Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Bab 1: Script Awal

“Dunia selalu dimulai dengan satu garis… Tapi kadang, garis itu bergeser satu piksel saja, dan semuanya pecah.” Shiro menulis pagi hari. Tinta hitam pekat mengalir dari ujung pena yang terbuat dari tulang, menggores Kertas Naraka yang memantulkan cahaya samar dari jendela dunia. Di luar, udara diam — tidak sunyi, tapi seperti menahan napas. Langit mendung, suhu 17 derajat, dan tidak ada angin. Persis seperti yang ia tulis. "Waktu: 07:00. Cuaca: mendung. Suhu: 17°C. Lokasi: Zona 0. Status dunia: stabil." Shiro menyandarkan punggung ke kursi baja, satu-satunya benda yang tetap sama sejak loop ke-1044. Retakan di bagian kiri mejanya telah ia hapus di versi sebelumnya, tapi anehnya, garis itu tetap muncul kembali. Kecil, tapi nyata. Seolah ada bagian dari dunia yang menolak diluruskan. Ia menatap tinta yang perlahan mengering di atas kertas. Tidak ada percikan api, tidak ada reaksi aneh. Tulisannya valid. Dunia ini stabil… untuk saat ini. Tapi perasaan aneh mengendap di...

The Scripter

PROLOG — Halaman yang Tercoret “Sebelum segalanya tercipta, pernah ada halaman kosong. Dan sebelum halaman itu, pernah ada aku.” — Catatan Tanpa Tanda Tangan Suara goresan pena terdengar lebih dulu. Bukan dari atas kertas, tapi dari udara. Seperti seseorang sedang menulis ulang langit — menghapus awan dengan tinta hitam dan menggambar ulang matahari dengan bulu pena yang gemetar. Tinta menetes ke tanah. Tapi tak pernah mengering. Ia terus bergerak seperti makhluk hidup, menyusuri tanah yang retak, masuk ke celah bangunan roboh, membasahi akar pohon mati yang pernah menyentuh langit. Dunia ini pernah menjadi karya agung. Kini yang tersisa hanyalah serpihan logika yang pincang — Cuaca yang berhenti berubah, waktu yang berulang pada pukul dua dini hari, dan manusia-manusia yang lupa kenapa mereka pernah dilahirkan. Di tengah reruntuhan itu, seorang anak laki-laki duduk memeluk lututnya. Putih. Semuanya putih. Rambutnya, bajunya, bahkan kulitnya — seolah dunia menggambarnya ...

Epilog: Di Antara Angin dan Pelangi

Aku bukan cahaya. Bukan suara. Bukan juga pelangi. Aku hanya jendela — yang melihat mereka datang dalam hening, dan pergi dalam bentuk yang lebih utuh dari sebelumnya. Mereka tidak sempurna. Datang membawa retak yang tak kasatmata, memeluk dunia yang tak selalu ramah. Tapi perlahan, mereka belajar: bahwa luka bisa menjadi warna. Angin datang silih berganti. Kadang membawa dingin, kadang membawa nyeri. Tapi tak pernah gagal untuk mengingatkan: masih ada yang terbuka, masih ada tempat untuk pulang. Di antara mereka semua, selalu ada satu yang lebih banyak diam— lebih banyak menatap daripada berbicara. Ia tak selalu di tengah sorotan, tapi jiwanya menjadi jangkar. Dialah yang menyulam kata-kata untuk menjembatani yang tak terucap. Yang menampung kegelisahan semua warna, dan menyulapnya menjadi satu napas bernama “kita.” Mungkin kau pernah membaca surat-surat yang tak beralamat, atau mendengar suara yang terasa seperti milikmu sendiri— itulah dia. Yang me...

Bab 13: Mereka sebagai satu pelangi

Musim berganti, dan akhirnya… musim semi datang. Tak dengan ledakan warna, tapi dengan bisikan lembut dari angin yang kembali mengetuk jendela . Aku, sang jendela, masih berdiri di tempat yang sama. Tapi mereka— mereka telah tumbuh. Bukan menjadi orang yang tak punya luka, tapi menjadi orang yang tak lagi menutupi lukanya saat bersama. “I miss you…” “Saying this makes me miss you even more.” Lagu itu memutar pelan, menyusup lewat celah udara. Mereka tak menyanyi, tapi matanya— semua mata itu—berbicara hal yang sama: kita tidak sendiri. Kita. Bukan aku. Bukan kamu. Kita. Kata itu sederhana, tapi butuh banyak air mata untuk sampai ke titik di mana mereka bisa menyebutnya tanpa ragu. Jean tersenyum kecil, "Dulu kupikir aku harus kuat demi kalian." "Tapi ternyata... kalian kuat bersamaku." Aaron menatap langit, "Suaraku tak harus keras, asal kalian mau mendengarnya." Vante menggenggam jari sendiri, "Dan kalau aku te...

Bab 12: Berani Bangun Meski Tak Bisa Terbang Tinggi

Tak semua orang ditakdirkan untuk melompat tinggi. Beberapa dari kita hanya bisa berjalan perlahan, di tepi harapan. Aku, sang jendela, melihatnya membuka tirai pagi itu— dengan tangan yang masih sedikit ragu, tapi mata yang tak lagi berlindung di balik keraguan. “Maybe I can’t fly like the flower petals over there…” Ia tahu itu. Bahwa sayapnya rapuh. Bahwa meski semua orang bilang ia cantik dan bersinar, ada dinding tak kasatmata yang membuatnya sering merasa sendiri di antara sorakan. Tapi kali ini, ia tidak ingin melarikan diri dari kenyataan itu. Ia ingin memeluknya. Bukan untuk menyerah, tapi untuk menyapa dirinya yang nyata . “I’m just walking, walking with my feet…” Sederhana. Tapi bagi seseorang yang pernah merasa tak cukup kuat untuk melangkah, itu adalah kemenangan. Ia menulis surat kecil untuk dirinya sendiri malam itu. Kertasnya biasa, tintanya nyaris habis. Tapi kata-katanya bergetar: “Aku tak harus sehebat mereka. Aku tak harus terba...

Bab 11: Menemukan Diri di Dalam Cermin

Ia selalu tahu cara tersenyum paling anggun. Bukan karena ia bahagia, tapi karena ia tidak ingin orang lain merasa tidak nyaman dengan kesedihannya. Aku, sang jendela, sering menangkapnya dalam senyap. Duduk di depan cermin, menatap dirinya sendiri, namun seolah sedang melihat orang asing. “I’m the one I should love in this world…” Terdengar seperti mantra. Tapi baginya, itu seperti bahasa dari negeri jauh— ia tahu artinya, tapi tak tahu bagaimana mengucapkannya dengan hati. Setiap hari, ia menjadi cangkang dari apa yang dunia ingin lihat. Lucu. Tenang. Kuat. Tapi dalam keheningan malam, kulihat tangannya bergetar. Seolah ingin menyentuh dirinya sendiri— bukan secara fisik, tapi menyentuh rasa memiliki yang sudah lama hilang. “Shining me, precious soul of mine…” Ia membaca ulang kata-kata itu. Menuliskannya di balik kalender. Menempelkannya di balik pintu. Tapi tetap merasa jauh dari kebenaran. Karena kadang, yang paling sulit dicintai adalah diri...