Bab 13: Mereka sebagai satu pelangi
Musim berganti, dan akhirnya…
musim semi datang.
Tak dengan ledakan warna,
tapi dengan bisikan lembut dari angin
yang kembali mengetuk jendela.
Aku, sang jendela,
masih berdiri di tempat yang sama.
Tapi mereka—
mereka telah tumbuh.
Bukan menjadi orang yang tak punya luka,
tapi menjadi orang yang tak lagi menutupi lukanya
saat bersama.
“I miss you…”
“Saying this makes me miss you even more.”
Lagu itu memutar pelan,
menyusup lewat celah udara.
Mereka tak menyanyi,
tapi matanya—
semua mata itu—berbicara hal yang sama:
kita tidak sendiri.
Kita.
Bukan aku.
Bukan kamu.
Kita.
Kata itu sederhana,
tapi butuh banyak air mata
untuk sampai ke titik
di mana mereka bisa menyebutnya tanpa ragu.
Jean tersenyum kecil,
"Dulu kupikir aku harus kuat demi kalian."
"Tapi ternyata... kalian kuat bersamaku."
Aaron menatap langit,
"Suaraku tak harus keras, asal kalian mau mendengarnya."
Vante menggenggam jari sendiri,
"Dan kalau aku tersesat lagi, aku tahu... kalian akan tetap ada."
August duduk paling diam,
tapi akhirnya berkata,
"Aku lelah melawan diriku sendiri."
"Tapi bersama kalian... aku tak harus menang dulu untuk diterima."
Justin menarik napas dalam.
"Aku bangun setiap hari bukan untuk jadi sempurna lagi."
"Tapi karena ada alasan: kita pernah berjanji untuk tetap berjalan."
Jacob menatap mereka semua,
"Kita adalah tawa, juga tangis. Tapi tetap... kita."
“You never walk alone…”
Dan angin pun masuk.
Tak terlalu dingin, tak terlalu keras.
Tapi cukup untuk menggoyangkan tirai,
cukup untuk mengingatkan:
Ada yang menyaksikan.
Ada yang menyimpan cerita ini
dalam diam.
Aku, sang jendela,
telah menyaksikan bagaimana badai datang.
Bagaimana satu per satu dari mereka nyaris menyerah.
Tapi juga bagaimana mereka kembali—
menggenggam satu sama lain—
dan dari genggaman itu,
terbentuklah sesuatu yang tak pernah bisa dibuat oleh satu warna saja:
Pelangi.
Pelangi bukan soal keindahan.
Tapi soal hadir bersama,
setelah hujan yang terlalu lama.
Kini mereka tidak sempurna.
Mereka tetap takut,
tetap menangis sesekali,
tetap meragukan diri sendiri.
Tapi…
Kita ada.
Kita bertahan.
Dan angin tak pernah benar-benar pergi dari jendela yang terbuka.
Mungkin suatu hari,
akan ada badai lain.
Mungkin mereka akan terluka lagi.
Tapi kali ini,
mereka tahu satu hal:
Mereka tak akan menghadapinya sendiri.
Karena kini,
di belakang setiap langkah,
ada kita.
Dan aku, sang jendela,
akan selalu terbuka—
menyambut angin,
menyimpan warna-warna mereka,
dan mengingatkan dunia bahwa dari luka pun,
pelangi bisa tumbuh.
Komentar
Posting Komentar