Bab 10 – Ombak yang Tak Kembali
Pagi itu, langit tampak lebih kelabu. Angin tak membawa aroma garam seperti biasa, dan suara ombak terdengar lamban. Rana duduk memandangi dermaga kosong. Di pangkuannya, secarik kertas terlipat dua: surat singkat dari Lio.
“Rana, aku harus kembali. Laut memanggilku lagi. Tapi bukan karena aku ingin pergi darimu, justru karena aku ingin kamu tetap di sini, berdiri untuk dirimu sendiri.”
Di akhir surat, tersemat gambar kecil: peta pulau ini dengan lingkaran merah di bagian timur. Di bawahnya tertulis, “di sana, denting lebih keras.”
Rana menatap jauh ke laut. Ada ruang kosong di dalam dirinya yang entah kapan mulai tumbuh.
Dan untuk pertama kalinya, Rana mulai merasa… denting itu bukan hanya pertanda. Ia adalah bagian dari sesuatu yang belum dia pahami.
“Kenapa semuanya terasa seperti berulang?”
Ilham berdiri di balik tirai, memperhatikan Rana yang termenung. Tangannya mengepal. Ia ingin keluar, mengatakan sesuatu, tapi kata-kata terasa berat—seolah lidahnya dikunci oleh waktu.
“Kenapa aku nggak bisa bilang semuanya?”
“Kenapa setiap aku mencoba… rasanya seperti sudah pernah kulakukan—dan gagal?”
Ilham membuka laci tua. Di dalamnya ada seutas tali goni, secarik kertas dengan catatan samar, dan… sebuah lonceng kecil.
Ia mengangkatnya. Tidak ada angin. Tapi lonceng itu bergetar perlahan. Berdenting lembut. Seolah menjawab sesuatu.
“Ini malam itu lagi...” gumam Ilham lirih.
“Tapi bukankah aku sudah…?”
Ketukan di pintu membuyarkan pikirannya. Damar muncul. Matanya gugup.
“Sudah saatnya, Ham.”
“Kita harus ke timur. Sama seperti waktu itu.”
Ilham membeku. “Waktu itu?”
Damar menoleh cepat, lalu menunduk. “Maksudku… malam ini.”
Langkah mereka menyusuri jalanan gelap menuju sisi timur pulau. Ilham, Damar, dan seorang pria lain yang tidak banyak bicara — hanya dipanggil Asra.
Bulan menyelinap di balik awan, dan denting dari lonceng kecil di saku Ilham berdenting pelan, meski tak ada angin. Suaranya seperti gema, tapi juga seperti… bisikan.
Damar berjalan di depan, membawa lentera.
“Kamu denger tadi?” bisik Damar.
Ilham mengerutkan dahi. “Dengar apa?”
Damar menoleh, wajahnya pucat. “Ada suara. Kayak nyuruh kamu pergi.”
“Maksudmu suara siapa?”
“Aku gak tahu… Tapi rasanya bukan suara kita. Bukan dari dunia ini.”
Ilham berhenti melangkah.
Asra akhirnya bicara. Satu kalimat saja.
“Kita cuma nurut aja, Ham. Seolah… ini udah ditulis sebelumnya.”
Ilham mulai menyadari sesuatu...
Rana duduk di teras rumahnya malam itu, menatap laut. Lio sudah pergi. Ilham belum kembali. Dan denting… denting itu kembali terdengar. Tapi kali ini, ia merasa seseorang menatapnya dari halaman buku yang belum pernah ia buka.
Ia mengintip buku catatannya sendiri. Lembar terakhirnya kosong, tapi bekas pena terlihat samar — seperti tulisan pernah ada di sana lalu menghilang. Di ujung halaman, samar:
“Jangan biarkan dia pergi.”
Rana menutup bukunya cepat.
Kembali ke Ilham, mereka tiba di sebuah batu besar di ujung timur pulau. Batu itu dipenuhi ukiran aneh, dan sebuah tiang kecil tempat menggantung lonceng.
Ilham tahu dia harus meletakkan lonceng itu di sana. Entah kenapa, ia yakin.
Damar memberinya tali.
“Kau harus menggantungkannya sendiri, Ham. Biar angin tahu ke mana harus datang.”
Ilham menggantungkan lonceng. Tapi saat ia melepaskan tali…
Sesuatu bergetar dalam dirinya.
Sebuah gambaran muncul sekilas di benaknya:
-
Rana menangis di dermaga.
-
Lio menatapnya dari kejauhan.
-
Dirinya sendiri… berlutut, berdarah, berteriak.
Dan suara — yang bukan suara siapa pun — membisik:
“Jangan terpengaruh, Ilham.”
Ilham terhuyung mundur.
“Asra… Apa yang sedang kita lakukan sebenarnya?”
Asra hanya menatap kosong ke arah dinding— ke arah yang tak bisa dijelaskan.
“DIa sedang melihat. Dan kau sedang diminta untuk patuh.”
Ilham menggigit bibirnya. Ia melihat ke langit, lalu ke arah laut. Akhirnya Ilham menyadari semuanya, tentang semua ini dan sosok di balik dinding itu... sosok yang lebih kuat dari hukum...
Komentar
Posting Komentar