Kau Tak Harus Kuat Hari Ini
BAB 1 – Selimut Tipis, Sepatu Robek
Pagi itu, sekitar pukul tujuh, tepat sebelum jam terlambat kantor, hujan masih turun rintik-rintik dari langit yang kelabu. Aku berdiri di pinggir jalan, tubuhku membeku oleh udara dingin dan sepatuku yang basah kuyup. Jaket yang kupakai sudah tak mampu lagi menahan air yang menetes dari ujung payung orang-orang yang berlalu-lalang, karena aku tak membawa payung.
Sepatuku, yang ujungnya sudah robek, menyisakan rasa perih setiap kali aku melangkah. Rasanya seperti luka lama yang tak kunjung sembuh, tapi aku harus terus berjalan. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Karena hidup ini bukan tentang ingin, tapi tentang bertahan.
Kontrakan kecil yang kusebut rumah tak pernah benar-benar hangat. Dindingnya lembap, warnanya pudar. Aku tinggal di kamar 2x3 meter, cukup untuk satu kasur tipis, satu meja kecil bekas, dan gantungan baju di pojok ruangan. Di sana, selimut tipis milikku menjadi saksi bisu berapa kali aku menggigil dalam diam. Tapi entah kenapa, aku selalu menutup tubuhku dengan selimut itu. Mungkin karena aku belum siap melepaskannya, atau karena aku tak punya pilihan.
Aku hidup sendiri di kota ini. Bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan distribusi, dengan gaji yang hanya cukup untuk menyambung hidup dan mengirim sedikit ke rumah. Ibuku sakit-sakitan, adikku masih sekolah, dan aku… aku adalah satu-satunya yang mereka andalkan.
Terkadang aku iri pada mereka yang bisa pulang dan makan masakan hangat ibunya, bisa mengeluh tanpa merasa bersalah. Sedangkan aku, makan seadanya—mie instan, nasi dan garam, kadang cukup air putih. Mengeluh pun rasanya seperti dosa, seakan Tuhan akan marah kalau aku mempertanyakan nasibku.
Pagi itu aku berjalan kaki ke halte, karena ongkos ojek terlalu mahal jika sering-sering dipakai. Hujan tak juga reda. Aku menunduk, menutupi wajah dengan tangan, dan berharap tidak terlihat terlalu menyedihkan. Tapi basah itu tetap masuk ke dalam sepatu, menyelinap ke kaus kakiku, membuat langkahku terasa berat.
Di kantor, suasana tak jauh berbeda dari biasanya. Meja-meja tertata rapi, komputer menyala, dan rekan-rekan kerja mulai berdatangan dengan aroma parfum dan tawa. Aku duduk di mejaku, diam-diam menyalakan komputer, mengecek email, dan mulai mengetik tanpa sepatah kata pun pada siapa pun.
Aku tahu, bukan karena mereka jahat. Mereka hanya... tidak benar-benar melihatku. Dan aku pun tidak berusaha terlihat. Mungkin ini caraku bertahan, menjadi bayangan agar tidak terluka. Tapi kadang, aku bertanya dalam hati: apakah benar aku kuat? Atau aku hanya menunda hancur?
Jam makan siang, aku membuka bekal yang kubawa dari rumah: nasi dingin dan telur dadar tipis. Aku makan perlahan, menikmati setiap gigitan seakan itu hidangan mahal. Tak ada yang duduk bersamaku. Tak apa. Aku sudah terbiasa.
Lalu pintu pantry terbuka. Seseorang masuk. Seorang pria, membawa dua gelas kopi dari mesin otomatis di lobi. Ia berjalan tenang, meletakkan salah satu gelas di meja dekat printer, lalu duduk di mejanya sendiri. Ia mengenakan kemeja biru muda, rambutnya sedikit basah, mungkin karena hujan. Matanya bertemu dengan mataku sesaat. Tak ada senyum, tak ada sapa. Hanya pengakuan diam: aku ada.
Aku menunduk cepat-cepat, kembali ke bekalku. Tapi entah kenapa, perasaanku hangat. Bukan karena kopinya, bukan karena tatapannya. Tapi karena untuk pertama kalinya, rasanya ada seseorang yang melihatku tanpa menuntutku bicara.
Sisa hari berlalu dalam keheningan. Aku menyelesaikan laporan yang diminta atasan, menjawab email, dan mengarsip dokumen. Saat jam pulang tiba, hujan kembali mengguyur kota. Aku berdiri di lobi kantor, memandang keluar. Semua orang sudah pulang. Tinggal aku dan suara hujan.
Aku tak punya payung. Lagi.
Aku menatap langkah kakiku yang basah, mencoba menahan diri untuk tidak gemetar. Jaketku tipis, dan udara malam mulai menusuk kulit. Aku ingin menangis, tapi mataku terlalu lelah.
Kemudian, langkah kaki mendekat dari belakang. Aku menoleh perlahan. Pria yang tadi di pantry itu berdiri di sampingku. Ia membuka payung, tidak berkata apa-apa. Tidak menawarkan, tidak menoleh. Ia hanya melangkah keluar. Tapi gerakannya lambat… seolah menunggu.
Aku ragu sejenak, lalu mengikuti. Kami berjalan beriringan di bawah payungnya. Tidak saling bicara. Tidak saling menatap. Tapi langkah kami seirama, dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendiri.
Malam itu, aku pulang dengan sepatu yang masih basah dan selimut tipis yang menantiku di kontrakan. Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Ada seseorang. Entah siapa namanya. Tapi langkahnya yang tenang dan kehadirannya yang diam membuat dunia tak lagi terasa terlalu sunyi.
Dan mungkin, hanya mungkin… aku bisa bertahan sedikit lebih lama.
Komentar
Posting Komentar