Bab 6: Samudra Hitam
Bab 6: Samudra Hitam
Kabut mulai menipis saat mereka meninggalkan Dinding Kabut. Kael dan Aireen melangkah perlahan di antara bebatuan hitam yang lembap, diselimuti keheningan yang terasa lebih dalam dari sekadar sunyi. Tak ada suara burung. Tak ada gemerisik. Hanya desiran angin yang seperti berbisik dari bawah tanah.
Di hadapan mereka, tanah amblas ke dalam cekungan raksasa seperti luka menganga. Dindingnya curam dan berlapis-lapis, penuh retakan seperti bekas luka bakar. Asap tipis mengepul dari celah-celah batu, berwarna ungu gelap yang berpendar samar dalam cahaya senja. Di dasarnya terbentang cairan hitam—tak memantulkan cahaya, nyaris seperti bayangan padat yang mengalir.
"Samudra Hitam," gumam Kael. "Tempat di mana bumi menyembunyikan luka yang tak ingin dilihat langit."
Aireen menatap ke bawah. Yang ia lihat bukan laut, tapi permukaan seperti kaca berwarna jelaga. Saat angin menyentuhnya, gelombang tipis muncul seperti kulit makhluk hidup yang menggeliat. Sesekali muncul gelegak kecil, seperti bisikan gas dari perut bumi. Di bawah permukaan, samar terlihat kilatan putih, seolah kilas memori yang tenggelam.
"Kenapa disebut samudra?" tanyanya pelan.
Kael menjawab tanpa menoleh, "Karena ia pernah menjadi air. Tapi ia menolak langit. Dan langit membalasnya dengan racun. Apa yang tersisa di sana... bukan hanya air, tapi memori."
Mereka menuruni jalur sempit yang melingkar di dinding cekungan. Tanah terasa rapuh, seakan bisa runtuh kapan saja. Kabut di sekitarnya berubah warna—kebiruan, lalu keunguan, lalu hitam tipis.
"Apa kau yakin ibumu ada di bawah sana?" tanya Kael.
Aireen menggenggam chip tua di dalam kantongnya. "Aku yakin dia pernah di sini. Dan aku yakin... sesuatu di bawah sana masih menyimpan suaranya."
Di kejauhan, bayangan struktur menjulang dari tengah Samudra Hitam. Sebuah menara setengah tenggelam berbentuk spiral raksasa. Bahan dasarnya bukan logam biasa, tapi semacam paduan akar dan besi berlumut, seolah tumbuh bersama waktu. Guratan cahaya samar berdenyut pelan di permukaannya, seperti nadi.
"Itu bukan buatan Bentala," kata Kael. "Dan bukan milik langit juga. Itu... sesuatu yang lama. Lebih tua dari kita berdua."
Aireen melangkah lebih cepat. Suara dalam hatinya bergetar. Bukan karena takut. Tapi karena panggilan itu semakin jelas.
Dan di balik kegelapan, sesuatu mulai membuka matanya.
Perahu kecil dari kayu damar yang dilapisi serat pohon lentur membawa mereka melintasi permukaan Samudra Hitam. Cairan di bawahnya seperti hidup—menyentuh lambung perahu dengan suara lembut yang aneh, seperti napas yang ditahan.
Aireen duduk di depan, memegang sensor darurat yang ia modifikasi. Tapi sinyalnya tak bekerja. Tidak ada gelombang yang bisa dibaca. Seolah tempat ini berada di luar logika medan energi mana pun.
"Ini bukan tempat untuk membaca," kata Kael pelan. "Ini tempat untuk mendengar."
Mereka tiba di dasar struktur. Dinding spiralnya dipenuhi ukiran seperti tulang akar. Permukaannya terasa hangat saat disentuh—bukan resonansi Nayanika, bukan Bentala, tapi sesuatu yang belum dikenal namun terasa akrab.
"Ada jalan masuk," kata Kael, menunjuk celah di bagian bawah menara.
Begitu mereka masuk, cahaya lentera Kael seperti tertelan kabut pekat. Dinding-dindingnya lembap tapi halus seperti kulit. Udara berat, mengandung aroma tanah basah bercampur logam karat dan... sesuatu yang lain—bau kenangan yang terbakar. Setiap langkah menggema jauh, meski ruang terasa sempit.
Tiba-tiba, suara bergema dari kedalaman:
"Aireen..."
Aireen membeku. Itu bukan suara khayalan. Bukan gema chip. Itu... suara nyata.
"Ibu...?"
Kael bersiap. Ia merasakan tanah berguncang pelan. Dari bawah.
"Ada sesuatu di sini," bisiknya. "Tapi tidak ingin melukai. Ia... mengenalmu."
Cahaya samar menyala dari ukiran dinding. Bentuk lingkaran. Di tengahnya, siluet seorang perempuan muncul dalam cahaya lemah.
"Jika kau datang ke sini... maka Amerta belum dilupakan."
Aireen menutup mulutnya. Air mata menggenang. Itu suara ibunya. Tapi tidak dari tubuh. Dari kesadaran. Terhubung dengan tempat ini.
Saat Aireen menyentuh salah satu akar, suara itu kembali terdengar. Bukan dari luar. Tapi dalam tulangnya. Getaran lembut, seperti frekuensi yang hanya bisa dikenali oleh darahnya sendiri.
"Jika kau mendengar ini, Aireen... maka waktu kita hampir habis. Amerta masih hidup. Tapi ia disegel. Bukan oleh alam, tapi oleh manusia. Proyek Elysium... itu nama awal dari Nayanika. Mereka menyebutnya penyelamatan. Tapi kenyataannya: pelupaan."
Aireen terdiam. Nafasnya tercekat. "Apa maksudmu...?"
"VIREX diperintahkan untuk menjaga kestabilan koloni. Termasuk dengan menghancurkan kemungkinan kebangkitan bumi. Mereka pikir jika Amerta bangkit, kekuasaan langit runtuh. Mereka benar."
Kael bergerak ke sisi ruangan. Salah satu akar menyentuh dadanya. Cahaya menyala. Wajah muncul dari dalam jaringan cahaya—bukan asing.
Ayahnya.
"Tanah tak menuntutmu menang, anakku. Tanah hanya ingin kau tetap setia."
Kael menutup mata, menggenggam akar itu erat. "Aku masih di sini, Ayah."
Namun saat itu pula, akar di dinding lain bergetar. Berubah warna. Menyala merah. Suara-suara asing menggema dari atas.
"Ada yang mencoba masuk," ujar Kael. "Dari luar. Dari atas."
Kilatan listrik memercik. Dinding bergetar. Sebagian akar menghitam, meleleh seperti dibakar dari dalam. Cahaya merah dari langit-langit menusuk seperti tombak data.
Suara VIREX—mekanis dan dingin—menggema seperti retakan realitas:
"INTERFERENSI TERDETEKSI. PROTOKOL PENGHAPUSAN AKTIF. RESONANSI TIDAK TERCATAT: HARUS DINETRALISIR."
Aireen berteriak, menyatukan kedua tangan ke lantai akar. Resonansi melonjak. Cahaya dari chip menyatu dengan jaringan hidup bersinar keemasan, menangkis semburan digital dari langit.
"Tidak. Ini bukan datamu. Ini ingatan kami."
Kilatan berhenti. Kabut menyebar pelan, menghilang dari celah akar.
Kael berbisik, "Dia pergi. Untuk sekarang."
Aireen mendekat ke lingkaran akar yang terbuka seperti kelopak. Di dalamnya, bukan cahaya... tapi lubang gelap, menurun jauh ke bawah.
"Apa ini... benar-benar Amerta?" gumamnya.
Suara Reva menjawab lirih, semakin jauh:
"Ini bukan akhirnya, Aireen. Tapi awal dari bumi yang ingin kau selamatkan. Kau harus masuk. Ke jantungnya."
Aireen menatap Kael. Ia mengangguk. Mereka berdua berdiri di tepi kegelapan.
Lalu melangkah masuk.
Komentar
Posting Komentar