Bsb 4 – Garis Interaksi
Aku menemukan diriku menunggu. Tak lagi hanya berharap tanpa sadar, tapi sungguh-sungguh menanti kehadiran yang entah sejak kapan jadi bagian dari hariku.
Pagi itu, aku datang lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, ada rasa ingin tiba lebih dulu di kantor, seolah ada sesuatu yang menantiku di ruang kerja yang dingin dan datar itu. Mungkin bukan sesuatu—tapi seseorang.
Aku duduk di meja, menatap layar laptop yang bahkan belum kutekan tombol power-nya. Tanganku menggulir mouse tanpa arah. Pandanganku beberapa kali melirik ke arah pintu. Sunyi. Lalu—
Langkah itu datang, ritmenya seperti jeda di antara lagu yang terlalu sering kudengar akhir-akhir ini. Dia masuk, kali ini tanpa kopi di tangan. Ia tidak menatap langsung ke arahku, tapi saat ia melewati meja kami, aku tahu. Pandangan kami bersinggungan sejenak. Ada jeda yang terasa menggantung di udara. Singkat, tapi cukup untuk membuat jantungku berdetak tak beraturan.
Seharian kami tak banyak berbincang. Tapi kehadirannya cukup membuatku merasa tidak sendirian. Lucu, karena kantor ini selalu ramai. Tapi keramaian tanpa wajah yang dikenali rasanya seperti berdesakan di kereta yang tak kunjung berhenti.
Jam makan siang, aku berdiri dan mengambil map untuk tanda tangan ke HR. Pantry lebih dekat dari ruanganku, jadi aku lewat sana. Saat tanganku menyentuh gagang pintu, suara dari dalam terdengar.
“Zayka, tanda tangan dulu, ya. Absenmu belum.”
Suara Mbak Rika, dari bagian HR.
Aku membuka pintu dan masuk. dia ada di sana. Duduk dua kursi dari mesin kopi, membuka bekal rotinya. Tangannya memegang kemasan kecil sambal, dan ia tampak sibuk memisahkan bagian roti yang berlebihan. Sekilas, terlihat seperti kebiasaan kecil yang dilakukan karena alasan yang hanya ia mengerti.
Aku berhenti sejenak, menyapa dengan anggukan kepala. Ia membalas.
“Namamu Zayka, ya?”
Aku mengangguk. “Iya.”
“Unik.”
Aku tertawa kecil, lebih sebagai bentuk respon sopan. Tapi entah kenapa, aku ingin menjelaskan lebih dari sekadar itu. Maka, dengan suara yang hampir tak terdengar, aku menambahkan,
“Cuma itu bagian yang kupilih sendiri.”
Ia menoleh pelan. Tapi tak menanyakan lebih. Tidak ada, “kalau bukan itu, apa?” atau “kenapa milih nama itu?”. Dan aku lega—karena aku belum siap membahas nama lengkapku. Belum hari ini. Belum saatnya.
Kami makan dalam diam. Ia dengan rotinya, aku dengan nasi kotakku. Biasanya aku makan sambil memegang ponsel. Tapi entah kenapa, hari itu aku hanya ingin diam. Tidak ada musik. Tidak ada notifikasi. Hanya suara kunyahan pelan dan detik jam dinding yang berirama pelan.
Saat aku bangkit hendak pergi, ia menyodorkan setengah rotinya padaku. Roti tawar isi keju dan coklat, kelihatannya dibuat sendiri.
“Coba ini. Katanya roti keju bisa bikin hari lebih baik.”
Aku menerimanya. “Kamu percaya begitu?”
Ia mengangkat bahu ringan.
“Nggak juga. Tapi kadang, sesuatu jadi lebih enak kalau dibagi.”
Aku tertawa. Tertahan. Tapi benar-benar tulus.
Dan untuk pertama kalinya, aku ingin percaya pada mitos semanis itu.
Langit sore tampak mendung. Udara lebih dingin dari biasanya. Kantor perlahan kosong, satu per satu rekan kerja pulang. Aku berdiri di dekat jendela, melihat ke arah jalanan. Ingin pulang, tapi malas berjalan sendirian ke halte.
Langkah kaki itu datang lagi. Ia baru saja keluar dari ruangannya dan melihat ke arahku.
“Belum pulang?”
Aku menggeleng. “Lagi nunggu hujan turun.”
Ia menoleh ke luar.
“Padahal langitnya cuma mendung.”
Aku tersenyum. “Kadang kita cuma butuh alasan untuk berhenti sebentar.”
Dia tertawa kecil.
“Kalau gitu, aku juga ikut nunggu hujan.”
Kami duduk bersebelahan di kursi panjang dekat jendela. Tak banyak bicara. Hanya duduk. Angin dari ventilasi atas ruangan mengalir lembut.
“Aku belum tahu namamu,” kataku pelan.
Ia menoleh, sedikit kaget.
“Elio.”
Aku mengangguk. “Elio,” ulangku pelan. Namanya terdengar seperti ritme yang ingin kusimpan. Bukan untuk dikenang, tapi untuk disapa esok hari.
“Panjangannya?” tanyaku.
“Elio Pranata.”
Aku tak menyangka ia menjawab lengkap. Biasanya laki-laki sepertinya akan diam, atau menjawab singkat. Tapi ia menjawab, dan itu membuatku merasa dilibatkan.
“Nama yang unik,” kataku.
“Namamu juga. Tapi seunik apapun nama, yang paling penting bukan apa artinya—tapi siapa yang memanggilnya.”
Kalimat itu seperti tali yang menjerat dengan lembut. Tak mencengkram, tapi juga tak mudah lepas. Aku terdiam.
Hari itu aku pulang dengan langkah lebih ringan. Aku bahkan menyalakan musik di earphone. Lagu-lagu yang biasanya terdengar datar kini terasa berbeda. Mungkin bukan lagunya. Mungkin karena aku baru saja bertemu seseorang yang—entah bagaimana—bisa membuat keheningan terasa penuh makna.
Dan diam-diam, aku ingin besok segera datang.
Karena di antara banyak hal yang membuat hari terasa berat, aku baru menyadari, ada satu hal yang membuatnya lebih ringan:
Seseorang yang tidak bertanya terlalu banyak.
Tapi tahu cara tinggal cukup lama.
Tanpa membuatmu merasa terganggu. Tanpa membuatmu merasa sendirian.
Komentar
Posting Komentar