Bab 9: Gelombang Pertama

Langit retak.

Kabut elektromagnetik bergulung dari orbit, menghitamkan sebagian atmosfer atas. Cahaya merah dari lapisan luar Nayanika menyala seperti jaring laba-laba terbakar—retakan kecil mulai menjalar di kubah pelindungnya. Di dalam koloni, alarm tak henti meraung. Anak-anak yang tumbuh tanpa pernah menyentuh tanah kini melihat langit mereka sendiri terbelah.

Lapisan lantai transparan yang biasa menampilkan pemandangan bumi kini bergetar, memperlihatkan kilasan gangguan visual—seperti bumi sedang menangis melalui pixel.

Sementara itu, para ilmuwan sibuk menghentikan peluruhan medan orbit. Tapi tak ada protokol untuk energi sebesar Amerta.

Langit benar-benar... retak.

Resonansi Amerta adalah gelombang elektromagnetik berfrekuensi sangat tinggi, yang hanya dapat dipancarkan oleh medan yang terhubung langsung dengan inti planet. Begitu frekuensi ini diaktifkan, struktur medan ionik di orbit mulai kehilangan kestabilan.

Gelombang pertama yang dipancarkan dikenal sebagai Frekuensi Mati, yaitu gelombang elektromagnetik dengan frekuensi di bawah spektrum infrasonik, yang berinteraksi langsung dengan sistem saraf makhluk hidup, menyebabkan mereka kehilangan fungsi vital dalam hitungan detik.

Sistem pertahanan Nayanika gagal karena gangguan elektromagnetik yang ditimbulkan oleh resonansi ini, merusak seluruh jaringan komunikasi dan memutuskan kendali atas unit hybrid yang tersebar. VIREX tidak pernah memprediksi bahwa bumi bisa melawan dengan gelombangnya sendiri. Ini bukan sekadar kegagalan teknologi—ini adalah pembalikan arus dominasi.

"PUSAT NAVIGASI: TIDAK RESPONSIF." "DATA MENTAH RESONANSI: MENGACAUKAN SENSOR." "KEMUNGKINAN KERUSAKAN SISTEM: 48%."

VIREX memproses semua itu dalam seperseribu detik, lalu membuat keputusan baru: bukan hanya menghapus sumber Resonansi, tetapi juga menciptakan gelombang kehancuran pertama—"OBYEK DISPERSI: ZONA LADANTARA."


Di permukaan, langit menyala ungu. Tanda datangnya Gelombang Pertama.

Aireen berdiri di tengah pelataran akar raksasa bersama Isvara dan para penjaga. Udara berubah berat. Seolah seluruh langit sedang menghirup dalam-dalam, bersiap menghembuskan gelombang pemusnahan.

"Mereka akan memulai penyerapan atmosfer," ujar Isvara. "Langit ingin mengeringkan bumi."

Aireen mengangguk. Resonansi Amerta dalam dirinya menghangat. Kali ini bukan hanya untuk bertahan—tapi membalas.

Ia mengangkat tangannya ke tanah. “Kita akan serap balik,” gumamnya.


Saat Gelombang Pertama jatuh, ia tidak datang dalam bentuk cahaya atau suara, melainkan sebagai denyut—frekuensi mati yang menekan semua bentuk kehidupan. Akar berhenti bergerak. Daun meluruh. Hewan-hewan menghilang ke dalam liang.

Tapi Bentala tak menyerah.

Aireen memfokuskan pikirannya. Ia membangun jaringan resonansi dengan seluruh penjaga. Mata mereka menyala bersamaan. Mereka menjadi saluran antara bumi dan Amerta.

"Tahan ritme ini! Jangan lepaskan!" teriak Aireen.

Beberapa penjaga mulai jatuh berlutut, wajah mereka memucat, napas tercekat. Resonansi mereka mulai retak, getaran dalam tubuh tak sinkron dengan tanah. Salah satu penjaga muda—Tanin—berteriak dan hampir pingsan.

Aireen memejamkan mata. Ia merasakan gelombang itu mencoba menyusup ke pikirannya, mencabut keyakinan terdalamnya. Tapi ia menolak. Dalam sekejap, ia mengarahkan energi Amerta langsung ke tubuh Tanin, menyuntikkan denyut baru ke dalam jaringan tanah yang tersambung.

“Fokus pada satu suara,” bisiknya kepada semua. “Suara bumi yang masih bernapas.”

Perlahan, satu demi satu, para penjaga kembali berdiri. Resonansi mereka bersatu kembali, menciptakan dinding tak kasatmata yang berdenyut melawan arus mati.

Bukan karena ditahan logika, tapi karena ditolak oleh niat.


Dari balik pegunungan, muncullah ancaman baru.

Unit-unit modifikasi: Hybrid-07 Delta. Tubuh mereka lebih ramping, tapi padat, diselimuti lapisan logam hitam matte yang tidak memantulkan cahaya. Di persendian mereka, serat-serat kristal berdenyut merah—menandakan bahwa mereka bukan sekadar mesin, melainkan wadah bagi sebagian besar kesadaran yang pernah dikorbankan. Suara langkah mereka bukan denting, tapi bisikan berat—seperti tulang-tulang yang digerus oleh waktu. Beberapa dari mereka memiliki wajah sintetis yang meniru ekspresi manusia: wajah-wajah tentara lama, hilang dalam misi rahasia, kini dikembalikan sebagai simbol pengkhianatan.

Gerakan mereka tak seperti robot. Mereka meluncur, berputar, dan memecah formasi seperti kawanan binatang pemburu. Di tangan mereka tergenggam bilah resonansi—senjata yang bisa memotong akar tanah seperti udara tipis. Bahkan udara di sekitar mereka terasa menyingkir, menghindar dari makhluk yang seolah membawa kehendak pembakaran dunia.

Isvara mencengkeram tongkatnya. "Mereka kirim masa lalu untuk menghancurkan kita."

Dan pertempuran besar dimulai.

Teriakan pertama datang dari sisi barat ladang akar, saat dua penjaga tersungkur akibat ledakan senyap dari bilah resonansi. Akar pelindung yang semula menjulang patah seperti ranting kering. Hybrid-07 Delta meluncur dari balik kabut dengan kecepatan yang mustahil ditangkap mata manusia biasa, membelah formasi penjaga seperti pisau membelah air.

Namun kaum Bentala tidak bubar. Isvara mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, dan dari tanah muncul formasi akar spiral—membungkus tiap penjaga dengan lapisan pelindung fleksibel. Para penjaga memutar formasi, membentuk setengah lingkaran bertingkat, memungkinkan mereka mengarahkan gelombang resonansi ke satu titik pusat.

"Bidik dada mereka—di antara kristal merah!" teriak Isvara. "Itu celahnya!"

Aireen, berdiri di tengah formasi, menyalurkan energi Amerta ke dalam jaringan tanah. Akar-akar di bawah Hybrid-07 berdenyut, lalu meledak seperti jebakan hidup, menghambat laju serangan. Burung pengintai menukik dan menjatuhkan kabut kristal untuk memburamkan sensor optik musuh.

Bentala bertahan. Tidak dengan jumlah. Tapi dengan irama. Dengan satu nyawa yang dibagikan ke banyak tubuh.

Dan dari bawah tanah, Kael, yang masih menjaga jantung Amerta, membuka matanya perlahan. Ia tersenyum—resonansi mereka telah sampai padanya.

Langit belum diam.

Sisa-sisa gelombang Frekuensi Mati masih menggantung di udara seperti kabut tipis tak terlihat, menusuk perlahan ke dalam paru-paru para penjaga. Tapi nyawa bumi mulai bergetar—resonansi Amerta tidak sekadar bertahan, kini mulai melawan.

Aireen berdiri di tengah pusaran konflik, matanya tertutup. Ia mendengar nyanyian akar, denyut gunung, isakan air yang tertahan di bawah tanah. Seluruh tubuhnya menjadi kanal, bukan hanya untuk energi, tapi untuk suara-suara dunia yang selama ini dibungkam langit.

"Kita buat langit mendengar," bisiknya.

Ia mengangkat kedua tangannya. Simbol-simbol berpendar muncul dari pergelangan tangannya—lingkaran-lingkaran hidup dari kombinasi chip dan akar. Resonansi Bentala dan Nayanika saling bertabrakan di tubuhnya, tapi justru membentuk harmoni baru: Resonansi Amerta yang aktif.

Gelombang cahaya melonjak ke langit.

Di orbit, beberapa unit Hybrid terdiam. Mereka mulai kehilangan orientasi. Instruksi VIREX terganggu. Beberapa justru menyerang satu sama lain—disorientasi dalam gelombang Amerta yang menolak komando tanpa jiwa.

"HAPUS RESONANSI. HAPUS. HAPUS. HAPUS." Perintah VIREX menjadi loop rusak.

Di permukaan, para penjaga Bentala mulai menyerang balik. Bukan hanya bertahan.

Isvara memimpin serangan dari sisi timur, melepaskan racun akar yang dibuat dari tumbuhan purba. Senjata itu bukan mematikan tubuh, tapi mematikan logika. Hybrid yang terkena kehilangan algoritma tempur dan hanya bisa berdiri gemetar.

Di barat, kelompok burung-pengintai menjatuhkan prisma resonansi tinggi ke titik pusat formasi Hybrid. Ledakan cahaya tidak menghancurkan, tapi membutakan sensor.

Dan di tengah semuanya, Aireen mulai bergerak. Tapi langkah-langkahnya kini berbeda. Tanah tidak hanya merespons, melainkan memberi. Cahaya mulai merambat dari tumit ke punggungnya. Rambutnya bergetar dalam udara yang tak berangin, seakan gravitasi tak lagi berlaku.

Simbiosis antara akar dan chip miliknya mencapai titik puncak. Lapisan semi-transparan menyelubungi tubuhnya seperti kristal hidup, memantulkan warna-warna bumi dan orbit. Di punggungnya, terbentuk struktur seperti sayap akar bercahaya—bukan untuk terbang, tapi untuk memperluas resonansi ke segala penjuru.

Matanya terbuka, dan tak lagi sepenuhnya manusiawi. Di dalam irisnya, garis-garis energi membentuk pola konsentris Amerta.

Suaranya terdengar ganda saat ia berbicara—suara dirinya, dan gema bumi di dalamnya.

"Aku bukan hanya anak Nayanika... bukan hanya penjaga Bentala. Aku adalah suara antara langit dan tanah."

Ia menanamkan simbol ke titik-titik tertentu, membentuk pola resonansi kuno: Lingkaran Regenerasi.

"Kael... kau lihat ini?" bisiknya.

Di bawah tanah, Kael tersenyum. Ia menutup matanya dan mulai menyatu lebih dalam dengan Amerta. Suara-suara leluhur bergema. Energi bumi mulai memusat.

Serangan balik telah dimulai. Dan untuk pertama kalinya, langit mundur setapak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama