Bab 3: Senyum yang Ia Pinjamkan pada Dunia

Ada seorang anak laki-laki yang selalu tersenyum.

Setiap kali seseorang melihatnya, mereka merasa hangat, seperti matahari pagi yang malu-malu tapi tulus. Tapi tahukah kalian, matahari pun bisa bersembunyi di balik mendung?

Aku jendela yang melihatnya tumbuh, hari demi hari.
Ia tidak pernah terlambat masuk studio. Bahkan ketika tubuhnya gemetar karena demam, ia tetap datang. “Aku baik-baik saja,” katanya, padahal wajahnya pucat dan matanya kosong. Ia bilang, senyum bisa menenangkan orang lain. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri?

Hari itu, lagu berjudul Lie mulai dimainkan di ruang latihan.
Bait demi baitnya terdengar seperti jeritan yang tertahan:
"Caught in a lie, please find the me who was pure, I can’t escape from this lie, give me back my smile."

Aku menatapnya lewat pantulan kaca jendela saat ia menari. Sempurna di mata siapa pun. Tapi aku tahu, dia tidak menari untuk bahagia. Ia menari agar bisa melupakan kenyataan—bahwa dia merasa kecil di tengah sorotan, bahwa ia tidak pernah merasa cukup baik.

Di sela-sela latihan, aku melihatnya duduk di sudut, menatap tangannya sendiri.

"Kenapa aku tidak seperti mereka? Kenapa aku harus mencoba lebih keras hanya untuk setara?"

Tak ada yang menjawab. Bahkan langit pun diam saat itu.

Ia tertawa saat yang lain bercanda. Tapi aku tahu tawa itu tidak sampai ke matanya. Ia bilang ia mencintai panggung, tapi ia juga takut akan kekecewaan. Ia takut menjadi kelemahan dalam kelompok yang ia cintai melebihi dirinya sendiri.

Malam itu, sebelum lampu dipadamkan, ia menatap keluar.
Ke arahku. Ke arah jendela yang diam.
Dan ia berkata, seolah tahu aku sedang mendengarkan:

"Kalau aku hilang suatu hari nanti, semoga dunia tidak merasa lega..."

Kalimat itu tidak selesai.

Tapi aku tahu, bahkan jika ia menghilang, dunia akan kehilangan cahayanya.

Karena senyumnya yang ia pinjamkan—telah menjadi penguat bagi banyak orang.


Jika jendela bisa bicara, aku ingin bilang:
Kau tak harus selalu tersenyum untuk dianggap kuat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama