Bab 9: Kehadiran yang Kubiasakan

Aku mulai terbiasa dengan hari-hari yang diam-diam kutunggu karena kehadiran seseorang. Bukan karena janji, bukan karena kata manis, tapi karena hal-hal kecil yang entah sejak kapan menjadi rutinitas diam-diam yang kurindukan.

Pagi ini, aku membuka tas dan mendapati selembar kertas kecil terselip di sela buku agenda. Tulisan tangannya khas. Tegas, tapi rapi.

"Hari ini dingin. Jangan lupa bawa jaket. Aku nggak mau kamu sakit."

Entah kapan dia menyelipkannya. Tapi itu bukan yang pertama. Ada hal-hal kecil lain yang mulai sering kutemukan—tisu yang ditaruh di mejaku sebelum presentasi, camilan sehat saat tahu aku sedang diet, bahkan playlist musik yang tiba-tiba muncul di emailku dengan subject: "Untuk kerja sambil senyum."

Awalnya aku menganggap semua itu sebagai bentuk perhatian biasa. Tapi semakin hari, semakin aku sadar... aku menantikan itu. Menantikan dia. Seperti pagi menanti matahari, atau laut menanti pasang.


Di kantor, rutinitas seperti biasa. Tapi perasaanku tidak lagi sama. Saat jam makan siang, aku duduk bersebelahan dengannya. Kami tidak banyak bicara, tapi keheningan itu justru menenangkan.

“Pekerjaanmu lagi padat, ya?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangguk. “Agak. Tapi nggak separah kemarin.”

Dia menyeruput kopi dari gelas kertasnya. “Jangan terlalu dibebani sendiri, Seliya.”

Aku mendongak. Nama itu. Dia kembali memanggilku begitu. Nama yang dulu hanya disebut ibuku.

“Kamu sadar nggak, kamu mulai sering manggil aku Seliya?” tanyaku.

Dia menatapku. Lama. Lalu tersenyum samar. “Karena aku mau dekat. Dan Zayka itu nama yang digunakan semua orang. Tapi Seliya... itu punya kharisma nya sendiri, dan aku suka itu.”

Aku terdiam. Kata-katanya menancap dalam. Terlalu dalam.


Sore harinya, saat hujan mulai turun tipis, kami pulang bersamaan. Di halte bus, angin menyapu jaketku yang tipis. Dia berdiri di sampingku, tanpa berkata-kata, lalu menanggalkan syalnya berwarna biru navy dan melingkarkannya ke leherku.

“Ini hangat,” katanya singkat.

Aku ingin menolak. Tapi suaraku hilang. Yang tersisa hanya detak jantung yang tiba-tiba berisik.

Bus datang. Kami duduk berdampingan. Tak ada percakapan, hanya musik dari earphone yang dia bagi dua denganku. Di layar ponsel, playlist-nya tertulis: “Yang Diam-diam Menumbuhkan.”


Malamnya, aku duduk sendiri di kamar. Menatap sticky note di dalam laci mejaku yang kini penuh dengan kutipan-kutipan darinya. Kata-kata sederhana yang entah kenapa selalu datang di saat yang kubutuhkan.

"Boleh lelah, tapi jangan menyerah." 

"Yang tenang itu bukan berarti tidak peduli." 

"Kalau kamu nggak percaya diri, pinjam dulu punyaku."

Aku mulai menyadari... bahwa kehadiran Elio bukan lagi sekadar rekan kerja. Bukan juga sekadar pria yang perhatian. Tapi seseorang yang tanpa sadar mulai kugantungkan perasaanku padanya. Dan itu... menakutkan.

Bagaimana kalau suatu hari... dia pergi? Bagaimana kalau ternyata ini semua hanya sementara?

Aku menatap layar ponsel. Tak ada pesan baru. Tapi aku tahu, besok pagi akan ada sesuatu lagi. Sesuatu kecil yang membuatku merasa diperhatikan.

Dan aku... akan kembali tersenyum karena itu.

Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, aku takut pada rasa nyaman yang mulai kubiasakan. Karena semua yang dibiasakan, bisa saja... hilang tanpa pamit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama