Bab 1: Harapan yang Lelah

Aku adalah jendela.

Bukan yang dibuka untuk melambaikan tangan kepada dunia,
bukan pula tempat cahaya pagi masuk membawa pesan cerah.
Aku hanya jendela tua, bingkai berdebu di ruang latihan kecil yang tak pernah benar-benar tidur.
Tapi dari sinilah aku melihatnya —
seseorang yang katanya adalah harapan.

Ia datang lebih awal. Seperti biasa.
Sendiri. Seperti biasa.
Langkahnya cepat, tapi sepi. Matanya terjaga, tapi lelah.
Ia meletakkan botol air, menyalakan speaker, dan lagu itu mulai mengalun:

“Just dance…”

Langkah demi langkah, gerakan demi gerakan,
ia menari seperti tubuhnya adalah instrumen yang hanya mengerti kata "terus."
Ia tersenyum. Selalu tersenyum.
Tapi aku tahu: senyum itu bukan tawa. Itu tameng.

Tak ada yang tahu betapa sering ia mengulang bagian yang sama.
Tak ada yang tahu seberapa banyak keringat yang jatuh sebelum sorotan lampu.
Tak ada yang tahu bahwa kadang — bahkan harapan pun ingin istirahat.

Ia berhenti sejenak, memutar tubuh menghadapku, punggungnya menempel pada kaca.
Kepalanya tertunduk. Nafasnya berat.
Tak ada air mata, tapi ada yang retak dalam diamnya.

“Kalau aku berhenti bersinar…
siapa yang akan menerangi mereka?”

Suara itu nyaris tak terdengar.
Tapi aku, jendela yang selalu mendengarkan, mendengarnya jelas.
Kata-kata yang lebih berat dari dentuman bass.
Lebih sunyi dari malam.

Aku ingin berkata:
Kamu boleh lelah.
Boleh berhenti sebentar. Boleh diam dan tidak apa-apa.
Tuhan tak pernah meminta cahaya menyala selamanya.
Terkadang, cahaya yang padam justru menyelamatkan diri sendiri.

Tapi aku hanya jendela.
Saksi bisu.
Aku hanya bisa memantulkan cahaya matahari yang menyentuh wajahnya yang basah keringat —
dan sedikit luka yang disembunyikan di balik gerakan presisi.

Dan saat ia berdiri kembali, menarik napas panjang,
menekan play sekali lagi dan mulai menari seolah belum patah,
aku sadar...

Bahkan harapan pun bisa rapuh.
Tapi ia memilih untuk tetap menyala.
Bukan karena tidak lelah — tapi karena ia tahu,
seseorang di luar sana sedang menunggu terang itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama