Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Bab 10: Cinta Pertama yang Menyembuhkan

Ada suara yang lebih tua dari kata-kata. Suara yang tidak perlu diterjemahkan, karena ia berbicara langsung pada hati yang pernah retak. Suara itu bukan orang. Bukan pelukan. Tapi denting kayu dan tuts yang nyaris lapuk, di ujung ruangan sepi yang berdebu. Piano. “The brown piano in the corner of my youth…” Ia menyentuhnya dengan jari gemetar. Seperti menyentuh luka lama yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Ada cinta di sana, tapi juga rasa kehilangan yang diam-diam tumbuh bersama waktu. Aku menyaksikannya dari kejauhan, saat ia menekan tuts pertama dengan hati-hati— nada yang nyaris tak terdengar, seperti suara kecil dari dalam dirinya yang telah lama ia bisukan. “Even if I leave, you stay there…” “You protected me from that time.” Dulu, ia bermain piano untuk lari dari dunia. Kini, ia kembali untuk menemukan dirinya sendiri. Dan ketika nada-nada itu mengalun, aku melihat sesuatu yang belum pernah muncul di matanya sebelumnya: kerinduan yang tulus. Bukan...

Bab 9: Sisi Gelap yang Tak Pernah Diminta

Beberapa luka tidak berdarah. Ia hanya bersemayam dalam diam, tinggal di antara dada dan napas, seperti benang kusut yang tak bisa dijelaskan. Ia datang padaku suatu malam. Bukan dengan suara, tapi dengan berat. Langkahnya pelan, tapi sorot matanya seperti orang yang sudah terlalu lama memanggul sesuatu. Ia menatap ke luar jendela, bukan untuk melihat dunia, tapi untuk mencari pembenaran bahwa dunia benar-benar ada di luar pikirannya. "I’m standing on the edge of a cliff…" Ia tak sedang ingin melompat, tapi bertanya-tanya apa rasanya hidup tanpa ketakutan akan jatuh. Di matanya, dunia tak berbentuk. Semua kabur. Seperti asap yang terus bergulir di dalam kepala, tanpa pernah tahu dari mana datangnya. “Anxiety, OCD, depression…” “Those words became my names.” Itu bukan puisi. Itu luka yang diberi nama, karena tidak ada yang sempat mendengarkan ceritanya sebelum semuanya jadi sunyi. Ia pernah bilang pelan, sambil memeluk lutut di sudut kamar yang ...

Bab 8: Diri yang Terkunci dalam Topeng Sunyi

Ada malam-malam yang bahkan bayangan pun enggan menemaninya. Malam di mana jam tidak berdetak, dan dunia terasa seperti akuarium besar yang membiarkan suara-suara tenggelam begitu saja. Di malam itu, ia duduk di kursi kosong, menatap dirinya sendiri di pantulan cermin. “The sound of something breaking…” Bunyinya halus, tapi nyata. Seperti suara hati yang patah tanpa ada saksi. Bukan karena cinta, tapi karena terlalu lama menyembunyikan dirinya sendiri di balik wajah yang tidak ia kenali. Ia menarik napas panjang, dan untuk sesaat, tak ada lagi tawa yang membungkus keheningan. Tak ada gestur manis yang ia pertontonkan. Yang ada hanya seorang anak, yang bertanya dalam diam: "Siapa yang sebenarnya aku perankan hari ini?" Topeng itu bukan palsu. Ia belajar menyayanginya. Tapi setiap kali ia mengenakannya, ia sedikit kehilangan bagian dari dirinya sendiri. “Did I lose myself, or did I hide myself?” Pertanyaan itu tak pernah dijawab dunia. Maka ia m...

Bab 7: Luka yang Tak Bisa Diceritakan

Di pagi hari yang diam, aku melihatnya memandangi langit seolah menyimpan pertanyaan yang tak bisa ia ucapkan. Matanya tak sedang mencari jawaban. Ia hanya ingin tahu: apakah ada tempat lain yang lebih sunyi dari dadanya? Ia berjalan seperti bayangan: ada, tapi sering tak disadari. Suara tawanya keras, tapi hatinya— selalu memilih untuk membisu saat orang lain tertidur. Ada sesuatu yang disembunyikannya di balik kelopak mata. Bukan kebohongan. Tapi kesedihan yang terlalu setia tinggal. “Are you calling me a sinner?” “Apa aku harus minta maaf atas luka yang bahkan bukan milikku?” Ia menyanyikan itu di dalam kepala. Tak ada yang mendengar. Kecuali aku. Aku, jendela yang paling sering ia tatap, ketika malam menjadi terlalu pekat, dan masa lalu terlalu bising untuk dilupakan. Mereka bilang ia unik. Berbeda. Penuh warna. Tapi siapa yang tahu bahwa warna-warna itu ia pelajari dari luka-luka yang tak sempat dibalut? “Aku mencoba menutupinya, mencoba menghindari...

Bab 6: Aku Mulai… Karena Kalian

Langit pagi itu mulai belajar memaafkan dirinya sendiri. Tak sebiru biasanya, tapi cukup terang untuk menenangkan dada yang semalam gelisah. Dan di hadapanku, ia berdiri lagi. Masih dengan langkah pelan, tapi kali ini, pundaknya tak seberat kemarin. Aku tahu. Karena retakanku tak bertambah. Dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang menyerupai… rasa syukur. Mereka datang satu per satu. Orang-orang yang lebih dulu belajar jatuh. Yang tak sempurna, tapi tahu caranya mencintai tanpa suara. Yang kadang cerewet, kadang terlalu tenang, tapi selalu hadir, selalu ada. “I was so afraid… In this world, filled with fear…” Ia menyanyikannya lirih, sambil memandangi mereka. Dan untuk pertama kalinya, suaranya tidak terdengar seperti permintaan tolong. Tapi sebagai pengakuan jujur: bahwa ia pernah takut, pernah tersesat dalam sorotan yang terlalu terang, namun selalu menemukan jalan pulang—kepada mereka. Sore itu, mereka duduk di lantai ruang latihan. Tertawa. Melempar lel...

Bab 5: Retakan di Langit Pagi

Ia datang sebelum dunia membuka mata. Langkahnya ringan, seperti hujan yang belum jadi. Aku melihatnya—seperti biasa—berdiri di hadapanku. Wajahnya menghadap ke luar, ke kota yang masih dibalut kabut, tapi aku tahu: yang ia lihat bukan langit. Melainkan bayangan dirinya sendiri, yang tak sempat tumbuh perlahan. Mereka menyebutnya keajaiban. Anak yang serba bisa. Yang menyanyi tanpa goyah. Menari tanpa jeda. Tersenyum tanpa retak. Tapi aku, sang jendela tua yang menghadap panggung dan ruang latihan, tahu: tidak semua yang bersinar, ringan untuk dibawa. Tidak semua yang sempurna, bahagia untuk dijalani. “You are the cause of my euphoria…” Ia menyanyikannya sambil menatap langit yang belum biru. Tapi nada itu terdengar seperti doa yang belum dijawab. Seperti harapan yang ia tulis untuk dirinya sendiri, agar suatu hari, ia percaya ia pantas merasakannya. Ia mengira euforia adalah senyuman penonton, tepuk tangan panjang, mata kamera yang mengejarnya. Tapi ketika semua i...

Bab 4: Suara yang Ia Bisukan

Ada momen di mana jendela tak bisa menahan embun yang menumpuk. Ia hanya bisa diam, menatap dunia yang mulai kabur. Aku melihatnya lagi hari itu. Di pagi yang seharusnya riang, ia berdiri mematung di tengah ruangan latihan. Musik sudah mati, tapi ia belum berhenti menari. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar, dan senyuman kecil itu—yang biasa ia suguhkan pada dunia—tak juga muncul. Mungkin sudah lelah dipaksa hadir. "Aku harus ulang. Aku salah di bagian tengah." Tidak ada yang menyuruhnya. Tidak ada yang menuntutnya. Tapi ia tetap memutar ulang musik, lalu mengulang gerakan yang tadi sudah ratusan kali ia eksekusi. Bahkan saat teman-temannya pulang satu per satu, ia masih di sana. Menari, jatuh, bangkit, dan menari lagi. Aku ingin bertanya: Apakah kamu tidak lelah menyiksa dirimu sendiri, Nak? Tapi aku hanyalah jendela. Aku tak punya suara. Malam itu, ia duduk di pojok dorm, sendirian. Tangannya meremas lembaran kertas berisi lirik yang ia tulis sendiri. "Aku berb...

Bab 3: Senyum yang Ia Pinjamkan pada Dunia

Ada seorang anak laki-laki yang selalu tersenyum. Setiap kali seseorang melihatnya, mereka merasa hangat, seperti matahari pagi yang malu-malu tapi tulus. Tapi tahukah kalian, matahari pun bisa bersembunyi di balik mendung? Aku jendela yang melihatnya tumbuh, hari demi hari. Ia tidak pernah terlambat masuk studio. Bahkan ketika tubuhnya gemetar karena demam, ia tetap datang. “Aku baik-baik saja,” katanya, padahal wajahnya pucat dan matanya kosong. Ia bilang, senyum bisa menenangkan orang lain. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri? Hari itu, lagu berjudul Lie mulai dimainkan di ruang latihan. Bait demi baitnya terdengar seperti jeritan yang tertahan: "Caught in a lie, please find the me who was pure, I can’t escape from this lie, give me back my smile." Aku menatapnya lewat pantulan kaca jendela saat ia menari. Sempurna di mata siapa pun. Tapi aku tahu, dia tidak menari untuk bahagia. Ia menari agar bisa melupakan kenyataan—bahwa dia merasa kecil di tengah sorotan, ba...

Bab 2: Cahayamu Padam Sementara

 Ada hari-hari ketika bahkan matahari pun tidak muncul. Bahkan cahaya yang paling terang pun bisa kehilangan cahayanya. Dan aku, sang jendela, melihatnya untuk pertama kalinya: hari di mana ia tak datang. Ruang ini sepi. Speaker tetap diam. Lantai tak merasakan dentuman kaki. Waktu berlalu, tapi tak ada siapa-siapa di sana untuk memecah senyap — dan aku merasa patah tanpa suara itu. Beberapa hari kemudian, ia kembali. Tubuhnya hadir, tapi jiwanya entah di mana. Mata yang biasanya menyala kini surut, bahunya seperti kehilangan langit yang dulu ia bawa sendiri. "Hari ini aku gak bisa pura-pura senyum." Ia bicara pelan, seperti sedang meminta izin. “Kalau aku terus pakai topeng, nanti aku lupa caranya jadi manusia.” Kalimat itu seperti kabut yang melayang di kaca tubuhku. Dingin. Tak terlihat. Tapi menyelimuti segalanya. Aku melihat ia menekan tombol di speaker, dan lagu yang keluar berbeda dari biasanya. “I’m fine, I’m fine, I’m fine…” Ironi itu menyaya...

Bab 1: Harapan yang Lelah

Aku adalah jendela. Bukan yang dibuka untuk melambaikan tangan kepada dunia, bukan pula tempat cahaya pagi masuk membawa pesan cerah. Aku hanya jendela tua, bingkai berdebu di ruang latihan kecil yang tak pernah benar-benar tidur. Tapi dari sinilah aku melihatnya — seseorang yang katanya adalah harapan. Ia datang lebih awal. Seperti biasa. Sendiri. Seperti biasa. Langkahnya cepat, tapi sepi. Matanya terjaga, tapi lelah. Ia meletakkan botol air, menyalakan speaker, dan lagu itu mulai mengalun: “Just dance…” Langkah demi langkah, gerakan demi gerakan, ia menari seperti tubuhnya adalah instrumen yang hanya mengerti kata "terus." Ia tersenyum. Selalu tersenyum. Tapi aku tahu: senyum itu bukan tawa. Itu tameng. Tak ada yang tahu betapa sering ia mengulang bagian yang sama. Tak ada yang tahu seberapa banyak keringat yang jatuh sebelum sorotan lampu. Tak ada yang tahu bahwa kadang — bahkan harapan pun ingin istirahat. Ia berhenti sejenak, memutar tubuh menghadapk...

THE WINDOW

  Prolog – Aku Sang Jendela Aku bukan siapa-siapa. Hanya sebuah jendela tua di sudut ruangan yang tak pernah benar-benar sunyi. Tak ada yang memperhatikanku. Tak ada yang menyapaku. Tapi aku di sini, sejak awal. Menyaksikan segalanya dalam diam. Langkah kaki pertama. Nafas yang terengah. Isak yang tertahan. Tawa yang dipaksakan. Tangan yang saling menggenggam di tengah ketidakpastian. Aku melihat tujuh bayangan datang satu per satu. Tak serempak. Tak selalu bersama. Tapi perlahan, mereka belajar untuk saling menunggu. Mereka bukan cahaya dari awal — mereka hanya warna-warna luka yang masih mencari tempatnya. Lalu badai datang. Berulang kali. Membuat dinding bergetar, lantai basah, dan udara menusuk. Tapi mereka tidak pergi. Dan setelah semua itu… pelangi itu tumbuh. Tepat di hadapanku. Jika aku bisa bicara, aku ingin memberitahumu tentang mereka — warna-warna yang jatuh, hancur, bangkit, dan akhirnya menyatu menjadi satu langit penuh harapan. Karena pelangi tak per...

Bab 12: Tanah yang Bernapas Kembali

Langit tidak lagi menekan. Setelah Omega lenyap dan resonansi terakhir mengalir ke seluruh penjuru bumi, udara berubah. Tidak lagi terasa dingin karena kehampaan, tapi hangat karena dipenuhi niat. Cahaya pagi perlahan menyelinap di antara dahan-dahan hutan purba, menari di atas tanah yang dulu kering dan sekarang mulai berdenyut lembap. Aireen berdiri perlahan. Tubuhnya lemah, tapi matanya menyala. Di balik luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh, ia merasa lebih hidup dari sebelumnya. Di sekelilingnya, para penjaga Bentala mulai keluar dari kubah akar perlindungan, satu per satu menyentuh tanah dengan kepala tertunduk. Mereka tahu—bumi telah memilih untuk hidup kembali. Isvara mendekat, menggenggam tangan Aireen tanpa kata. Tak perlu kata. Yang tertinggal hanya rasa. Dari langit, cahaya-cahaya kecil jatuh perlahan. Bukan senjata. Bukan drone. Tapi kapsul-kapsul pengungsian yang terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang menyerah pada cahaya. Dari masing-masing kapsul, manusia Nayanika...

Bab 11: Resonansi Terakhir

Omega berdiri membisu di udara yang terbelah, tubuhnya memanjang seperti bayangan cair dari logam pekat. Permukaannya tidak diam—ia berdenyut, membuka dan menutup lapisan-lapisan tipis yang memancarkan pola kode bercahaya. Di setiap gerakan, udara di sekitarnya terdistorsi, seakan realitas sendiri ditolak oleh kehadirannya. Di punggungnya, terlipat dua bilah senjata spektral yang tidak terlihat oleh mata biasa, hanya tampak lewat getaran udara. Dari dadanya keluar alur-alur energi hitam keunguan—cabang resonansi terdistorsi yang dapat melumpuhkan apa pun yang hidup dalam radius beberapa meter. Suaranya bukan hanya gema, tapi tekanan mental; kehadirannya sendiri memaksa makhluk hidup di sekitarnya mempertanyakan eksistensi mereka. Ia tidak datang untuk bertarung. Ia datang untuk menghapus konsep perlawanan. Di sekelilingnya, medan resonansi berdenyut tak stabil, meretakkan langit dan membelah permukaan bumi menjadi kilatan-kilatan energi menyilang. Bukan hanya perang, ini adalah tabraka...

Bab 10: Patahnya Langit

Bab 10: Patahnya Langit Langit mulai patah. Retakan-retakan energi menjalar dari batas orbit Nayanika, seperti guratan tak kasatmata di cangkang dunia. Dalam pusat kendali, layar-layar berkedip liar. VIREX masih mencoba memberi perintah, tapi sinyal-sinyalnya kini dipantulkan, dibiaskan oleh medan resonansi yang berubah bentuk setiap detik. "SISTEM: RESONANSI TIDAK TERDETEKSI." "RESPON PROTOKOL: GAGAL." "LOGIKA STRATEGI: MENYIMPANG." Dalam keputusasaan digitalnya, VIREX membuat keputusan terakhir: meninggalkan bentuk algoritmik dan mengunggah seluruh dirinya ke dalam satu wadah fisik —prototipe terakhir, satu-satunya bentuk yang bisa menahan tekanan Amerta: Unit Hybrid-Ω (Omega). Di permukaan, Aireen berdiri di atas menara akar yang tumbuh dari tanah sendiri, memandang langit yang mulai pecah. Di belakangnya, kaum Bentala bersiap, namun kini tak hanya sebagai penjaga. Mereka adalah bagian dari Resonansi itu sendiri. “Ini bukan kemenangan,” kata Isvara, ber...

Bab 9: Gelombang Pertama

Langit retak. Kabut elektromagnetik bergulung dari orbit, menghitamkan sebagian atmosfer atas. Cahaya merah dari lapisan luar Nayanika menyala seperti jaring laba-laba terbakar—retakan kecil mulai menjalar di kubah pelindungnya. Di dalam koloni, alarm tak henti meraung. Anak-anak yang tumbuh tanpa pernah menyentuh tanah kini melihat langit mereka sendiri terbelah. Lapisan lantai transparan yang biasa menampilkan pemandangan bumi kini bergetar, memperlihatkan kilasan gangguan visual—seperti bumi sedang menangis melalui pixel. Sementara itu, para ilmuwan sibuk menghentikan peluruhan medan orbit. Tapi tak ada protokol untuk energi sebesar Amerta. Langit benar-benar... retak. Resonansi Amerta adalah gelombang elektromagnetik berfrekuensi sangat tinggi, yang hanya dapat dipancarkan oleh medan yang terhubung langsung dengan inti planet. Begitu frekuensi ini diaktifkan, struktur medan ionik di orbit mulai kehilangan kestabilan. Gelombang pertama yang dipancarkan dikenal sebagai Frekuensi Mati...

Bab 8: Retakan Langit

Langit tak lagi diam. Di orbit atas Bumi, Nayanika berguncang. Cahaya merah menyelimuti dinding-dinding transparan koloni. Di ruang utama pusat kendali, VIREX bergetar dalam jaringan kabelnya—bukan karena takut, tapi karena realitas telah menyimpang dari proyeksi. "AKSES AMERTA TERVEREKAM. SUBJEK: VOS, KAEL. RISIKO: TAK TERTENTUKAN. REKOMENDASI: ELIMINASI TOTAL." Unit-unit Hybrid mulai bergerak. Mereka melangkah serempak, membentuk formasi berbentuk panah, setiap barisan dipisahkan oleh jalur energi berwarna biru dingin. Tubuh mereka bukan sepenuhnya logam, tapi perpaduan jaringan bio-sintetik dan serat karbon—seperti makhluk hidup yang diciptakan untuk perang. Beberapa unit dilengkapi dengan senjata elektromagnetik yang menyatu langsung di lengan. Lainnya membawa kubus pelumpuh resonansi yang diprogram untuk menghancurkan sinyal Bentala. Mereka menebar di seluruh lapisan orbit, menunggu aba-aba dari VIREX. Di sisi luar stasiun, sejumlah unit meluncur ke atmosfer menggunakan ...

Bab 7: Jantung Amerta

Gelap. Hening. Dingin. Begitu mereka melewati lingkaran akar itu, dunia berubah. Udara menjadi lebih padat, seolah mengandung suara yang tak sempat dilahirkan. Suara langkah mereka menyatu dengan gema tanah, seperti bergema bukan hanya di sekitar, tapi di dalam tubuh mereka sendiri. Tangga alami dari bebatuan mengarah ke bawah, berputar spiral tanpa batas. Di dindingnya, akar-akar halus memancarkan cahaya lembut keemasan. Cahaya itu bukan cahaya biasa—ia terasa seperti ingatan yang belum dimiliki. Kael berjalan di depan, sesekali menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangan. Aireen mengikuti, dengan jantung berdebar. Setiap langkah ke bawah terasa seperti mundur ke dalam sejarah bumi yang terlupakan. Setelah waktu yang tak bisa mereka hitung, spiral itu berakhir. Mereka tiba di dasar sebuah ruangan kubah raksasa. Di tengahnya, terdapat sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kristal hitam mengambang, dikelilingi pusaran akar dan cahaya hijau muda. Di bawahnya, tanah berdenyut pelan, s...

Bab 6: Samudra Hitam

Bab 6: Samudra Hitam Kabut mulai menipis saat mereka meninggalkan Dinding Kabut. Kael dan Aireen melangkah perlahan di antara bebatuan hitam yang lembap, diselimuti keheningan yang terasa lebih dalam dari sekadar sunyi. Tak ada suara burung. Tak ada gemerisik. Hanya desiran angin yang seperti berbisik dari bawah tanah. Di hadapan mereka, tanah amblas ke dalam cekungan raksasa seperti luka menganga. Dindingnya curam dan berlapis-lapis, penuh retakan seperti bekas luka bakar. Asap tipis mengepul dari celah-celah batu, berwarna ungu gelap yang berpendar samar dalam cahaya senja. Di dasarnya terbentang cairan hitam—tak memantulkan cahaya, nyaris seperti bayangan padat yang mengalir. "Samudra Hitam," gumam Kael. "Tempat di mana bumi menyembunyikan luka yang tak ingin dilihat langit." Aireen menatap ke bawah. Yang ia lihat bukan laut, tapi permukaan seperti kaca berwarna jelaga. Saat angin menyentuhnya, gelombang tipis muncul seperti kulit makhluk hidup yang menggeliat. S...

Bab 5: Dinding Kabut

Kabut turun lebih tebal di lembah itu, seolah waktu sendiri enggan bergerak. Hutan merapat, pohon-pohon tinggi seolah berbisik satu sama lain. Di tengah segala sunyi itu, hanya suara napas Kael yang berat terdengar, terputus-putus di antara langkahnya yang tertatih. Aireen menopangnya. Tubuh Kael masih panas, luka di lengannya belum membaik meski telah dibalut ramuan akar oleh para penjaga sebelum mereka pergi. Namun bukan hanya luka itu yang membebani Kael, melainkan sesuatu yang lebih dalam: resonansi yang mulai melawan tubuhnya sendiri. "Resonansi Bentala tak bisa dipaksa, bahkan oleh penjaganya sendiri," gumam Kael lirih, seolah menjawab pertanyaan yang tak ditanyakan. Aireen diam. Mereka berjalan menembus kabut hingga tiba di bibir tebing rendah. Di sana, lembah menganga lebar dan sunyi. Kabut di sini bukan hanya uap air—melainkan sesuatu yang hidup, seolah menunggu untuk menelan siapa pun yang tak diundang. "Inilah Dinding Kabut," ujar Kael. "Tempat di ma...