Bab 6: Layer 0

Tidak ada langit di atas mereka. Tidak ada tanah di bawah.

Shiro dan Yukari mendarat di tengah kehampaan yang berdenyut seperti napas yang tak pernah selesai ditarik. Segalanya putih—bukan putih terang, tapi putih lusuh, seperti halaman kosong yang terlalu lama ditinggalkan pena.

Yukari bangkit perlahan. Separuh tubuhnya masih transparan, bergaris kabur seperti cat air yang belum kering. Di bawah kakinya, lantai terbentuk perlahan dari baris-baris huruf yang tak tersusun. Aksara mengambang di udara, tapi tidak satu pun membentuk kata. Dunia ini belum pernah ditulis.

"Lapisan Nol," bisik Yukari. Suaranya bergetar. "Tempat di mana segala hal belum diputuskan."

Shiro mengangguk. Scriptbook-nya terasa berat, seolah tinta di dalamnya tahu bahwa tempat ini bukan ruang untuk sembarang kata.

Ia mencoba menulis:

System.check("location")

Tinta hitam keluar... lalu menghilang, larut di udara sebelum menyentuh apa pun. Tidak ada gema. Tidak ada efek.

"Kata-kata biasa tak punya makna di sini," kata Yukari. "Tempat ini... bukan untuk fungsi. Tapi untuk alasan."

Shiro menggertakkan gigi. Suatu bagian dalam dirinya bergetar, seperti halaman yang belum dibuka. Ada sesuatu di sini. Bukan ancaman. Tapi juga bukan jawaban.

Ia melangkah lebih dalam. Setiap langkah menciptakan pijakan dari serpihan aksara, tetapi huruf-huruf itu pecah seperti kaca rapuh. Satu fragmen melayang ke wajahnya. Tertulis samar:

core.unknown_reference(k_gm)

Ia tertegun. Kode itu lagi.

Yukari mendekat, matanya membesar. "Itu... baris yang belum sempat terbaca. Mungkin karena bukan kau yang menulisnya, tapi dunia yang menyimpannya untukmu."

"Tapi aku tak mengerti artinya."

"Karena itu bukan ditulis oleh pikiranmu, tapi oleh kehilanganmu."

Shiro menggigil.

Tiba-tiba, udara di sekeliling mereka mengerut. Dari kejauhan, muncul getaran samar. Bukan suara. Tapi semacam irama, seperti bisikan panjang dari entitas yang menyaksikan, tapi tak ikut campur. Tidak menilai. Hanya mencatat.

Yukari menyentuh lengannya. "Dia mengamati."

"Siapa?"

"Penjaga lapisan. Yang menulis ketika semua penulis berhenti."

Langkah-langkah Shiro melemah. Tubuhnya seperti ditarik ke bawah oleh sesuatu yang tak berbentuk. Ia membuka Scriptbook—halaman-halamannya mulai buram.

Yukari perlahan memudar lagi.

"Tempat ini tak mengenalku," katanya lirih. "Karena aku ditulis untuk menjagamu... bukan untuk dicatat di sini."

Shiro menahan napas. Ia ingin menulis. Tapi tinta hitamnya tak bereaksi. Lalu, dalam keputusasaan itu, ia membuka halaman terakhir yang kosong. Menekan jari ke halaman, dan berkata lirih:

"Aku menulis... bukan untuk melawan. Tapi agar tak kehilangan lagi."

Tinta biru tua menetes dari jarinya, bukan dari pena. Perlahan, membentuk garis tipis yang mengalir dari pusat halaman ke udara.

Emotion.trace("sorrow") accept(missing=true)

Dunia merespons. Lapisan putih merekah perlahan, membentuk jalan kecil ke arah barat. Di ujungnya, ada satu naskah tergantung di udara. Tidak terbuka. Tidak terkunci. Hanya... menunggu untuk dibaca oleh seseorang yang cukup rela.

Shiro melangkah. Yukari menatapnya, sebagian tubuhnya kembali tampak.

"Kau menulis untuk menerima?"

"Tidak. Aku menulis agar tak lupa bahwa aku pernah kehilangan."

Di udara, naskah itu mengeluarkan satu kata.

Bukan nama.

Bukan tempat.

Hanya sebuah panggilan:

return: she_who_fell_before_end

Di balik naskah itu, angin yang tak tertulis mulai berputar. Di celah-celah udara yang kosong, muncul satu garis samar seperti tanda ukiran:

observer.id: nag_mia
status: silent_scribe

Shiro tak menyadari makna simbol itu sepenuhnya. Tapi sesuatu dalam dirinya mulai terasa bergeser. Seolah ada yang mulai membaca balik dirinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama