Bab 10: Cinta Pertama yang Menyembuhkan
Ada suara yang lebih tua dari kata-kata.
Suara yang tidak perlu diterjemahkan,
karena ia berbicara langsung pada hati yang pernah retak.
Suara itu bukan orang.
Bukan pelukan.
Tapi denting kayu dan tuts yang nyaris lapuk,
di ujung ruangan sepi yang berdebu.
Piano.
“The brown piano in the corner of my youth…”
Ia menyentuhnya dengan jari gemetar.
Seperti menyentuh luka lama yang tak pernah sepenuhnya sembuh.
Ada cinta di sana,
tapi juga rasa kehilangan
yang diam-diam tumbuh bersama waktu.
Aku menyaksikannya dari kejauhan,
saat ia menekan tuts pertama dengan hati-hati—
nada yang nyaris tak terdengar,
seperti suara kecil dari dalam dirinya yang telah lama ia bisukan.
“Even if I leave, you stay there…”
“You protected me from that time.”
Dulu, ia bermain piano untuk lari dari dunia.
Kini, ia kembali untuk menemukan dirinya sendiri.
Dan ketika nada-nada itu mengalun,
aku melihat sesuatu yang belum pernah muncul di matanya sebelumnya:
kerinduan yang tulus.
Bukan pada masa lalu,
tapi pada versi dirinya
yang pernah bermimpi.
Ia pernah marah pada suara-suara dalam kepalanya.
Pernah menyalahkan hidup yang tak adil.
Pernah merasa bahwa semua ini sia-sia.
Tapi di hadapan piano itu,
ia tidak marah.
Ia hanya…
diam.
Dan damai.
“Even if I bloom and wither…”
“You’re still there, my first love.”
Malam itu,
aku, sang jendela, tidak memantulkan bayangannya seperti biasa.
Aku membiarkan cahaya bulan jatuh ke tuts piano,
menerangi jemari yang akhirnya berani bermain tanpa rasa takut.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok.
Tapi malam ini,
aku tahu:
ia telah bertemu kembali dengan bagian dirinya
yang hilang—
bukan untuk menyatukannya,
tapi untuk mengatakan:
“Aku memaafkanmu.”
Dan dari celah jendelaku,
aku mendengar satu nada terakhir.
Paling lembut,
paling jujur.
Itu bukan lagu penutup.
Tapi lagu permulaan.
Komentar
Posting Komentar