Bab 10: Cinta Pertama yang Menyembuhkan
Ada suara yang lebih tua dari kata-kata. Suara yang tidak perlu diterjemahkan, karena ia berbicara langsung pada hati yang pernah retak. Suara itu bukan orang. Bukan pelukan. Tapi denting kayu dan tuts yang nyaris lapuk, di ujung ruangan sepi yang berdebu. Piano. “The brown piano in the corner of my youth…” Ia menyentuhnya dengan jari gemetar. Seperti menyentuh luka lama yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Ada cinta di sana, tapi juga rasa kehilangan yang diam-diam tumbuh bersama waktu. Aku menyaksikannya dari kejauhan, saat ia menekan tuts pertama dengan hati-hati— nada yang nyaris tak terdengar, seperti suara kecil dari dalam dirinya yang telah lama ia bisukan. “Even if I leave, you stay there…” “You protected me from that time.” Dulu, ia bermain piano untuk lari dari dunia. Kini, ia kembali untuk menemukan dirinya sendiri. Dan ketika nada-nada itu mengalun, aku melihat sesuatu yang belum pernah muncul di matanya sebelumnya: kerinduan yang tulus. Bukan...