Bab 5: Retakan di Langit Pagi
Ia datang sebelum dunia membuka mata.
Langkahnya ringan, seperti hujan yang belum jadi.
Aku melihatnya—seperti biasa—berdiri di hadapanku.
Wajahnya menghadap ke luar, ke kota yang masih dibalut kabut,
tapi aku tahu:
yang ia lihat bukan langit.
Melainkan bayangan dirinya sendiri, yang tak sempat tumbuh perlahan.
Mereka menyebutnya keajaiban.
Anak yang serba bisa.
Yang menyanyi tanpa goyah.
Menari tanpa jeda.
Tersenyum tanpa retak.
Tapi aku, sang jendela tua yang menghadap panggung dan ruang latihan, tahu:
tidak semua yang bersinar, ringan untuk dibawa.
Tidak semua yang sempurna, bahagia untuk dijalani.
“You are the cause of my euphoria…”
Ia menyanyikannya sambil menatap langit yang belum biru.
Tapi nada itu terdengar seperti doa yang belum dijawab.
Seperti harapan yang ia tulis untuk dirinya sendiri,
agar suatu hari, ia percaya ia pantas merasakannya.
Ia mengira euforia adalah senyuman penonton,
tepuk tangan panjang,
mata kamera yang mengejarnya.
Tapi ketika semua itu hilang,
dan hanya bayangannya yang tersisa di kaca…
ia terlihat paling sunyi.
"Kalau aku bukan yang terbaik...
masih bolehkah aku tinggal?"
Pertanyaan itu tak pernah ia ucapkan lantang,
tapi aku mendengarnya.
Lewat detak jantung yang dipaksakan tenang,
lewat tarikan napas sebelum high note terakhir,
lewat mata yang memerah tanpa air mata.
“Take my hands now…”
Terkadang, lagu itu terdengar seperti permintaan pelan.
Ia yang selalu terlihat kuat—
diam-diam memohon untuk digenggam.
Dan pagi itu, saat matahari terlambat muncul,
ia bersandar di sisi kaca.
Keringatnya belum mengering,
tapi tubuhnya tak bergerak.
Dalam keheningan itu, aku merasa ada yang berubah.
Ada yang lelah.
Ada yang ingin berhenti sejenak, tapi tak tahu cara.
Sebuah garis tipis muncul di sisi kananku.
Retakan kecil.
Mungkin karena suhu.
Mungkin karena hatiku ikut pecah sedikit.
Kalau saja aku bisa bicara, aku akan berkata:
“Kau tak perlu jadi keajaiban setiap hari.”
“Kau hanya perlu jadi dirimu. Itu pun sudah cukup indah.”
Tapi aku hanya jendela.
Dan jendela hanya bisa membiarkan cahaya masuk—
termasuk cahaya dari anak muda yang sedang mencari arti ‘euforia’-nya sendiri.
Komentar
Posting Komentar