Bab 7: Suhu yang Tak Terukur

Pagi itu, saat alarmku berbunyi, rasanya tubuh ini tak ingin diajak kompromi. Sepertinya sakitku makin parah dari kemarin. Mataku berat, kepala seperti dipenuhi kapas basah, dan tenggorokan makin nyeri dari kemarin. Tapi anehnya, aku tetap bangun. Seolah ada magnet yang menarikku untuk tetap bergerak, meski detak jantungku lemah dan peluh dingin merayap di pelipis.

Kulayangkan pandangan ke luar jendela. Langit masih kelabu, gerimis yang mulai jatuh menetes pelan di kaca, membentuk pola abstrak yang menyiratkan suasana hatiku: tidak baik-baik saja. Tapi aku tetap berdiri, melangkah ke kamar mandi, menyikat gigi dengan perlahan, dan memilih pakaian kerja yang paling nyaman.

Sampai di kantor, langkahku terasa lebih lambat dari biasanya. Tangga ke lantai dua terasa lebih curam, koridor lebih panjang, dan suara sepatu di lantai seperti gema tak berujung. Aku sampai di meja dengan sedikit terhuyung, dan sempat menarik napas panjang sebelum menyalakan laptop.

"Kamu nggak apa-apa?" suara Tara, teman satu divisi yang duduk tak jauh dariku.

Aku menoleh, memaksakan senyum. "Cuma kurang tidur."

Tara mengerutkan dahi. "Mukamu pucat banget. Kalau nggak enak badan, mending izin, deh."

Aku menggeleng pelan. "Masih bisa ditahan."

Tapi tubuhku membantah. Saat sedang membalas email, tangan kananku mulai gemetar. Aku menggigit bibir, mencoba mengendalikan diri. Tak ingin terlihat lemah. Lalu diam-diam aku menyentuh permukaan mejaku—ada sesuatu yang berbeda. Hangat.

Kulirik ke bawah. Sebuah kantong kecil berisi butiran gel penghangat terletak di sudut mejaku. Warna cokelat muda dengan plastik bening. Di atasnya, post-it kecil bertuliskan: "Untuk telapak tanganmu. Jangan keras-keras sama diri sendiri."

Aku menoleh pelan. Elio tak melihat ke arahku. Tapi aku tahu itu darinya.

Aku menyentuh kantong itu dan mendekatkannya ke dada. Kehangatan kecil yang entah kenapa terasa menyusup jauh ke dalam. Bahkan lebih dalam dari sekadar lapisan kulit dan otot. Rasanya seperti... dipahami.


Jam makan siang, aku kembali ke pantry. Hanya duduk dan menatap kotak nasi. Tubuhku mulai menggigil. Tanganku lemas.

"Kamu serius nggak apa-apa?" suara itu tiba-tiba terdengar dari samping.

Elio.

Aku mengangguk pelan. "Cuma masuk angin, sisa kemarin"

Dia menarik kursi dan duduk di depanku. Tak bicara apa-apa, hanya mengamatiku dengan sorot mata tenang seperti biasanya.

"Aku udah pernah lihat orang demam, dan kamu mirip," katanya akhirnya.

Aku tertawa kecil, tapi malah terbatuk.

"Kamu keras kepala, ya," lanjutnya.

"Kadang aku nggak tahu bedanya antara keras kepala dan takut kelihatan lemah," jawabku pelan.

Elio menatapku lebih lama. "Kamu boleh lemah. Tapi jangan pura-pura kuat terus, kamu tak harus kuat hari ini."

Aku terdiam. Ucapan itu seperti menampar, tapi dengan sarung tangan beludru. Kata-kata itu tertanam, seperti akar yang mulai tumbuh perlahan dalam pikiranku. Aku belum tahu, tapi nanti aku akan menyadari... ucapannya pelan-pelan mengubah cara pandangku terhadap diriku sendiri.

Dia berdiri dan kembali ke mejanya. Tak lama, dia kembali membawa dua gelas kertas. Satu diulurkannya padaku. Kukira kopi. Tapi saat kucium aromanya... jahe.

"Ini..."

"Iya. Susu Jahe lagi," katanya. "Kalau kamu nggak minum, kamu nggak boleh pulang."

Aku tertawa. Lalu menyeruput perlahan. Hangat. Menyengat. Dan sekali lagi, terasa jauh lebih dari sekadar susu jahe. Rasanya seperti kehadiran.

Ini bukan cuma soal rasa hangat, batinku. Ini soal rasa dilihat. Diperhatikan. Seakan tubuhku memang lemah, tapi hati ini sedang diberi selimut lembut yang bernama: peduli.


Sore menjelang, aku membereskan meja. Gerimis turun lebih deras dari kemarin. Aku berdiri di depan jendela kaca, memandangi motor yang kembali terguyur hujan. Sekali lagi, aku lupa bawa payung. Dan tubuhku sudah terlalu lemah untuk berlari menerobos hujan.

Aku berbalik, dan seperti bisa membaca pikiranku, Elio berdiri tak jauh di belakangku, sudah memegang payung.

"Ayo," katanya singkat.

Aku menggeleng pelan. "Aku bisa tunggu hujannya reda."

Dia menghela napas, lalu melangkah mendekat. Payungnya dibuka perlahan.

"Kamu keras kepala lagi. Aku antar. Nggak usah banyak alasan."

Aku menatapnya. "Elio... kamu kenapa baik banget?"

Dia tak langsung menjawab. Payung terbuka penuh. Kami berdiri di bawahnya, bahu nyaris bersentuhan.

"Karena aku tahu rasanya nggak punya siapa-siapa pas lagi lemah," katanya akhirnya. "Dan aku nggak mau kamu ngerasain itu."

Aku menahan napas. Hujan di luar seperti tak ada artinya dibanding derasnya sesuatu yang meluap di dadaku.


Kami berjalan pelan ke halte. Elio memayungi kami berdua, sesekali bergeser agar aku tak terkena tetesan hujan.

"Kalau nanti kamu pingsan di jalan, aku harus ke mana nyari kamu?"

Aku tersenyum lemah. "Tenang, aku belum separah itu. dan untungnya kosan ku tak begitu jauh kantor, hanya melawati beberapa halte pemberhentian dan gak jauh juga dari halte beberapa ratus meter dari pingir jalan."

Dia menatapku dalam. "Kalau kamu nggak pulang istirahat, aku bakal teleponin terus sampai kamu bosen."

Aku tertawa kecil, dan lagi-lagi terbatuk.


Malamnya, tubuhku benar-benar tumbang. Aku tergeletak di tempat tidur dengan selimut membungkus erat. Tapi tetap saja menggigil. Termos air hangat dari kemarin masih tersisa sedikit. Aku menyesapnya pelan. Tapi tak banyak membantu.

Kupandangi layar ponsel. Chat Elio terbuka. Jempolku sempat mengetik: "Boleh minta susu jahe lagi besok?" Tapi tak jadi kukirim.

Aku hanya menatap kosong. Di luar, hujan masih turun. Tapi hatiku... sudah mulai hangat, meski tubuhku lemah.


Pagi harinya, tubuhku masih berat. Aku terbangun oleh suara notifikasi. Sebuah pesan masuk dari Elio:

"Kamu nggak usah masuk hari ini, sarapan, obat dan termosnya aku titip ke satpam depan. Tapi kamu harus janji minum."

Aku menatap pesan itu, lalu tersenyum pelan.

Ternyata, benar kata orang. Ada jenis perhatian yang tak bisa diukur suhu atau volumenya. Tapi bisa menghangatkan hingga ke dalam-dalamnya.

Dan aku tak tahu... sejak kapan Elio bisa sedekat ini dengan hatiku.

Tapi aku tahu satu hal:

Senyum yang muncul di wajahku ini... bukan cuma karena susu jahe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama