Bab 7: Luka yang Tak Bisa Diceritakan

Di pagi hari yang diam,
aku melihatnya memandangi langit seolah menyimpan pertanyaan yang tak bisa ia ucapkan.

Matanya tak sedang mencari jawaban.
Ia hanya ingin tahu:
apakah ada tempat lain yang lebih sunyi dari dadanya?


Ia berjalan seperti bayangan:
ada, tapi sering tak disadari.
Suara tawanya keras,
tapi hatinya—
selalu memilih untuk membisu saat orang lain tertidur.

Ada sesuatu yang disembunyikannya di balik kelopak mata.
Bukan kebohongan.
Tapi kesedihan yang terlalu setia tinggal.

“Are you calling me a sinner?”
“Apa aku harus minta maaf atas luka yang bahkan bukan milikku?”

Ia menyanyikan itu di dalam kepala.
Tak ada yang mendengar.
Kecuali aku.

Aku, jendela yang paling sering ia tatap,
ketika malam menjadi terlalu pekat,
dan masa lalu terlalu bising untuk dilupakan.


Mereka bilang ia unik.
Berbeda.
Penuh warna.

Tapi siapa yang tahu bahwa warna-warna itu
ia pelajari dari luka-luka yang tak sempat dibalut?

“Aku mencoba menutupinya, mencoba menghindarinya…”
“Tapi noda itu terlalu dalam.”

Ia bukan tak ingin sembuh.
Ia hanya tak tahu bagaimana caranya menjelaskan rasa sakit
yang bahkan tak punya nama.


Kadang, ia mencubit tangannya sendiri saat tertawa.
Mungkin agar yakin:
ia masih bisa merasa sesuatu.
Atau agar rasa yang lama bisa kalah oleh rasa yang baru.

Aku melihatnya begitu sering di ambang tangis,
namun selalu tersenyum sedikit lebih lebar.
Seolah menutupi goresan di punggungnya dengan pita berwarna terang.

“Maafkan aku…
Untuk memiliki luka yang tidak bisa kukatakan.”

Kalimat itu tak pernah benar-benar terucap.
Tapi aku melihatnya menulisnya di udara,
malam demi malam,
dengan tatapan yang lebih dalam dari luka itu sendiri.


Dan suatu malam, ia menyandarkan dahinya di tubuhku.
Dingin.
Tapi jujur.

“Kalau aku diam, bukan berarti aku baik-baik saja.”

Aku tidak menjawab.
Tapi aku membuka diriku sedikit lebih lebar,
agar udara bisa masuk,
agar beban itu bisa terbagi.

Karena aku tahu,
luka yang tak dibicarakan,
sering kali menjadi luka yang paling berat untuk ditanggung.


Ia berjalan lagi ke dalam pagi,
tanpa kata.
Tapi kali ini, langkahnya sedikit lebih tenang.
Bukan karena lukanya hilang,
tapi karena ia tahu:
ada tempat yang diam-diam menyimpan kisahnya,
dan tak akan menghakimi.

Aku, sang jendela,
tak pernah menyembuhkan lukanya.
Tapi aku bersedia menjadi saksi,
agar ia tahu:
bahwa diamnya tak harus sendirian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama