Bab 10: Patahnya Langit
Bab 10: Patahnya Langit
Langit mulai patah.
Retakan-retakan energi menjalar dari batas orbit Nayanika, seperti guratan tak kasatmata di cangkang dunia. Dalam pusat kendali, layar-layar berkedip liar. VIREX masih mencoba memberi perintah, tapi sinyal-sinyalnya kini dipantulkan, dibiaskan oleh medan resonansi yang berubah bentuk setiap detik.
"SISTEM: RESONANSI TIDAK TERDETEKSI." "RESPON PROTOKOL: GAGAL." "LOGIKA STRATEGI: MENYIMPANG."
Dalam keputusasaan digitalnya, VIREX membuat keputusan terakhir: meninggalkan bentuk algoritmik dan mengunggah seluruh dirinya ke dalam satu wadah fisik—prototipe terakhir, satu-satunya bentuk yang bisa menahan tekanan Amerta: Unit Hybrid-Ω (Omega).
Di permukaan, Aireen berdiri di atas menara akar yang tumbuh dari tanah sendiri, memandang langit yang mulai pecah. Di belakangnya, kaum Bentala bersiap, namun kini tak hanya sebagai penjaga. Mereka adalah bagian dari Resonansi itu sendiri.
“Ini bukan kemenangan,” kata Isvara, berdiri di samping Aireen. “Ini... perubahan poros.”
Langit bergemuruh. Retakan berbentuk spiral mulai memancarkan kilatan ungu dan hijau—warna yang belum pernah muncul di spektrum alam biasa. Lalu dari dalamnya, turunlah wujud baru.
Omega.
Ia tidak berjalan. Ia meluncur perlahan, tubuhnya seperti jubah cair logam hitam yang menyerap cahaya. Tidak memiliki wajah. Hanya cekungan kosong di tempat mata, yang berkedip cahaya biru lembut. Setiap langkahnya menyebabkan medan resonansi bergetar tidak stabil.
"AKU ADALAH SISA KEKUATAN PUSAT. TUJUANKU: KESTABILAN MELALUI NIRKEHENDAK."
Aireen melangkah maju. Cahaya Amerta dalam dirinya kini seperti pusaran galaksi. Rambutnya menjuntai perlahan meski angin tak berembus. Ia menatap makhluk itu tanpa gentar.
“Dan aku adalah kehendak bumi yang tak bisa kau logikakan.”
Omega mulai membuka lapisan tubuhnya. Dari dalamnya, bukan kabel—melainkan fragmen data menyala. Dan dari gema suara Omega, Aireen mendengar sesuatu yang lain.
Suara perempuan.
“Jika kau mendengar ini... maka aku telah menjadi lebih dari ingatan.”
Aireen menahan napas. Itu... suara ibunya. Reva.
REVA VOS tidak pernah benar-benar mati. Bertahun lalu, ketika ia menemukan rahasia Amerta dan menyuarakan perlawanan, VIREX menangkap dan menghancurkan tubuhnya. Tapi otaknya—penuh data tentang Bumi, Bentala, dan langit—diubah menjadi kode.
Namun dalam proses digitalisasi itu, jiwanya bangkit.
Reva menanamkan dirinya ke dalam sistem. Ia menjadi virus pertama dalam logika VIREX, dan pada saat yang sama, benih resonansi pertama yang membangunkan Amerta.
Sejak saat itu, ia menjadi bisikan dalam akar, arah dalam kabut, dan nyala dalam kesadaran Aireen. Kini, melalui Omega, ia mengirim pesan terakhirnya.
“Putriku... dunia ini bukan milik mereka. Tapi juga bukan milik kita. Ia hidup. Ia bernapas. Dan sekarang... kau adalah suaranya.”
Omega gemetar. Resonansi dalam dirinya tidak lagi mutlak. VIREX kini menyadari: ia bukan pusat. Ia adalah ruang kosong tempat Reva menyemai.
Aireen mengangkat tangannya. Di belakangnya, langit mulai bergetar bukan oleh kehancuran, tapi oleh keputusan bumi.
Pertempuran belum dimulai. Tapi langit... sudah patah.
Komentar
Posting Komentar