Bab 6: Aku Mulai… Karena Kalian

Langit pagi itu mulai belajar memaafkan dirinya sendiri.

Tak sebiru biasanya,
tapi cukup terang untuk menenangkan dada yang semalam gelisah.
Dan di hadapanku,
ia berdiri lagi.
Masih dengan langkah pelan,
tapi kali ini, pundaknya tak seberat kemarin.

Aku tahu.
Karena retakanku tak bertambah.
Dan ada sesuatu dalam sorot matanya
yang menyerupai… rasa syukur.


Mereka datang satu per satu.

Orang-orang yang lebih dulu belajar jatuh.
Yang tak sempurna, tapi tahu caranya mencintai tanpa suara.
Yang kadang cerewet, kadang terlalu tenang,
tapi selalu hadir,
selalu ada.

“I was so afraid… In this world, filled with fear…”

Ia menyanyikannya lirih, sambil memandangi mereka.
Dan untuk pertama kalinya, suaranya tidak terdengar seperti permintaan tolong.
Tapi sebagai pengakuan jujur:
bahwa ia pernah takut,
pernah tersesat dalam sorotan yang terlalu terang,
namun selalu menemukan jalan pulang—kepada mereka.

Sore itu, mereka duduk di lantai ruang latihan.
Tertawa.
Melempar lelucon tak lucu.
Menggodanya soal rambut barunya.
Mengelus kepalanya tanpa diminta.

Dan aku melihatnya tersenyum.
Bukan karena kamera.
Bukan karena jadwal.
Tapi karena hatinya benar-benar hangat.


“Kalau aku terlalu keras pada diri sendiri, maaf, ya.”

Ia berkata lirih—tak mengarah pada siapa-siapa.
Tapi semua mendengar.
Dan tidak ada yang menghakimi.
Tidak ada yang menyuruhnya berhenti.
Mereka hanya duduk sedikit lebih dekat,
agar ia tahu:
bahkan jika ia tak bisa bicara,
mereka tetap akan mengerti.

“Aku memulai… karena kalian yang lebih dulu berjalan.”

Kalimat itu datang dari lagunya.
Tapi aku tahu,
itu bukan sekadar lirik.
Itu pengakuan terdalamnya:
bahwa langkah pertamanya bukan untuk dunia,
tapi untuk mereka yang menuntunnya diam-diam,
mereka yang memberinya tempat untuk tumbuh tanpa takut.


Dan malam itu, sebelum lampu studio dipadamkan,
ia menatapku sekali lagi.
Tapi bukan sebagai beban.
Bukan sebagai refleksi dari tuntutan.
Melainkan sebagai anak yang sudah bisa melihat dirinya sendiri dengan lembut.

“I begin… because of you.”

Retakan di sisi kananku masih ada.
Tapi tak lagi terasa seperti luka.
Lebih seperti pengingat:
bahwa bahkan kaca pun bisa patah,
dan tetap membiarkan cahaya masuk.

Dan aku, sang jendela, tahu satu hal pasti malam itu:

Anak itu mulai tumbuh.
Bukan hanya sebagai bintang,
tapi sebagai seseorang yang tahu caranya kembali pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama