Bab 7: Jantung Amerta
Gelap. Hening. Dingin.
Begitu mereka melewati lingkaran akar itu, dunia berubah. Udara menjadi lebih padat, seolah mengandung suara yang tak sempat dilahirkan. Suara langkah mereka menyatu dengan gema tanah, seperti bergema bukan hanya di sekitar, tapi di dalam tubuh mereka sendiri.
Tangga alami dari bebatuan mengarah ke bawah, berputar spiral tanpa batas. Di dindingnya, akar-akar halus memancarkan cahaya lembut keemasan. Cahaya itu bukan cahaya biasa—ia terasa seperti ingatan yang belum dimiliki.
Kael berjalan di depan, sesekali menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangan. Aireen mengikuti, dengan jantung berdebar. Setiap langkah ke bawah terasa seperti mundur ke dalam sejarah bumi yang terlupakan.
Setelah waktu yang tak bisa mereka hitung, spiral itu berakhir. Mereka tiba di dasar sebuah ruangan kubah raksasa. Di tengahnya, terdapat sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kristal hitam mengambang, dikelilingi pusaran akar dan cahaya hijau muda. Di bawahnya, tanah berdenyut pelan, seolah bernapas.
"Itu... Amerta?" bisik Aireen.
Kael tidak menjawab. Ia terpaku. Resonansi di tempat ini begitu kuat hingga tubuhnya berguncang. Lututnya hampir lemas.
Aireen maju perlahan, merasakan resonansi dari dua sisi dirinya—chip teknologi dan suara alam. Tapi ada suara ketiga kini, lebih dalam, lebih tua. Ia menatap kristal itu dan mendengar... suara ibunya.
"Aireen. Jika kau sampai di sini, maka waktumu hampir habis. Amerta tidak hanya menyimpan kekuatan. Ia menyimpan luka. Dan hanya yang berani menyelami luka itu... yang bisa membangkitkan bumi."
Aireen menoleh ke Kael. Ia mengangguk pelan. "Kita harus masuk. Bukan hanya melihat."
Kristal itu perlahan terbelah. Kabut putih menyembur dari retakannya, dan sebuah jalur cahaya terbuka—mengundang mereka masuk, bukan secara fisik... tapi secara jiwa.
Tanpa kata, mereka saling menggenggam tangan dan melangkah ke dalam cahaya.
Menuju pusat Amerta.
Menuju jantung yang masih berdetak.
Mereka jatuh—bukan ke dalam jurang, tapi ke dalam lapisan jiwa. Cahaya yang melingkupi tubuh mereka bukan cahaya biasa. Ia memantulkan ingatan. Menguak luka. Menyaring niat.
Aireen merasakan dirinya terlepas dari tubuh. Ia tidak lagi berdiri di kubah batu, tapi berada di ruang tak berbatas, penuh warna yang berubah-ubah. Setiap warna seperti membawa emosi berbeda—biru yang menangis, merah yang menggema marah, hijau yang merindukan.
Di tengah pusaran itu, muncullah bentuk: dirinya sendiri. Tapi lebih muda. Lebih takut. Lebih penuh pertanyaan.
"Kau hanya mencari kebenaran karena kau kehilangan arah," kata sosok itu. "Bukan karena kau ingin menyelamatkan."
Aireen tak menjawab. Tapi dadanya sesak. Ia tahu itu benar—atau dulu benar.
Sementara itu, Kael juga tersesat dalam ruangnya sendiri. Ia berdiri di tengah hutan yang mati. Pohon-pohon patah. Tanah retak. Di sana, berdiri sosok ayahnya. Tapi kini tua. Lelah.
"Kael," katanya, "kamu bilang bumi bisa diselamatkan. Tapi siapa yang akan kau selamatkan kalau semua sudah menyerah?"
Kael ingin menjawab. Tapi lumpur naik dari tanah dan membungkus kakinya. Menariknya ke bawah. Hutan itu mulai tenggelam. Tapi di kejauhan, ia melihat cahaya. Dan dari cahaya itu, ia mendengar suara Aireen.
"Kita belum selesai. Aku belum menyerah."
Kael meraih cahaya itu. Dan pada saat yang sama, Aireen meraih tangannya dari ruangnya sendiri.
Ruang itu pecah.
Kesadaran mereka bertabrakan. Cahaya menyatu. Warna meledak. Semua resonansi—Bentala, Nayanika, dan Amerta—berputar menjadi satu.
Mereka berdiri kembali. Di tengah ruang putih bersih. Di hadapan mereka, kristal Amerta terbuka penuh, memperlihatkan inti bercahaya di dalamnya. Tapi bukan cahaya biasa—ia adalah bentuk. Sosok.
"Aku adalah sisa harapan bumi," kata sosok itu. "Dan kalian... adalah suara yang akan membangunkannya kembali."
Amerta telah memilih.
Dan langit akan segera tahu apa yang telah dibangunkan dari jantung planet yang hampir mati.
Dan di luar sana, di langit tinggi, VIREX mengeluarkan perintah terakhir:
"SEMUA UNIT. AKSES PENUH. AMERTA TELAH DIAKTIFKAN. HAPUS SUBJEK. HAPUS SUMBER."
Langit pun mulai bergerak.
Komentar
Posting Komentar