Bab 2: Cahayamu Padam Sementara
Ada hari-hari ketika bahkan matahari pun tidak muncul.
Bahkan cahaya yang paling terang pun bisa kehilangan cahayanya.
Dan aku, sang jendela, melihatnya untuk pertama kalinya:
hari di mana ia tak datang.
Ruang ini sepi.
Speaker tetap diam.
Lantai tak merasakan dentuman kaki.
Waktu berlalu, tapi tak ada siapa-siapa di sana untuk memecah senyap —
dan aku merasa patah tanpa suara itu.
Beberapa hari kemudian, ia kembali.
Tubuhnya hadir, tapi jiwanya entah di mana.
Mata yang biasanya menyala kini surut,
bahunya seperti kehilangan langit yang dulu ia bawa sendiri.
"Hari ini aku gak bisa pura-pura senyum."
Ia bicara pelan, seperti sedang meminta izin.
“Kalau aku terus pakai topeng, nanti aku lupa caranya jadi manusia.”
Kalimat itu seperti kabut yang melayang di kaca tubuhku.
Dingin. Tak terlihat. Tapi menyelimuti segalanya.
Aku melihat ia menekan tombol di speaker,
dan lagu yang keluar berbeda dari biasanya.
“I’m fine, I’m fine, I’m fine…”
Ironi itu menyayat.
Bagaimana lagu yang seharusnya menguatkan malah terasa seperti kebohongan lembut.
Ia menatap lantai, seperti mencari sesuatu yang pernah ia tinggalkan di sana —
semangatnya, mungkin.
Lalu ia menari.
Bukan dengan semangat, tapi dengan luka.
Bukan untuk tampil, tapi untuk bertahan.
Setiap gerakan seperti seruan:
Tolong lihat aku.
Tolong percaya bahwa aku juga manusia.
Tolong… jangan berharap aku kuat setiap hari.
Dan aku, jendela tua yang hanya bisa menyaksikan,
ingin retak demi bisa memeluknya,
mengatakan bahwa dunia takkan runtuh jika ia berhenti sejenak.
Tapi dunia tetap menuntut.
Lampu panggung tetap menyala.
Mata penonton tetap berharap.
Dan ia… tetap menari.
Meski cahayanya padam sementara,
ia memilih bangkit — bukan karena sudah sembuh,
tapi karena ada orang-orang yang belum tahu cara bangkit tanpa dirinya.
Komentar
Posting Komentar