar, kamu bukan mesin.

Tulisan tangan itu membuat detakku berpacu. Tak bertanda tangan, tapi aku tahu betul siapa yang menulisnya. Elio.

Aku menoleh ke ruangan sebelah. Elio sedang mengetik di mejanya. Fokus. Rahangnya tegas. Tak ada senyum, tak ada lirikan. Seolah tak terjadi apa-apa. Tapi justru sikap biasa itu… membuatku merasa lebih dari sekadar diperhatikan.

Sepanjang hari aku mencoba tenang. Tapi pikiranku kembali ke roti lapis itu. Bagaimana dia tahu aku lupa membawa bekal? Apakah Elio memperhatikanku sejauh itu?

Pagi tadi, hujan turun lagi. Tak deras, tapi cukup membuatku harus melipat ujung celana agar tak basah. Payungku tertinggal di rumah. Jadi aku lari kecil dari parkiran ke dalam gedung. Beberapa tetes air menyusup ke rambut dan bahu.

Saat duduk di kursi, aku masih merasakan dingin dari air yang sempat menyelinap masuk ke kerah. Sepatuku basah. Lagi. Tanganku refleks menyeka air dari rambut. Tiba-tiba seseorang menyodorkan tisu dari samping.

Elio. Diam-diam. Lalu berlalu begitu saja.

Sepanjang hari, aku mencoba menghangatkan tubuh. Tapi pipiku sudah lebih dulu hangat, tanpa alasan jelas. Saat sebelum jam makan siang, Tara—teman satu tim—menatapku sambil tersenyum penuh arti.

"Kamu tuh kenapa sih, Zay? Dari tadi senyum-senyum sendiri. Lagi musim bunga, ya?"

Aku mengerutkan alis, berusaha menyangkal. "Enggak ah. Biasa aja."

Tapi saat kutatap layar monitor, pantulan wajahku di sana… memperlihatkan senyum yang bahkan tak kusadari.

Waktu makan siang, dia duduk lebih dekat dari biasanya. Tidak persis di sampingku, tapi cukup dekat untuk membuat jantungku tak karuan. Kami tak bicara banyak. Saat aku tersedak, Elio menyodorkan botol minumnya tanpa sepatah kata pun.

"Terima kasih," gumamku pelan.

Dia hanya mengangguk. Kembali makan dengan tenang. Tak ada gombalan. Tak ada tatapan tajam seperti yang biasa kulihat di drama akhir pekan. Tapi… kehadirannya nyata. Hangat. Menenangkan.

Sore harinya, saat semua bersiap pulang, aku melihatnya di dekat lift. Berdiri dengan tangan memainkan kunci motor. Menunggu. Tapi tak jelas siapa.

Aku berjalan cepat, berniat melewatinya tanpa menyapa. Tapi saat lift terbuka dan hanya kami berdua di dalam, keheningan itu jadi terlalu keras.

"Kamu terlihat lebih tenang hari ini," ujarnya pelan.

Aku hampir menoleh, tapi urung. "Terima kasih untuk bekalnya."

"Bekal apa?" tanyanya, pura-pura tak tahu. Bibirnya terangkat sedikit.

Aku menahan senyum. "Yang kamu selipkan di meja."

"Aku cuma lewat," katanya. Tapi dari nadanya, aku tahu itu bukan pengakuan. Juga bukan penolakan.

Beberapa menit setelah obrolan kami sebelumnya, tanpa sengaja matanya turun ke arah kakiku.

“Sepatumu basah,” katanya tiba-tiba, suaranya rendah dan agak pelan.

Aku ikut menunduk. Benar juga—ujung sepatuku masih lembap, sisa dari genangan yang kulewati tadi pagi.

“Cuaca nggak jelas, ya,” jawabku, berusaha terdengar biasa saja.

Elio mengangguk pelan. “Kalau hujan lagi sore nanti, bawa tas plastik. Biar nggak basah waktu pulang.”

Aku hampir tertawa mendengarnya. “Tas plastik?”

“Serius,” katanya, masih dengan nada datar khasnya. “Aku juga dulu begitu waktu hujan deras. Sepatu dimasukin plastik, diiket. Temen kantor kira aku tukang ojek,” lanjutnya, dan aku melihat ujung bibirnya sedikit terangkat.

Aku nggak bisa menahan tawa. Pelan, tapi lepas. Itu kali pertama Elio bercanda padaku—dan rasanya... nggak dibuat-buat. Natural. Seperti dia sedang membuka sedikit jendela kecil ke dunianya.

“Kamu nggak pakai payung tadi pagi?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menggeleng. “Kupikir hujannya sebentar.”

“Kalau sepatu kamu rusak, bilang. Aku tahu tempat sol yang bagus.”

Aku menoleh, menatapnya sejenak. Tak bisa menahan senyum. “Kamu sering sol sepatu?”

“Bukan aku. Tapi adik perempuanku sering pinjam sepatuku dan ngembaliinnya rusak,” jawabnya, tenang.

Tawaku keluar, ringan. “Jadi kamu sudah terlatih ya?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Besok kalau hujan lagi, bawa sepatu ganti. Kantor luas, nggak semua lantainya ramah sepatu.”

Aku tertawa kecil. “Aku di bagian admin, Elio. Jarang keliling kantor.”

“Untung ya. Kalau nggak, sepatu kamu pasti minta pensiun dini.”

Aku tertawa lebih keras, bahkan saat beberapa orang menatap. Rasanya hangat, dan untuk pertama kalinya, kantor tidak terasa begitu membosankan. Semua karena dia.

Lift terbuka. Kami berjalan berdampingan. 

Ia menatapku. Lama. "Pulang pelan-pelan. Jalanan licin habis hujan."

Lalu ia pergi. Tanpa banyak kata. Tapi kehangatannya tinggal lama.

Saat hendak turun, aku sedikit tergesa. Lantai masih licin sisa hujan, dan sepatuku nyaris terpeleset.

Elio yang di depan langsung menoleh. Langkahnya melambat.

"Aku jalan duluan, tapi bukan berarti kamu harus buru-buru nyusul."

Aku tersenyum malu. "Aku cuma takut ketinggalan."

Dia menoleh sedikit. "Kalau buatmu, aku bisa berhenti sebentar."

Aku berhenti di tempat. Jantungku seperti berhenti lebih dulu. Salting brutal. Dan wajahku… oh, pasti merah sekarang.

Elio kembali berjalan. Perlahan. Seolah tahu aku butuh waktu. Tapi kali ini, jarak kami tak lagi terlalu jauh. Tak terasa seperti dua orang asing.

Elio menaiki motornya dan bersiap pergi. “Hati-hati di jalan.”

Aku mengangguk. Tapi saat dia mulai melaju dan menjauh, ada sesuatu yang tertinggal di dada. Bukan sedih. Lebih lembut dari itu. Mungkin... ini yang orang sebut rindu—rasa yang datang bahkan sebelum aku sempat benar-benar mengenalnya.

Malam itu, aku duduk di kamar, menatap sepatu yang sedikit lembap dekat pintu. Bukan soal lembapnya. Tapi… ada seseorang yang memperhatikan langkahku. Menyadari sepatuku. Dan entah bagaimana, menyentuh sesuatu dalam diriku.

Senyum yang tak bisa dikendalikan.

Dan aku sadar, bukan karena ada yang lucu. Tapi karena hangat yang datang diam-diam, dan menggelitik hati.

Ruang ini tak lagi sepi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama