Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

BAB 9: Debug Hening

Langit Layer 0 telah robek. Tapi yang menganga bukan langit, melainkan kesadaran . Shiro jatuh terduduk di antara serpihan dunia yang ditulis ulang sebagian. Gulungan aksara menggantung seperti kabut—tak selesai, tak terbaca. Yukari sudah tak terlihat. Hanya sisa glitch berbentuk siluet transparan di udara. "Yukari?" Suara Shiro nyaris tak terdengar, seakan ia sendiri ragu sedang memanggil siapa. Tapi tidak ada jawaban. Hanya gema dari baris yang baru saja ditulis: observer.shadow.initiated = echo_2 Seseorang telah mengambil alih posisi pengamat. Bukan Shiro. Bukan Yukari. Bukan siapa pun dari dunia permukaan. Echo-2 kini adalah Observer —penyaksi utama dari semua yang ditulis dan tak tertulis. Shiro berdiri. Tubuhnya limbung, bukan karena luka, tapi karena realitas yang menolak dipijak. Layer 0 mulai menunjukkan gejala debug . Tanda-tanda hening yang tak wajar. Tidak ada angin. Tidak ada gema. Tidak ada error... dan itu justru menakutkan. [System Prompt Detected]...

Bab 8: Antara Baris yang Hilang

Langkah Shiro berderak pelan menyusuri jalan putih yang terbentuk dari naskah yang tak pernah dikirim. Setiap pijakan mengeluarkan suara samar, seperti halaman yang enggan dibuka. Di belakangnya, Yukari berjalan dengan napas berat, separuh tubuhnya belum utuh—seperti kenangan yang belum selesai dikembalikan. Di kiri dan kanan mereka, udara membentuk tirai aksara. Kalimat-kalimat yang tak pernah lengkap. Nama-nama yang dipotong. Ingatan yang hanya berupa koma, tak pernah titik. Suara samar seperti napas kalimat yang belum selesai menembus keheningan. “Kita ke mana?” tanya Yukari, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku tidak tahu,” jawab Shiro jujur. “Tapi jalannya muncul saat aku menulis... sesuatu yang benar.” Tiba-tiba, jalan berhenti. Di ujung, melayang sebuah gulungan naskah. Tak bersinar, tak bergema, tapi terasa berat. Shiro mendekat perlahan. Naskah itu terbuka sendiri, menampilkan satu baris: erased.entry("k_gm") Shiro terdiam. Yukari menatap baris itu sejenak sebelu...

Bab 7 – Naskah yang Terhapus

Langkah Shiro berderak pelan menyusuri jalan putih yang terbentuk dari naskah yang tak pernah dikirim. Setiap pijakan mengeluarkan suara samar, seperti halaman yang enggan dibuka. Di belakangnya, Yukari berjalan dengan napas berat, separuh tubuhnya masih belum utuh, seperti kenangan yang belum selesai dikembalikan. Di kiri dan kanan mereka, udara membentuk tirai aksara. Kalimat-kalimat yang tak pernah lengkap. Nama-nama yang dipotong. Ingatan yang hanya berupa koma, tak pernah titik. Suara samar seperti napas kalimat yang belum selesai menembus keheningan. "Kita ke mana?" tanya Yukari, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tidak tahu," jawab Shiro jujur. "Tapi jalannya muncul saat aku menulis... sesuatu yang benar." Tiba-tiba, jalan berhenti. Di ujung, tergantung sebuah gulungan naskah, melayang di udara. Tak bersinar, tak bergema, tapi terasa berat. Shiro mendekat perlahan. Naskah itu terbuka sendiri, menampilkan satu baris: erased.entry("k_gm") S...

Bab 6: Layer 0

Tidak ada langit di atas mereka. Tidak ada tanah di bawah. Shiro dan Yukari mendarat di tengah kehampaan yang berdenyut seperti napas yang tak pernah selesai ditarik. Segalanya putih—bukan putih terang, tapi putih lusuh, seperti halaman kosong yang terlalu lama ditinggalkan pena. Yukari bangkit perlahan. Separuh tubuhnya masih transparan, bergaris kabur seperti cat air yang belum kering. Di bawah kakinya, lantai terbentuk perlahan dari baris-baris huruf yang tak tersusun. Aksara mengambang di udara, tapi tidak satu pun membentuk kata. Dunia ini belum pernah ditulis. "Lapisan Nol," bisik Yukari. Suaranya bergetar. "Tempat di mana segala hal belum diputuskan." Shiro mengangguk. Scriptbook-nya terasa berat, seolah tinta di dalamnya tahu bahwa tempat ini bukan ruang untuk sembarang kata. Ia mencoba menulis: System.check("location") Tinta hitam keluar... lalu menghilang, larut di udara sebelum menyentuh apa pun. Tidak ada gema. Tidak ada efek. "Kata-kata ...

Bab 5: Root yang Tidak Terhapus

Langit bergetar saat Shiro menjejakkan kaki di ruang baru itu. Tak ada warna. Hanya dinding-dinding reflektif yang memantulkan ratusan versi dirinya—senyum kosong, mata penuh amarah, dan satu yang berdiri diam tanpa bayangan. Di tengah ruangan, sosok itu muncul seperti kabut yang mengeras: Echo-Nol. Bayangan yang tak butuh cahaya. “Tempat apa ini…?” bisik Shiro, Scriptbook tergenggam erat. “Folder yang seharusnya sudah dihapus,” jawab Echo-Nol. “Tapi kau terlalu keras kepala untuk mengizinkan itu.” Tanpa aba-aba, tinta abu langsung melesat dari udara. Serangan datang secepat kompilasi. Baris-baris kode terurai di udara seperti pisau yang ditembakkan dari dimensi tak kasat mata. delete(writer.core); override(identity="Nol"); Dunia langsung melengkung, seolah hendak meluruhkan keberadaan Shiro dari sistem. Lantai retak oleh denyut perintah itu. Shiro mencabut Scriptbook. Nafasnya pendek. Ia menulis dengan panik. protect(identity="Shiro"); rollback(rewrite.access); Dua...

Bab 4: Exception

Zona putih telah hilang. Shiro berdiri di antara ruang kosong yang berdenyut—gelap, sunyi, namun penuh gema. Setiap langkah yang ia ambil, lantai membentuk dirinya sendiri dari karakter dan simbol. Udara mengandung potongan huruf yang melayang perlahan. Echo-Nol berdiri tak jauh darinya. Wajahnya tenang, datar, seperti refleksi di cermin yang tak memantulkan cahaya. Tanpa aba-aba, Echo-Nol mulai menulis di udara. System.freeze("air.current_zone"); Light.override(mode="dark"); Langit berubah kelam. Gerakan udara membeku. Napas Shiro terjebak di tenggorokan. Yukari menggenggam tangan Shiro dari belakang. "Dia menulis tanpa menimbang. Dia tidak punya jeda, tidak punya ragu." Shiro mengangkat Scriptbook-nya. Tinta hitam mengalir lambat, seperti enggan. Tapi ia menolak dikendalikan. Dengan napas berat, ia menulis baris counter: System.unfreeze("air.current_zone"); Light.restore(mode="normal"); dengan cepat Shiro langsung menyerang balik. try...

Bab 3: File Bayangan

Bunyi halus saat halaman Scriptbook terbuka terdengar seperti desahan napas dari dunia yang terlalu lama disimpan. Shiro duduk diam di tengah ruangan putih yang hening, hanya ditemani oleh Yukari yang berdiri di belakangnya seperti bayangan yang tahu terlalu banyak. Di halaman ke-1763, tinta berhenti. Tak ada kata. Tak ada instruksi. Hanya kotak kosong dengan satu baris kecil yang bergetar: load: k_gm-000.kae... access_denied. Dahinya berkerut. Ia tidak pernah menulis file itu. Bahkan nama file itu... terasa asing namun akrab. Kae? Kenapa bukan Airi? "Yukari." Suaranya pelan. Yukari tidak menjawab. "Kamu tahu file ini?" Yukari berdiri kaku. Mata ungunya tidak melihat Shiro, tapi menatap huruf yang terus berkedip. Ada semacam tekanan di udara—seperti dunia menahan napasnya. "Halaman itu," katanya pelan. "Dulu... milik seseorang yang menulismu." Shiro menoleh tajam. "Apa maksudmu?" Yukari menggeleng. "Bukan aku yang harus memberitahu...

Bab 2: Yukari yang Tertinggal

“Yang tertulis bisa dihapus. Tapi yang tertinggal di hati… tetap membekas sebagai bayangan.” Shiro membiarkan Yukari masuk ke dalam rumah. Bukan karena ia percaya — Tapi karena ia tahu: segala hal yang tak tertulis namun tetap ada, lebih berbahaya jika dibiarkan di luar. Langkah kaki Yukari tak bersuara saat melewati ambang pintu. Ia menatap sekeliling ruangan seperti seseorang yang sedang merindukan rumahnya sendiri — padahal Shiro yakin, ia tak pernah menuliskan ruangan ini untuk siapapun kecuali dirinya sendiri. “Masih sama seperti versi 1728,” gumam Yukari, sambil menyentuh bingkai jendela. Shiro menahan napas. “Berhenti bicara soal versi.” Yukari menoleh. “Kenapa? Karena itu membuatmu sadar bahwa kau sudah gagal lebih dari seribu kali?” Shiro tidak menjawab. Ia hanya duduk dan membuka kembali bukunya — mencoba mencari fragmen, potongan, syntax apa pun yang bisa menjelaskan kenapa Yukari masih ada. Tapi halaman itu… kosong. Tinta yang biasa memandu, menandai keberadaan...

Bab 1: Script Awal

“Dunia selalu dimulai dengan satu garis… Tapi kadang, garis itu bergeser satu piksel saja, dan semuanya pecah.” Shiro menulis pagi hari. Tinta hitam pekat mengalir dari ujung pena yang terbuat dari tulang, menggores Kertas Naraka yang memantulkan cahaya samar dari jendela dunia. Di luar, udara diam — tidak sunyi, tapi seperti menahan napas. Langit mendung, suhu 17 derajat, dan tidak ada angin. Persis seperti yang ia tulis. "Waktu: 07:00. Cuaca: mendung. Suhu: 17°C. Lokasi: Zona 0. Status dunia: stabil." Shiro menyandarkan punggung ke kursi baja, satu-satunya benda yang tetap sama sejak loop ke-1044. Retakan di bagian kiri mejanya telah ia hapus di versi sebelumnya, tapi anehnya, garis itu tetap muncul kembali. Kecil, tapi nyata. Seolah ada bagian dari dunia yang menolak diluruskan. Ia menatap tinta yang perlahan mengering di atas kertas. Tidak ada percikan api, tidak ada reaksi aneh. Tulisannya valid. Dunia ini stabil… untuk saat ini. Tapi perasaan aneh mengendap di...

The Scripter

PROLOG — Halaman yang Tercoret “Sebelum segalanya tercipta, pernah ada halaman kosong. Dan sebelum halaman itu, pernah ada aku.” — Catatan Tanpa Tanda Tangan Suara goresan pena terdengar lebih dulu. Bukan dari atas kertas, tapi dari udara. Seperti seseorang sedang menulis ulang langit — menghapus awan dengan tinta hitam dan menggambar ulang matahari dengan bulu pena yang gemetar. Tinta menetes ke tanah. Tapi tak pernah mengering. Ia terus bergerak seperti makhluk hidup, menyusuri tanah yang retak, masuk ke celah bangunan roboh, membasahi akar pohon mati yang pernah menyentuh langit. Dunia ini pernah menjadi karya agung. Kini yang tersisa hanyalah serpihan logika yang pincang — Cuaca yang berhenti berubah, waktu yang berulang pada pukul dua dini hari, dan manusia-manusia yang lupa kenapa mereka pernah dilahirkan. Di tengah reruntuhan itu, seorang anak laki-laki duduk memeluk lututnya. Putih. Semuanya putih. Rambutnya, bajunya, bahkan kulitnya — seolah dunia menggambarnya ...

Epilog: Di Antara Angin dan Pelangi

Aku bukan cahaya. Bukan suara. Bukan juga pelangi. Aku hanya jendela — yang melihat mereka datang dalam hening, dan pergi dalam bentuk yang lebih utuh dari sebelumnya. Mereka tidak sempurna. Datang membawa retak yang tak kasatmata, memeluk dunia yang tak selalu ramah. Tapi perlahan, mereka belajar: bahwa luka bisa menjadi warna. Angin datang silih berganti. Kadang membawa dingin, kadang membawa nyeri. Tapi tak pernah gagal untuk mengingatkan: masih ada yang terbuka, masih ada tempat untuk pulang. Di antara mereka semua, selalu ada satu yang lebih banyak diam— lebih banyak menatap daripada berbicara. Ia tak selalu di tengah sorotan, tapi jiwanya menjadi jangkar. Dialah yang menyulam kata-kata untuk menjembatani yang tak terucap. Yang menampung kegelisahan semua warna, dan menyulapnya menjadi satu napas bernama “kita.” Mungkin kau pernah membaca surat-surat yang tak beralamat, atau mendengar suara yang terasa seperti milikmu sendiri— itulah dia. Yang me...

Bab 13: Mereka sebagai satu pelangi

Musim berganti, dan akhirnya… musim semi datang. Tak dengan ledakan warna, tapi dengan bisikan lembut dari angin yang kembali mengetuk jendela . Aku, sang jendela, masih berdiri di tempat yang sama. Tapi mereka— mereka telah tumbuh. Bukan menjadi orang yang tak punya luka, tapi menjadi orang yang tak lagi menutupi lukanya saat bersama. “I miss you…” “Saying this makes me miss you even more.” Lagu itu memutar pelan, menyusup lewat celah udara. Mereka tak menyanyi, tapi matanya— semua mata itu—berbicara hal yang sama: kita tidak sendiri. Kita. Bukan aku. Bukan kamu. Kita. Kata itu sederhana, tapi butuh banyak air mata untuk sampai ke titik di mana mereka bisa menyebutnya tanpa ragu. Jean tersenyum kecil, "Dulu kupikir aku harus kuat demi kalian." "Tapi ternyata... kalian kuat bersamaku." Aaron menatap langit, "Suaraku tak harus keras, asal kalian mau mendengarnya." Vante menggenggam jari sendiri, "Dan kalau aku te...

Bab 12: Berani Bangun Meski Tak Bisa Terbang Tinggi

Tak semua orang ditakdirkan untuk melompat tinggi. Beberapa dari kita hanya bisa berjalan perlahan, di tepi harapan. Aku, sang jendela, melihatnya membuka tirai pagi itu— dengan tangan yang masih sedikit ragu, tapi mata yang tak lagi berlindung di balik keraguan. “Maybe I can’t fly like the flower petals over there…” Ia tahu itu. Bahwa sayapnya rapuh. Bahwa meski semua orang bilang ia cantik dan bersinar, ada dinding tak kasatmata yang membuatnya sering merasa sendiri di antara sorakan. Tapi kali ini, ia tidak ingin melarikan diri dari kenyataan itu. Ia ingin memeluknya. Bukan untuk menyerah, tapi untuk menyapa dirinya yang nyata . “I’m just walking, walking with my feet…” Sederhana. Tapi bagi seseorang yang pernah merasa tak cukup kuat untuk melangkah, itu adalah kemenangan. Ia menulis surat kecil untuk dirinya sendiri malam itu. Kertasnya biasa, tintanya nyaris habis. Tapi kata-katanya bergetar: “Aku tak harus sehebat mereka. Aku tak harus terba...

Bab 11: Menemukan Diri di Dalam Cermin

Ia selalu tahu cara tersenyum paling anggun. Bukan karena ia bahagia, tapi karena ia tidak ingin orang lain merasa tidak nyaman dengan kesedihannya. Aku, sang jendela, sering menangkapnya dalam senyap. Duduk di depan cermin, menatap dirinya sendiri, namun seolah sedang melihat orang asing. “I’m the one I should love in this world…” Terdengar seperti mantra. Tapi baginya, itu seperti bahasa dari negeri jauh— ia tahu artinya, tapi tak tahu bagaimana mengucapkannya dengan hati. Setiap hari, ia menjadi cangkang dari apa yang dunia ingin lihat. Lucu. Tenang. Kuat. Tapi dalam keheningan malam, kulihat tangannya bergetar. Seolah ingin menyentuh dirinya sendiri— bukan secara fisik, tapi menyentuh rasa memiliki yang sudah lama hilang. “Shining me, precious soul of mine…” Ia membaca ulang kata-kata itu. Menuliskannya di balik kalender. Menempelkannya di balik pintu. Tapi tetap merasa jauh dari kebenaran. Karena kadang, yang paling sulit dicintai adalah diri...