The Scripter
PROLOG — Halaman yang Tercoret
“Sebelum segalanya tercipta, pernah ada halaman kosong.
Dan sebelum halaman itu, pernah ada aku.”
— Catatan Tanpa Tanda Tangan
Suara goresan pena terdengar lebih dulu.
Bukan dari atas kertas, tapi dari udara.
Seperti seseorang sedang menulis ulang langit — menghapus awan dengan tinta hitam dan menggambar ulang matahari dengan bulu pena yang gemetar.
Tinta menetes ke tanah. Tapi tak pernah mengering.
Ia terus bergerak seperti makhluk hidup, menyusuri tanah yang retak, masuk ke celah bangunan roboh, membasahi akar pohon mati yang pernah menyentuh langit.
Dunia ini pernah menjadi karya agung.
Kini yang tersisa hanyalah serpihan logika yang pincang —
Cuaca yang berhenti berubah, waktu yang berulang pada pukul dua dini hari, dan manusia-manusia yang lupa kenapa mereka pernah dilahirkan.
Di tengah reruntuhan itu, seorang anak laki-laki duduk memeluk lututnya.
Putih. Semuanya putih. Rambutnya, bajunya, bahkan kulitnya — seolah dunia menggambarnya dengan spidol yang kehabisan tinta.
Namanya Shiro Kagami.
Meskipun ia sendiri tak yakin apakah itu nama aslinya, atau nama yang ia tulis sendiri untuk tetap bertahan.
Di pangkuannya tergeletak sebuah buku. Tua. Tebal. Kulit hitam arang. Tak ada judul di sampul, hanya sebuah simbol: ∞ — tanda tak berujung.
Dan saat buku itu terbuka sendiri, ia tahu siklus telah dimulai lagi.
“Versi ke-1763. Inisiasi ulang struktur realitas.”
“Titik awal: Kehilangan.”
Shiro menggigit bibirnya. Ia tidak terkejut. Ia hanya… lelah.
Pena muncul di tangannya — entah dari mana. Benda itu ringan, tapi dingin. Terbuat dari tulang seekor ular yang tak bisa mati.
Tinta mulai keluar, bukan dari tabung, tapi dari luka di jarinya sendiri.
Ia menulis.
Satu kalimat.
Satu permulaan.
“Biarkan semuanya dimulai… sekali lagi.”
Dan di kejauhan, seekor ular putih membuka matanya.
Ia tak pernah tidur. Ia hanya menunggu —
untuk memakan dunia yang gagal. Lagi, dan lagi.
Lalu Shiro terbangun.
Tidak ada tempat. Tidak ada waktu. Hanya kekosongan yang membentang seperti halaman kosong.
Ia duduk di kursi kayu goyah, di hadapan meja tua. Buku itu — buku tak berjudul — telah kembali, menunggu untuk dibuka.
Ia mengenalnya. Atau lebih tepatnya, buku itu mengenalnya.
Setiap kali ia membuka halaman pertama, dunia mulai berubah. Tapi hasilnya selalu sama:
Distorsi. Bug. Kehancuran.
Shiro bukan manusia biasa — atau jika pernah, ia sudah lupa rasanya menjadi manusia. Ia kini dikenal sebagai Scripter, penulis dunia. Tapi kuasa itu bukan anugerah.
Itu adalah hukuman.
Tinta di pena mulai menetes lagi — hitam kelam, menyerap cahaya.
Shiro menatap halaman kosong di depannya. Dunia harus ditulis ulang — lagi.
Namun kini, ia mulai curiga.
Mungkin buku ini tidak lagi mencatat kehendaknya.
Mungkin pena ini tidak lagi miliknya.
Dan mungkin, ia bukan penulis cerita ini —
tetapi hanya karakter yang ditulis oleh sesuatu yang lebih besar.
“Apakah aku masih menulis dunia...
atau dunia yang menulisku?”
Ia menarik napas. Meletakkan ujung pena ke kertas.
Sesuatu sedang menunggu. Di balik halaman kosong.
Komentar
Posting Komentar