Bab 9 – Langkah yang Terlambat
Malam itu, Ilham pulang lebih awal dari biasanya. Pintu rumah terbuka sedikit, dan suara denting lonceng di kejauhan terasa lebih jelas—seperti sebuah panggilan yang mengingatkan mereka pada masa lalu yang tak bisa dilupakan. Rana sudah berada di ruang tamu, duduk dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang cantik kini tampak lebih muram dari biasanya.
Ilham berdiri di ambang pintu, memperhatikan wanita yang ia cintai, tetapi hatinya terasa semakin jauh. Ia tahu sudah terlalu banyak yang rusak di antara mereka—terlalu banyak kebohongan yang ia tutupi, terlalu banyak kata-kata yang tak pernah diucapkan. Tapi malam ini, ia tidak ingin lagi bersembunyi.
“Aku ingin bicara, Rana,” katanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Rana menatapnya dengan tatapan kosong. Ada luka di matanya yang tak bisa disembunyikan. “Kau ingin bicara? Setelah semua yang kau sembunyikan dariku?”
Ilham menarik napas dalam-dalam, berjalan menuju kursi di depan Rana. Ia duduk, dan ada keheningan yang berat. Denting. Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih menusuk. Seperti sebuah ritme yang tak bisa mereka hindari, mengalun di antara ketegangan yang semakin memuncak.
“Aku melakukan semua ini untukmu, Rana. Semua yang aku lakukan, semua yang aku sembunyikan… Itu untuk melindungimu.”
Rana menatapnya tajam, masih tidak mengerti. “Melindungiku? Dengan cara ini? Dengan berbohong dan menutup-nutupi segalanya? Kau pikir aku tidak bisa melihat semuanya?”
Ilham menunduk. “Aku tidak ingin kau tahu tentang semua itu. Semua yang terjadi di luar sana—di laut, di dunia itu. Aku terlibat dalam hal-hal yang lebih gelap daripada yang bisa kau bayangkan. Aku tak ingin kau terjebak dalam dunia yang penuh kebohongan dan bahaya itu. Kau terlalu baik untuk semuanya.”
Rana menggeleng. “Kau sudah mengubahku, Ham. Setiap hari kau membuatku ragu. Kau membuatku bertanya-tanya tentang siapa aku, siapa kau, dan apa yang benar-benar kita miliki. Kau pikir aku lebih aman jika aku tidak tahu apa-apa? Kau malah mengurungku dalam kebisuan.”
Ilham terdiam, wajahnya terlihat rapuh. “Aku tahu. Aku tahu ini berat. Tapi aku tak bisa membiarkanmu terlibat lebih dalam. Ada bahaya yang selalu mengintai. Orang-orang itu, dunia yang aku jalani, itu bukan tempat yang bisa kau sentuh. dan kuharap kamu tidak akan pernah menyentuhnya”
Rana merasa amarah dan kebingungannya bercampur aduk. Denting itu terdengar lagi, kali ini seolah datang dari hati yang terluka. Seperti hal-hal yang tak bisa diubah, meskipun mereka berusaha menahan ombak.
“Apa yang terjadi, Ilham?” Rana akhirnya bertanya, suaranya pelan. “Apa yang kau sembunyikan dariku? Apa yang harus aku takutkan?”
Ilham menatapnya lama, ada air mata yang hampir jatuh dari matanya, meskipun ia berusaha keras menahannya. “Aku terlibat dalam sesuatu yang diluar kendaliku. Aku melakukan banyak hal dan kembali. Tapi itu semua demi melindungimu. Jika kau tahu, jika kau terjebak dalam semua ini, Mereka akan menghancurkan kita.”
Rana terdiam, hatinya terbelah antara cinta yang masih ada dan kebingungannya yang mendalam. “Kenapa tak ada satu kata pun darimu yang membuatku merasa kita akan baik-baik saja, Ham? Kenapa semua ini terasa seperti beban yang hanya aku yang bawa?”
Ilham mengulurkan tangan, berusaha meraih tangan Rana, namun ia menarik diri. Denting itu kembali terdengar. Lonceng di kejauhan menyuarakan kebenaran yang mereka coba hindari: mereka terjebak dalam dunia yang terlalu gelap untuk dilalui tanpa terluka, Ilham percaya setelah melalui ini semua ada cahaya hangat yang diiringi senyuman yang bahagia, tidak perlu sempurna tapi cukup.
“Aku mencintaimu, Rana. Tapi aku harus melakukan ini. Aku harus menjaga jarak agar kau tidak terjebak dalam hidupku yang penuh kekerasan ini. Itu caraku mencintaimu—dengan cara yang tak kau mengerti.”
Rana menggigit bibirnya, menahan tangis yang tak dapat ia keluarkan. Denting itu seolah semakin keras, mengingatkan mereka bahwa tak ada lagi jalan mundur.
“Aku ingin percaya padamu, Ilham. Aku ingin tahu kalau kau melakukan ini semua demi kita. Tapi… aku juga butuh cinta yang nyata. Aku butuh cinta yang bisa aku sentuh, yang bisa aku rasakan.”
Ilham menunduk, matanya penuh dengan kesedihan. “Aku tak bisa memberimu itu. Tak sekarang. Mungkin tidak pernah.”
Rana merasakan hatinya berat, seolah setiap kata yang diucapkan Ilham semakin memisahkan mereka. Denting itu akhirnya menjadi keheningan, sebuah pengingat bahwa meskipun cinta masih ada di antara mereka, dunia yang mereka hadapi kini jauh lebih rumit daripada yang bisa mereka atasi bersama.
Komentar
Posting Komentar