Bab 4: Suara yang Ia Bisukan

Ada momen di mana jendela tak bisa menahan embun yang menumpuk. Ia hanya bisa diam, menatap dunia yang mulai kabur.

Aku melihatnya lagi hari itu. Di pagi yang seharusnya riang, ia berdiri mematung di tengah ruangan latihan. Musik sudah mati, tapi ia belum berhenti menari. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar, dan senyuman kecil itu—yang biasa ia suguhkan pada dunia—tak juga muncul. Mungkin sudah lelah dipaksa hadir.

"Aku harus ulang. Aku salah di bagian tengah."

Tidak ada yang menyuruhnya. Tidak ada yang menuntutnya. Tapi ia tetap memutar ulang musik, lalu mengulang gerakan yang tadi sudah ratusan kali ia eksekusi. Bahkan saat teman-temannya pulang satu per satu, ia masih di sana. Menari, jatuh, bangkit, dan menari lagi.

Aku ingin bertanya: Apakah kamu tidak lelah menyiksa dirimu sendiri, Nak?

Tapi aku hanyalah jendela. Aku tak punya suara.


Malam itu, ia duduk di pojok dorm, sendirian. Tangannya meremas lembaran kertas berisi lirik yang ia tulis sendiri. "Aku berbohong," gumamnya. "Kepada mereka. Kepada diriku."

Ia pernah bilang bahwa ia hanya ingin membuat orang lain bahagia. Bahwa selama orang-orang tersenyum, ia baik-baik saja.

Tapi aku tahu ia tidak.

Aku tahu, karena aku jendela yang menyaksikan tangis diam-diamnya. Yang melihat betapa keras ia menggigit bibir agar suara tangis itu tidak terdengar oleh yang lain. Karena jika terdengar, ia takut—takut merusak ilusi bahwa dirinya kuat.


Pada malam tertentu, ia menulis di jurnal kecilnya:

“Aku tahu aku ini beban. Tapi aku mencoba. Sungguh mencoba. Setiap hari, aku hanya ingin jadi alasan orang lain untuk bertahan. Tapi bagaimana jika aku sendiri tak punya alasan lagi?”

Aku ingin menjawab: Karena kamu adalah alasan itu sendiri. Tanpa kamu sadari.


Hari itu, ia berdiri di atas panggung. Wajahnya basah karena air mata, tapi bukan karena sedih.

"Terima kasih karena sudah mendengarku, meski aku menyembunyikan terlalu banyak."

Sorak sorai membanjiri ruangan. Tapi aku tahu, bahkan suara ribuan orang pun tak bisa sepenuhnya menghapus suara yang ia bisukan di dalam dirinya sendiri.

Tapi ia tersenyum. Kali ini, senyum yang tidak dipaksa.

Mungkin tidak semua luka bisa sembuh. Tapi beberapa luka—cukup dengan diakui keberadaannya—sudah terasa lebih ringan.

Dan aku, sang jendela, akan terus berdiri di sini. Menjaga suara-suara sunyi seperti miliknya. Menjadi saksi dari setiap air mata yang tak sempat jatuh.


Jika jendela bisa berbicara, aku akan bilang:

Aku tidak tahu bagaimana caramu bertahan sampai sejauh ini, tapi aku bangga padamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama