Bab 12: Tanah yang Bernapas Kembali
Langit tidak lagi menekan.
Setelah Omega lenyap dan resonansi terakhir mengalir ke seluruh penjuru bumi, udara berubah. Tidak lagi terasa dingin karena kehampaan, tapi hangat karena dipenuhi niat. Cahaya pagi perlahan menyelinap di antara dahan-dahan hutan purba, menari di atas tanah yang dulu kering dan sekarang mulai berdenyut lembap.
Aireen berdiri perlahan. Tubuhnya lemah, tapi matanya menyala. Di balik luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh, ia merasa lebih hidup dari sebelumnya. Di sekelilingnya, para penjaga Bentala mulai keluar dari kubah akar perlindungan, satu per satu menyentuh tanah dengan kepala tertunduk. Mereka tahu—bumi telah memilih untuk hidup kembali.
Isvara mendekat, menggenggam tangan Aireen tanpa kata. Tak perlu kata. Yang tertinggal hanya rasa.
Dari langit, cahaya-cahaya kecil jatuh perlahan. Bukan senjata. Bukan drone. Tapi kapsul-kapsul pengungsian yang terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang menyerah pada cahaya. Dari masing-masing kapsul, manusia Nayanika melangkah keluar dengan langkah ragu, membawa sisa-sisa kemegahan langit dalam pakaian steril mereka, tapi dengan mata yang mulai menyadari kerinduan terhadap tanah.
Di tengah ladang akar yang telah pulih, para penjaga Bentala membentuk lingkaran besar. Isvara berdiri di tengah, di samping Aireen. Dari arah berlawanan, salah satu pemimpin teknis Nayanika—mantan pengawas proyek orbit—melangkah maju membawa lambang koloni: sebuah cincin logam biru dengan pola bintang.
Ia menunduk, lalu menanamkan cincin itu ke tanah.
"Kami dulu percaya langit adalah masa depan. Tapi kami lupa—masa depan tak berarti jika akarnya tercerabut. Hari ini, kami kembali. Bukan sebagai penguasa, tapi sebagai bagian dari yang kami lupakan."
Isvara membalas dengan meletakkan tangan di atas cincin itu, dan dari bawah tanah, akar kecil muncul dan membelitnya lembut, menyatukannya dengan bumi. Tepuk tangan dan isak tangis menyebar pelan.
Satu per satu, orang-orang dari langit menyentuh tanah. Bukan untuk mengklaim, tapi untuk belajar merasakannya kembali. yang terbuka perlahan. Orang-orang dari Nayanika turun ke bumi, tidak dengan ketakutan, tapi dengan kebingungan. Mereka melihat hijaunya tanah yang dulu dikatakan mati, mendengar angin yang mengalun pelan, dan menangis—bukan karena takut, tapi karena rindu yang tak pernah mereka pahami sebelumnya.
Aireen melangkah maju, membantu seorang anak kecil keluar dari kapsul. Anak itu memeluk erat sebuah benda kecil di tangannya—sebuah liontin logam bergambar lambang Nayanika. Saat ia menatap Aireen, matanya penuh tanya dan harapan. Pelan-pelan, ia berlutut dan menanam liontin itu ke tanah, lalu menyentuh tanah dengan jemarinya untuk pertama kali.
Tanah merespons. Akar kecil menyembul lembut dan melingkari liontin itu, seolah menerimanya sebagai bagian dari tubuh dunia. Para penjaga Bentala dan orang-orang Nayanika terdiam menyaksikan, dan dalam keheningan itu, penyatuan benar-benar dimulai.. Anak itu menatapnya.
“Apakah ini… bumi?”
Aireen tersenyum. “Bukan seperti dulu. Tapi iya. Ini rumah kita.”
Di kedalaman inti bumi, gema terakhir Kael berdenyut pelan. Tapi kali ini, bukan hanya gema. Sebuah cahaya lembut muncul dari jantung Amerta, menyebar melalui jaringan akar dan batuan bumi. Cahaya itu bukan hanya milik Kael, tapi hasil penyatuan antara Bentala, resonansi Amerta, dan fragmen sistem Nayanika yang pernah mencoba mengendalikannya.
Akar-akar cahaya menjulur ke permukaan, menjalin simbol-simbol hidup di tanah yang baru tumbuh. Simbol itu bersinar sejenak, lalu menyatu dengan bumi—menandai terciptanya struktur baru: sebuah medan resonansi yang mampu menjaga keseimbangan dunia yang akan datang.
Kael, meski tak lagi hadir sebagai tubuh, kini hidup dalam setiap lapisan bumi. Ia adalah akar yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.. Ia tidak kembali sebagai tubuh, tapi setiap pohon baru yang tumbuh, setiap tetes embun, setiap batu yang hangat saat fajar, menyimpan sisa dirinya. Ia bukan hanya penjaga. Ia adalah bagian dari yang dijaga.
Dan di dalam angin, suara Reva terkadang masih terdengar:
"Jika dunia ini tumbuh dengan luka, maka biarkan luka itu menjadi tempat akar harapan mencengkeram paling dalam."
Bertahun-tahun kemudian, di tengah hutan yang hidup, anak-anak duduk mengelilingi seorang wanita yang bercerita. Ia mengenakan jubah sederhana berwarna tanah dan langit.
"Dulu, dunia ini nyaris mati," katanya. "Tapi ia diingat. Oleh akar. Oleh langit. Dan oleh mereka yang memilih untuk merasa, bukan memerintah."
Anak-anak menatap takjub. Salah satu dari mereka bertanya, "Apakah kau mengenal mereka, Kak Aireen?"
Wanita itu tersenyum, menatap ke arah pepohonan.
“Ya,” bisiknya. “Aku mengenal mereka. Dan kalian… adalah alasan kenapa mereka tidak menyerah.”
Epilog: Mata yang Menjaga
Dunia baru tidak tumbuh dari kehancuran, tapi dari keputusan untuk mendengar.
Di wilayah Bentala, hutan kembali berkembang namun tidak liar. Anak-anak belajar menyatu dengan alam sejak usia muda. Mereka tidak diajari untuk menguasai tanah, melainkan untuk merasakan getarannya. Beberapa dari mereka menunjukkan tanda-tanda Resonansi Bentala—mampu berbicara dengan tumbuhan, mempercepat pertumbuhan, bahkan menyembuhkan luka melalui tanah yang disentuh.
Isvara tetap menjadi Penjaga Utama, namun perannya kini lebih sebagai guru. Di tengah lingkaran akar, ia mengajarkan bahwa kekuatan bukanlah hak, tapi tanggung jawab.
Sementara itu, Nayanika tidak runtuh sepenuhnya. Sebagian strukturnya masih melayang di orbit rendah, berubah menjadi pusat observasi dan penyelarasan atmosfer. Anak-anak Nayanika kini belajar turun ke bumi secara berkala. Mereka membawa teknologi resonator yang kini bukan lagi alat pengawasan, tapi media belajar untuk membaca getaran tanah.
Beberapa anak mengembangkan Resonansi Nayanika yang baru—tidak mematikan seperti dulu, tapi mampu menciptakan medan pelindung, memperkuat komunikasi antarwilayah, bahkan menyatu dengan pola hidup burung dan satwa udara.
Dan di antara mereka, ada anak-anak yang dilahirkan dari keluarga yang berasal dari dua dunia. Anak-anak ini—mereka yang tak sepenuhnya langit, tak sepenuhnya tanah—menunjukkan gejala Resonansi Amerta.
Resonansi ini kini tidak lagi berbahaya bagi tubuh manusia. Ia menjadi bagian dari pertumbuhan, dari suara hati. Anak-anak ini mampu membangkitkan cahaya dari tanah saat menangis, atau menenangkan badai hanya dengan menutup mata.
Mereka adalah harapan yang tak lagi mitos.
Suatu malam, saat cahaya aurora lembut melintasi langit bumi baru, sebuah sinyal muncul dari bagian paling dalam dari inti bumi.
“AKSES BARU TERBACA.” “RESONANSI MURNI TERIDENTIFIKASI.” “LOKASI: DI BAWAH SAMUDRA HITAM.”
Aireen berdiri di balkon rumah tanahnya, merasakan denyut lama yang pernah dia kenal.
Ia tersenyum tipis.
“Sepertinya dunia belum selesai bicara.”
[Tamat – Jilid Pertama: Project Amerta]
Komentar
Posting Komentar