Bab 8 – Menghitung Ombak yang Pergi

Hari-hari berikutnya, Rana merasa seperti ada dua dunia yang berusaha menariknya. Dunia yang gelap, penuh kebohongan, dan kekerasan—dunia yang dibangun oleh Ilham. Dan dunia lain, yang terasa lebih terang, meski belum sepenuhnya ia pahami, bersama Lio. Dunia yang penuh senyum sederhana dan percakapan yang tidak terbebani oleh rahasia.

Pagi itu, Rana kembali ke pelabuhan dan tanpa sengaja menemukan Lio duduk, memoles papan kayu kecil menjadi bentuk aneh yang entah akan jadi apa. Di sampingnya, seikat rumput laut tergulung rapi dan peta-peta tua yang tampak ringkih oleh air asin.

"Apa lagi yang kau bentuk dari laut hari ini?" tanya Rana, duduk di sebelahnya sambil menyentuh gulungan peta itu.

Lio mengangkat bahu. "Papan bunyi. Di tempat tertentu, kalau ditaruh di laut, dia bakal bergetar. Aku sedang mencari denting yang benar."

Rana mengerutkan dahi. "Denting?"

"Suara laut. Setiap perairan punya nada sendiri. Samudra India itu berat, dalam, kayak dada orang yang nyimpan banyak rahasia. Tapi Laut Arafura... dia pelan, kadang serak kayak nenek-nenek yang mau cerita masa mudanya," jawab Lio sambil tertawa kecil.

Rana ikut tertawa, meski tak sepenuhnya mengerti. Lio memang seperti itu—penuh metafora dan bahasa Samudra.

"Kamu memang tak pernah kehabisan cerita ya soal laut," ujar Rana.

Lio berhenti memoles papan. "Dari umur sepuluh tahun aku udah ikut kapal ayahku. Lalu berlayar sendiri waktu umur sembilan belas. Laut itu rumah kedua, kadang rumah pertama juga kalau daratan terlalu ribut."

Rana menoleh. “Apa kamu pernah merasa kesepian di sana?”

“Kesepian itu biasa. Tapi kalau kamu berhasil mendengarkan denting laut, kamu akan sadar... kamu nggak sendiri. Laut juga cerita, cuma kita sering lupa mendengar.”

Rana terdiam. Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang tidak ia mengerti sepenuhnya, tapi terasa benar.

Lio tersenyum. “Jika kau ingin berbicara lebih banyak, aku di sini. Tak ada rahasia yang harus disembunyikan.”

Rana menunduk, ada perasaan yang tiba-tiba tumbuh. Sesuatu yang ringan, yang selama ini terasa hilang. Ia merasa dihargai tanpa syarat, sesuatu yang tidak ia rasakan lagi bersama Ilham.

Namun, bayang-bayang Ilham tak pernah benar-benar pergi. Setiap kali Rana melihat Lio, ia merasa sedikit lebih bebas. Tapi saat ia kembali ke rumah, suara denting lonceng dari kejauhan mengingatkannya pada satu hal: Ilham.


Sore itu, seperti biasa, Ilham pulang lebih larut. Matahari sudah tenggelam, dan angin laut semakin kencang. Rana sudah menunggu di ruang tamu, meski hatinya terbelah. Ia tahu Ilham akan kembali dalam keadaan yang sama—terdalam dalam keheningan yang mematikan.

Ilham masuk dengan wajah yang penuh kekasaran. “Kau ke mana?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tajam dari biasanya.

“Ke pelabuhan,” jawab Rana dengan tenang. “Aku berbicara dengan Lio.”

Ilham menatapnya dengan tatapan tajam, tak menyembunyikan kekecewaannya. “Kau merasa nyaman dengan dia, kan?”

Rana menahan napas. “Aku hanya berbicara dengannya. Hanya itu.”

Ilham mengalihkan pandangan, berjalan ke arah jendela dengan langkah berat. "Kau tahu, kadang dunia ini tidak sesederhana yang kau kira, Rana. Kau tidak mengerti betapa beratnya ini untukku."

Denting.

Lonceng itu terdengar sekali lagi. Perasaan di antara mereka semakin menegangkan. Ilham berdiri di sana, membelakangi Rana, seolah ada tembok besar yang memisahkan mereka.

Rana merasa hatinya terhimpit. Apakah semua yang telah mereka lalui, semua yang telah dibangun, hanyalah ilusi? Apakah ada cinta di balik kebohongan dan kebisuan yang semakin mendalam ini?

“Ilham…” Rana memulai, tetapi kata-katanya terhenti. Ia merasa kebingungan yang tidak bisa ia ungkapkan.

Ilham berbalik, mata yang biasanya penuh dengan cinta kini hanya dipenuhi oleh amarah yang tertahan. “Aku harus melindungimu, Rana. Bahkan jika itu berarti aku harus menyakitimu untuk membuatmu tetap aman.”

Tapi kata-kata itu malah semakin membuat jarak di antara mereka. Rana merasa seperti kehilangan dirinya sendiri di dalam kata-kata Ilham. Apakah ini cinta? Ataukah hanya ketakutan yang tersembunyi di dalam kebohongan-kebohongan lama?

Denting terdengar lagi, kali ini lebih dalam. Seperti suara dari masa lalu yang terus mengganggu. Sebuah pengingat bahwa meskipun Ilham merasa ia melindungi Rana, perasaan mereka semakin sulit untuk dipahami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama