Bab 9: Sisi Gelap yang Tak Pernah Diminta
Beberapa luka tidak berdarah.
Ia hanya bersemayam dalam diam,
tinggal di antara dada dan napas,
seperti benang kusut yang tak bisa dijelaskan.
Ia datang padaku suatu malam.
Bukan dengan suara, tapi dengan berat.
Langkahnya pelan, tapi sorot matanya seperti orang yang sudah terlalu lama memanggul sesuatu.
Ia menatap ke luar jendela,
bukan untuk melihat dunia,
tapi untuk mencari pembenaran
bahwa dunia benar-benar ada di luar pikirannya.
"I’m standing on the edge of a cliff…"
Ia tak sedang ingin melompat,
tapi bertanya-tanya
apa rasanya hidup tanpa ketakutan akan jatuh.
Di matanya, dunia tak berbentuk.
Semua kabur.
Seperti asap yang terus bergulir di dalam kepala,
tanpa pernah tahu dari mana datangnya.
“Anxiety, OCD, depression…”
“Those words became my names.”
Itu bukan puisi.
Itu luka yang diberi nama,
karena tidak ada yang sempat mendengarkan ceritanya sebelum semuanya jadi sunyi.
Ia pernah bilang pelan,
sambil memeluk lutut di sudut kamar yang remang:
“Aku takut pada pikiranku sendiri.”
“Kadang… aku adalah rumah bagi monster yang tak pernah kuundang.”
Aku tak menjawab.
Aku hanya memantulkan bayangannya kembali,
agar ia tahu:
ia masih ada.
Meski goyah.
Meski retak.
Malam-malam seperti itu,
ia tidak menangis.
Karena tangis bukan lagi pilihan.
Yang tersisa hanya diam,
dan upaya bertahan satu tarikan napas lagi.
“It’s not easy to confess…”
“The things that once became chains around my neck.”
Dan aku mengerti.
Mengapa ia terlihat tenang,
tapi rapuh.
Mengapa setiap bait rap yang ia tulis terasa seperti
tangisan diam yang dikunci dengan kata-kata tajam.
Ia tidak mencari simpati.
Ia hanya butuh ruang
di mana ia bisa ada
tanpa harus menjelaskan kenapa begitu gelap.
Aku, sang jendela,
diam-diam menjadi ruang itu.
Menjadi saksi bagi seorang pemuda
yang sedang mencari dirinya
di tengah kerumitan yang bahkan ia tak tahu harus dikatakan pada siapa.
Dan malam itu,
untuk pertama kali,
ia tidur di bawah jendela.
Bukan karena ingin melihat bintang,
tapi karena ingin merasa
ada sesuatu di luar pikirannya yang tetap diam bersamanya.
Komentar
Posting Komentar