Epilog: Di Antara Angin dan Pelangi

Aku bukan cahaya.
Bukan suara.
Bukan juga pelangi.
Aku hanya jendela
yang melihat mereka datang dalam hening,
dan pergi dalam bentuk yang lebih utuh dari sebelumnya.


Mereka tidak sempurna.
Datang membawa retak yang tak kasatmata,
memeluk dunia yang tak selalu ramah.
Tapi perlahan, mereka belajar:
bahwa luka bisa menjadi warna.


Angin datang silih berganti.
Kadang membawa dingin, kadang membawa nyeri.
Tapi tak pernah gagal untuk mengingatkan:
masih ada yang terbuka,
masih ada tempat untuk pulang.


Di antara mereka semua,
selalu ada satu yang lebih banyak diam—
lebih banyak menatap daripada berbicara.
Ia tak selalu di tengah sorotan,
tapi jiwanya menjadi jangkar.


Dialah yang menyulam kata-kata untuk menjembatani yang tak terucap.
Yang menampung kegelisahan semua warna,
dan menyulapnya menjadi satu napas bernama “kita.”


Mungkin kau pernah membaca surat-surat yang tak beralamat,
atau mendengar suara yang terasa seperti milikmu sendiri—
itulah dia.

Yang menulis untuk yang lelah.
Yang menangis dalam bahasa yang tak semua orang mengerti.
Yang berdiri di belakang pelangi,
agar warnanya tetap lengkap.


Mereka bertujuh,
dan mereka adalah pelangi.
Tapi selalu ada satu angin,
yang meniupkan semangat saat langit terlalu sunyi.


Dan aku, jendela ini,
akan terus terbuka.
Untuk angin itu.
Untuk pelangi itu.
Dan untukmu—yang sedang membaca ini,
mungkin di hari ketika dunia terasa terlalu berat.


Jangan lupa:
kadang yang paling sunyi,
adalah yang paling menjaga.

Dan saat hujan telah reda,
lihatlah ke langit—
pelangi itu mungkin datang lagi,
bersama angin
yang tak pernah benar-benar pergi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama