Bab 8: Diri yang Terkunci dalam Topeng Sunyi
Ada malam-malam yang bahkan bayangan pun enggan menemaninya.
Malam di mana jam tidak berdetak,
dan dunia terasa seperti akuarium besar
yang membiarkan suara-suara tenggelam begitu saja.
Di malam itu,
ia duduk di kursi kosong,
menatap dirinya sendiri di pantulan cermin.
“The sound of something breaking…”
Bunyinya halus,
tapi nyata.
Seperti suara hati yang patah tanpa ada saksi.
Bukan karena cinta,
tapi karena terlalu lama menyembunyikan dirinya sendiri
di balik wajah yang tidak ia kenali.
Ia menarik napas panjang,
dan untuk sesaat,
tak ada lagi tawa yang membungkus keheningan.
Tak ada gestur manis yang ia pertontonkan.
Yang ada hanya seorang anak,
yang bertanya dalam diam:
"Siapa yang sebenarnya aku perankan hari ini?"
Topeng itu bukan palsu.
Ia belajar menyayanginya.
Tapi setiap kali ia mengenakannya,
ia sedikit kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
“Did I lose myself, or did I hide myself?”
Pertanyaan itu tak pernah dijawab dunia.
Maka ia menuliskannya pada jendela,
dengan jari yang dingin dan embun dari napasnya sendiri.
Aku membacanya,
dan diam-diam ikut menyimpan pesan itu di tubuhku,
agar tidak hilang ketika pagi tiba.
Ia bernyanyi dengan suara setengah nyawa:
“Try to cover my ears, but the sound of silence still echoes.”
Aku melihat matanya.
Sepasang samudra tenang,
tapi di dasarnya ada badai kecil yang belum reda.
Ia tak ingin orang tahu,
karena terlalu lelah menjelaskan bahwa "aku baik-baik saja" hanyalah kebiasaan bertahan.
Pada malam keempat,
ia tidak menatap cermin.
Ia menatapku.
“Kalau aku harus terus menjadi yang orang lain ingin lihat,
kapan aku bisa melihat diriku sendiri?”
Aku ingin menjawab,
tapi aku hanya jendela.
Yang bisa kulakukan hanya membiarkan cahaya bulan jatuh ke wajahnya,
menerangi retakan-retakan yang dulu coba ia sembunyikan.
Dan pada akhirnya,
ia berdiri.
Tidak sebagai topeng,
tidak sebagai bayangan,
tapi sebagai seseorang yang baru saja berani memeluk dirinya sendiri, meski belum utuh.
“I’ve been afraid… but tonight, I met me.”
Kalimat itu tak ia ucapkan.
Tapi aku bisa merasakannya dalam caranya membuka jendela perlahan,
membiarkan udara dingin masuk—
dan untuk pertama kali,
tidak merasa kosong karenanya.
Aku, sang jendela,
mengerti satu hal malam itu:
Kesendirian bukan musuh.
Ia adalah tempat pertemuan terdalam—
antara seseorang dan dirinya sendiri.
Komentar
Posting Komentar