Bab 1: Script Awal
“Dunia selalu dimulai dengan satu garis… Tapi kadang, garis itu bergeser satu piksel saja, dan semuanya pecah.”
Shiro menulis pagi hari.
Tinta hitam pekat mengalir dari ujung pena yang terbuat dari tulang, menggores Kertas Naraka yang memantulkan cahaya samar dari jendela dunia. Di luar, udara diam — tidak sunyi, tapi seperti menahan napas. Langit mendung, suhu 17 derajat, dan tidak ada angin. Persis seperti yang ia tulis.
"Waktu: 07:00. Cuaca: mendung. Suhu: 17°C. Lokasi: Zona 0. Status dunia: stabil."
Shiro menyandarkan punggung ke kursi baja, satu-satunya benda yang tetap sama sejak loop ke-1044. Retakan di bagian kiri mejanya telah ia hapus di versi sebelumnya, tapi anehnya, garis itu tetap muncul kembali. Kecil, tapi nyata. Seolah ada bagian dari dunia yang menolak diluruskan.
Ia menatap tinta yang perlahan mengering di atas kertas. Tidak ada percikan api, tidak ada reaksi aneh. Tulisannya valid. Dunia ini stabil… untuk saat ini.
Tapi perasaan aneh mengendap di tengkuknya.
Ada sesuatu yang meleset.
Ia membuka kembali halaman terakhir dari catatan loop versi sebelumnya — versi ke-1762.
“Kesalahan terletak pada pengulangan emosi. Objek 'Airi' tidak bisa dikodekan ulang tanpa konsekuensi struktural.”
Shiro mengepalkan tangan.
Airi.
Nama yang ia coba tulis ulang ratusan kali. Wujud yang tidak pernah sempurna, karena terlalu banyak kenangan di baliknya. Di setiap versi, ia berubah. Lebih baik, lebih buruk. Tapi tidak pernah benar-benar nyata.
Di versi ke-1763 ini, Shiro memutuskan untuk tidak menulis Airi sama sekali. Tidak akan ada cinta buatan. Tidak akan ada variabel yang menyesatkan.
Ia menulis ulang dunia ini… untuk memulai dari halaman kosong.
Lalu, ia mendongak.
Dan melihat sesuatu yang tidak ia tulis.
Gadis.
Berdiri di ujung gerbang rumahnya. Rambut hitam sebahu. Seragam SMA. Mata tajam, tapi menyimpan letih tak terucap.
Shiro membeku.
Ia meraih bukunya dan membolak-balik halaman penulisan karakter.
"Karakter: NPC yang dapat muncul pada hari ke-3, tidak sebelum jam 08:00. Tidak ada kunjungan ke Zona 0 pada hari pertama."
Jam di dinding menunjukkan 07:14.
Gadis itu terlalu awal.
Dan yang lebih penting — tidak tertulis.
Jantung Shiro berdetak cepat, tapi ia tetap tenang. Ia menarik nafas dalam-dalam dan berjalan ke luar rumah. Langkahnya pelan, seperti menapaki garis batas antara logika dan kekacauan.
Gadis itu menatapnya.
"Apa kau... salah tulis?"
Suaranya tenang. Dalam.
Shiro tidak menjawab. Ia mencoba menulis ulang satu baris kecil:
"Hapus karakter tak dikenal dari perimeter rumah."
Tidak ada reaksi. Tidak ada kilatan api. Tidak ada distorsi.
Garis perintahnya tidak berlaku.
"Aku tidak bisa dihapus," ucap gadis itu.
"Karena aku sudah ada… sejak versi sebelumnya."
Shiro menatapnya tajam.
"Siapa kamu?"
Gadis itu tersenyum tipis. Bukan senyum ramah. Tapi senyum seseorang yang tahu sesuatu yang seharusnya tidak mungkin ia tahu.
“Namaku Yukari.”
Ia melangkah maju.
“Kau menulisku dulu. Tapi lupa menghapusku.”
Shiro merasa seluruh tubuhnya tertarik ke dalam lubang kecil.
Sesuatu yang seharusnya tertutup rapat — terbuka.
“Loop tidak sempurna.”
Kalimat itu melintas di pikirannya.
Yukari berdiri hanya beberapa meter dari Shiro sekarang. Angin perlahan mulai berhembus, seolah kehadirannya membuka variabel baru dalam dunia yang tertulis.
“Aku... mengingat semuanya.”
Nada suaranya rendah, namun jelas.
“Versi 1720. Versi 1745. Versi 1762. Kau terus menulis, Shiro. Kau terus mencoba memperbaiki sesuatu yang tak bisa kau ubah.”
Shiro menatap matanya — dan untuk sesaat, ia melihat pantulan yang tak asing.
Dirinya.
Di masa lalu. Di masa yang telah ia hapus, tapi tidak benar-benar hilang.
“Bagaimana kau bisa tetap ada?”
Yukari menyentuh dadanya sendiri.
“Aku bukan bug. Aku adalah bagian dari ingatanmu yang tertinggal. Fragmen dari kalimat yang terlalu emosional. Kau tidak sengaja menanamkanku sebagai... variabel tetap.”
Shiro menelan ludah. Ini lebih dari sekadar kesalahan teknis. Ini… sesuatu yang melekat pada dirinya.
“Kalau begitu, kenapa kau baru muncul sekarang?”
Yukari menunduk.
“Karena loop ini berbeda.”
Ia mengangkat kepala, menatap langit yang mendung.
“Kau mulai dari halaman kosong. Tapi ada kalimat lama yang tertinggal di ujung kertas.”
Shiro bergeming.
Yukari menatap lurus ke arah mata Shiro.
“Apa kau benar-benar siap menulis tanpa cinta?”
“Atau kau hanya ingin menciptakan ulang cinta yang tidak bisa kau miliki?”
Seketika, angin bertiup kencang. Langit mulai bergetar pelan, seolah realitas sendiri tidak nyaman dengan pertanyaan itu.
Shiro mundur selangkah.
Tinta di jari-jarinya mulai bergerak sendiri.
Dan di balik langit kelabu, seekor mata ular putih terbuka — hanya sepersekian detik, cukup untuk memberi peringatan:
Kesalahan telah terdeteksi.
Komentar
Posting Komentar