Bab 2 – Hari Tanpa Warna
Keesokan harinya, dunia masih abu-abu. Hujan masih turun tipis, langit tetap kelabu, dan langkahku menuju kantor tetap lambat karena sepatuku belum benar-benar kering. Aroma apek dari kain basah menemani pagi itu, seolah menempel pada tubuhku dan enggan lepas.
Kota ini selalu seperti ini. Aneh. Seperti tidak punya musim. Panas dan hujan datang sesukanya, kadang berganti dalam satu hari. Mungkin karena letaknya di pesisir, dekat laut yang selalu membawa awan entah dari mana. Udara asin menyelinap masuk ke paru-paru, bercampur dengan aroma aspal basah dan asap kendaraan.
Aku tidak pernah benar-benar paham kapan musim hujan dimulai, karena rasanya hujan bisa turun kapan saja. Kadang, matahari bersinar terik saat pagi, lalu langit berubah mendung tanpa aba-aba saat siang, dan malam datang dengan badai. Waktu terasa kabur di sini. Tidak ada musim gugur atau musim semi. Hanya pergantian dari panas yang melelehkan ke dingin yang menggigilkan.
Aku duduk di halte dengan kepala bersandar di tiang besi. Mobil dan motor melintas cepat, menyipratkan air ke trotoar. Tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada yang peduli.
Di kantor, tawa dan sapa bertebaran di antara meja-meja. Tapi aku masih menjadi bayangan. Meja kerjaku sunyi, dan hari berjalan seperti biasa: mengetik, mengarsip, menyalin data, membalas email. Pola yang sama. Nafas yang sama. Dunia yang sama.
Ruang kerja kami sebenarnya luas—terlalu luas mungkin. Kantor lantai tiga itu ditata dengan bilik-bilik kerja yang tersekat rapi, tapi jaraknya jauh satu sama lain, serasa seperti lapangan bola yang dipenuhi komputer dan kursi putar. Kadang aku berpikir, andai aku bukan staf administrasi yang lebih banyak duduk, mungkin sepatuku sudah benar-benar menyerah dan sobek sepenuhnya. Untungnya, tugasku jarang mengharuskanku mondar-mandir ke bagian gudang atau logistik.
Pria itu—yang membawa kopi kemarin—datang lima menit setelahku. Duduk di tempat yang sama, dengan ekspresi yang sama. Tenang. Seolah ia tak terganggu oleh hiruk-pikuk kantor atau rintik hujan yang belum juga reda.
Aku memperhatikannya sesekali dari balik layar komputer. Tapi tak ada satu pun alasan untuk menyapanya. Lagipula, mungkin ia hanya orang yang kebetulan baik. Kebetulan.
Saat jam makan siang tiba, aku kembali membuka bekal. Kali ini hanya roti tawar isi keju. Aku sudah kehabisan telur. Belum gajian, dan sisa uang di dompet hanya cukup untuk dua kali makan.
Pria itu tidak ke pantry hari ini. Ia makan di mejanya. Sendiri juga. Sama sepertiku.
Hujan masih turun saat jam pulang tiba. Tapi kali ini aku tidak menunggunya. Aku tidak bisa berharap dari seseorang yang bahkan belum kuketahui namanya.
Aku melangkah keluar dari kantor, angin laut menyambut wajahk. Rintik hujan turun lagi. Tidak deras, hanya cukup untuk meresap ke kulit. Aku menunduk. Sepatuku kembali basah, selimut tipisku kembali menunggu. Jaket tipisku menggigil. Dan untuk kesekian kalinya, aku merasa dunia ini terlalu besar untuk ditapaki sendirian dan dunia... masih terasa tanpa warna.
Aku berjalan pulang,
Tapi entah kenapa, aku terus mencari bayangan payung itu di jalanan.
Meski tahu, mungkin hari ini... aku benar-benar sendirian.
Komentar
Posting Komentar