Bab 5: Retakan di Langit Pagi
Ia datang sebelum dunia membuka mata. Langkahnya ringan, seperti hujan yang belum jadi. Aku melihatnya—seperti biasa—berdiri di hadapanku. Wajahnya menghadap ke luar, ke kota yang masih dibalut kabut, tapi aku tahu: yang ia lihat bukan langit. Melainkan bayangan dirinya sendiri, yang tak sempat tumbuh perlahan. Mereka menyebutnya keajaiban. Anak yang serba bisa. Yang menyanyi tanpa goyah. Menari tanpa jeda. Tersenyum tanpa retak. Tapi aku, sang jendela tua yang menghadap panggung dan ruang latihan, tahu: tidak semua yang bersinar, ringan untuk dibawa. Tidak semua yang sempurna, bahagia untuk dijalani. “You are the cause of my euphoria…” Ia menyanyikannya sambil menatap langit yang belum biru. Tapi nada itu terdengar seperti doa yang belum dijawab. Seperti harapan yang ia tulis untuk dirinya sendiri, agar suatu hari, ia percaya ia pantas merasakannya. Ia mengira euforia adalah senyuman penonton, tepuk tangan panjang, mata kamera yang mengejarnya. Tapi ketika semua i...