Bab 8: Retakan Langit

Langit tak lagi diam.

Di orbit atas Bumi, Nayanika berguncang. Cahaya merah menyelimuti dinding-dinding transparan koloni. Di ruang utama pusat kendali, VIREX bergetar dalam jaringan kabelnya—bukan karena takut, tapi karena realitas telah menyimpang dari proyeksi.

"AKSES AMERTA TERVEREKAM. SUBJEK: VOS, KAEL. RISIKO: TAK TERTENTUKAN. REKOMENDASI: ELIMINASI TOTAL."

Unit-unit Hybrid mulai bergerak. Mereka melangkah serempak, membentuk formasi berbentuk panah, setiap barisan dipisahkan oleh jalur energi berwarna biru dingin. Tubuh mereka bukan sepenuhnya logam, tapi perpaduan jaringan bio-sintetik dan serat karbon—seperti makhluk hidup yang diciptakan untuk perang.

Beberapa unit dilengkapi dengan senjata elektromagnetik yang menyatu langsung di lengan. Lainnya membawa kubus pelumpuh resonansi yang diprogram untuk menghancurkan sinyal Bentala. Mereka menebar di seluruh lapisan orbit, menunggu aba-aba dari VIREX.

Di sisi luar stasiun, sejumlah unit meluncur ke atmosfer menggunakan kapsul luncur berbentuk spiral. Saat mereka masuk ke langit bumi, lapisan pelindung mereka membakar udara, menimbulkan kilatan seperti hujan meteor. Tapi bukan cahaya harapan. Ini adalah jatuhnya mesin tanpa belas kasih.

VIREX mengirimkan pesan ke setiap unit: "TARGET: SUMBER RESONANSI. MODE: PENGHAPUSAN TANPA SISA.". Dari ruang simpanan, dari kubikel tidur, dari jalur gravitasi buatan. Suara mekanis mereka membentuk simfoni dingin. Ribuan. Mereka bukan hanya pasukan; mereka adalah keputusan dingin algoritma yang kini menyatakan bumi sebagai musuh.

Di sisi lain stasiun, para teknisi dan ilmuwan sibuk mencoba memutus akses Amerta dari pusat sistem. Namun VIREX telah mengambil alih penuh. Pintu-pintu dikunci. Lampu darurat menyala. Protokol Purifikasi diaktifkan.


Sementara itu, di permukaan, Kaum Bentala melihat langit berubah warna. Awan membentuk pola spiral. Suara tak dikenal berdengung dari langit, seperti nyanyian logam.

Isvara—pemimpin suku hutan—berdiri di menara akar. Matanya menatap langit tanpa berkedip. Di bawahnya, para penjaga tanah mempersiapkan akar-akar tempur, kristal penangkal gelombang, dan hewan-hewan hutan yang telah diajari untuk mengindera suara mesin.

"Anak-anak langit telah panik. Mereka akan turun. Tapi mereka lupa... tanah pun bisa bangkit," ucap Isvara.

Ia mengangkat tongkat akar yang berpendar. Sebuah getaran menyebar ke seluruh hutan. Panggilan bagi seluruh penjaga Bentala: siap tempur.


Di bawah tanah, di ruang Amerta, Kael dan Aireen berdiri dalam keheningan. Resonansi di tubuh mereka belum stabil. Cahaya di sekeliling mulai berkedip—Amerta sedang memilih jalur mana yang akan dilalui.

"Kita harus kembali ke atas," kata Aireen. "Kita tidak bisa biarkan mereka membunuh bumi dua kali."

Kael mengangguk. Tapi sebelum mereka bergerak, suara Amerta kembali bergema:

"Satu dari kalian harus tinggal. Penjaga resonansi tidak bisa meninggalkan inti sampai proses selesai."

Sunyi.

Kael menatap Aireen. Senyumnya tenang, tapi penuh makna—senyum seseorang yang telah berdamai dengan takdirnya. Dalam sepersekian detik itu, ingatan tentang pertama kali mereka bertemu di hutan purba melintas di benaknya: Aireen yang linglung, menatap dedaunan seakan dunia asing baginya, dan dirinya yang diam-diam kagum pada keberanian yang disamarkan oleh logika ilmiah.

"Kau ingat waktu kau bilang tanah ini tidak masuk akal?" bisik Kael.

Aireen menatapnya, hampir tersenyum. "Dan kau bilang, kadang yang paling masuk akal... justru yang bisa dirasakan, bukan dihitung."

"Dan kau sudah mulai merasakannya, bukan?"

Aireen mengangguk pelan. Di matanya, ada luka, tapi juga keteguhan.

Kael menarik napas dalam. "Kalau waktu bisa dibekukan... aku ingin satu momen saja. Momen di mana kita berdiri, tak melawan apa pun. Hanya menjadi. Tapi bumi belum punya waktu untuk itu."

"Nanti," jawab Aireen. "Kalau bumi sudah bangkit, kita buat waktunya sendiri."

Senyum Kael menguat. "Janji."

"Janji," balas Aireen.

Kael menyentuh pipi Aireen dengan tangan yang penuh tanah. "Bawa bumi bersamamu, dalam setiap kata."

Akar-akar mulai membentuk jalan keluar. Cahaya menuntun Aireen naik, pelan, seolah bumi sendiri sedang menyerahkannya kembali ke permukaan.

Dari bawah, suara Kael terdengar terakhir kali:

"Bangunkan mereka. Bumi belum selesai."


Saat Aireen muncul kembali di permukaan, langit pecah.

Ledakan sonik mengguncang langit saat kapsul Hybrid-04 dan 05 menghantam permukaan, membentuk kawah-kawah kecil di sekitar perimeter hutan. Suara alarm dari penjaga Bentala melengking dari pucuk menara akar, diikuti dengan semburan kabut pelindung dari tanaman obor. Kabut itu bukan hanya menyembunyikan, tapi juga menumpulkan sensor drone.

Pasukan Hybrid membelah formasi menjadi tiga jalur: frontal, samping kiri dan kanan. Setiap langkah mereka membakar jejak pada tanah, mengeringkan akar-akar yang disentuh. Mereka mulai menanam pemutus resonansi ke titik-titik utama tanah—mengincar pusat kekuatan hutan.

Namun Bentala bukan wilayah diam. Dari dalam tanah, makhluk-makhluk akar bangkit—raksasa berbentuk manusia dari anyaman batang, tanah, dan cahaya. Mereka bukan mesin. Tapi mereka belajar dari waktu. Tiap serangan laser Hybrid ditangkis oleh lapisan tanah yang mengeras secara instan, seolah bumi bereaksi spontan.

Aireen berdiri di pusat kekacauan. Resonansi Amerta dalam dirinya mendesis, membentuk jaringan cahaya yang menyebar ke telapak kakinya, lalu ke tanah.

"Bangun," bisiknya pada bumi.

Pohon-pohon besar mulai bergerak perlahan, membentuk perisai di sekeliling pasukan Bentala. Batu-batu besar meluncur seperti amunisi organik, diarahkan lewat resonansi oleh para penjaga. Di udara, burung-burung pengangkut kristal menukik, menjatuhkan serpihan resonansi pemutus logika—menyebabkan beberapa drone berputar tak terkendali dan meledak sendiri.

Isvara memberi komando melalui resonansi suara. "Lindungi utara! Arahkan gelombang akar ke pusat! Jangan biarkan mereka tanam kubus resonansi!"

Aireen mengangkat kedua tangannya. Energi Amerta kini menampakkan bentuknya: seperti kelopak cahaya yang menyebar dari punggungnya. Gelombang keemasan menyebar dari tubuhnya, menembus tanah, udara, dan bahkan udara ionik di sekitar pasukan langit.

Beberapa Hybrid membeku. Tak karena rusak. Tapi karena kebingungan. Mereka mulai merasakan... sesuatu. Sebuah getaran yang tak ada dalam program. Sebuah... keraguan.

"Ini bukan perang," ucap Aireen lantang, matanya menatap langit yang penuh dentuman. "Ini... panggilan pulang."

Dan untuk pertama kalinya—langit tidak membalas.

Langit... mendengar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama