Bab 11 – Saat Laut Menarik Segalanya
Pagi datang dalam kabut. Matahari terbit setengah hati di balik awan kelabu. Pulau terasa sunyi. Bahkan burung-burung tampak lupa cara berkicau.
Ilham berdiri di tepi dermaga, mengenakan jaket tuanya yang warnanya sudah pudar. Di sakunya: secarik kertas kecil, tali goni usang, dan lonceng yang sudah ia lepaskan semalam — kini tergantung kembali di tangannya, seperti menolak ditinggal.
Damar dan Asra tak terlihat. Seolah mereka hanya bagian dari satu malam saja, lalu hilang seperti mimpi buruk yang tak sempat selesai.
Ilham menatap laut. Tapi pikirannya pada Rana.
"Kalau ini harus terjadi lagi... aku gak mau dia ikut terseret.
Kalau aku harus mengulang, biar aku saja yang tahu semuanya."
Ia meletakkan lonceng itu kembali ke tiang kayu kecil rumahnya. Ia menggantungkannya pelan, lalu membisikkan sesuatu pada angin:
“Kalau kau datang lagi, kembalikan aku ke tempat di mana aku bisa memperbaiki semuanya.”
Denting pelan menjawab. Seolah laut mengerti.
Rana berdiri tak jauh, menyembunyikan dirinya di balik tirai bambu jendela. Ia melihat Ilham — yang selama ini keras dan tertutup — kini tampak rapuh, seperti ingin pergi tanpa benar-benar bisa melakukannya.
Ia hampir membuka jendela. Tapi… ada sesuatu dalam hatinya yang menahan.
"Kenapa selalu seperti ini, Ham?
Kenapa selalu kamu yang pergi?"
Tiba-tiba — buku catatan milik Rana terjatuh. Halaman-halaman terbuka tertiup angin. Di antara lembar kosong, satu halaman tampak penuh tulisan, padahal sebelumnya kosong.
“Dia tidak memberitahumu karena dia takut kau akan mengingat semuanya.”
“Tapi kamu pernah tahu, Rana.”
“Kamu juga pernah mengulang.”
Rana mematung.
Tapi sebelum ia sempat membaca lebih banyak, angin meniup halaman itu hilang ke laut.
Sementara itu, di perahu kecil yang siap berangkat, Ilham mengikat tali layar sambil menatap cakrawala.
Asra dan Damar muncul entah dari mana, berdiri di ujung dermaga.
“Kamu yakin nggak mau kasih tahu dia...?” ucap Damar
“Kamu masih bisa membawanya keluar…” lanjut Asra
Ilham menoleh perlahan. Senyum kecil menghiasi wajahnya, tapi matanya nyalang.
“Seseorang harus tetap sadar, bahkan walau harus aku sendirian.”
Layar terangkat.
Perahu menjauh.
Ilham berdiri di ujung, menatap lonceng yang masih menggantung…
…dan berdenting.
Rana keluar dari rumah, melangkah ke dermaga yang kosong.
Ia memandang laut dengan dada sesak. Tapi tak menangis. Karena entah kenapa, jauh di dalam dirinya, ia merasa ini bukan pertama kalinya ia melihat Ilham pergi seperti ini.
Komentar
Posting Komentar