Bab 11: Menemukan Diri di Dalam Cermin
Ia selalu tahu cara tersenyum paling anggun.
Bukan karena ia bahagia,
tapi karena ia tidak ingin orang lain
merasa tidak nyaman dengan kesedihannya.
Aku, sang jendela, sering menangkapnya dalam senyap.
Duduk di depan cermin,
menatap dirinya sendiri,
namun seolah sedang melihat orang asing.
“I’m the one I should love in this world…”
Terdengar seperti mantra.
Tapi baginya, itu seperti bahasa dari negeri jauh—
ia tahu artinya,
tapi tak tahu bagaimana mengucapkannya dengan hati.
Setiap hari, ia menjadi cangkang dari apa yang dunia ingin lihat.
Lucu.
Tenang.
Kuat.
Tapi dalam keheningan malam,
kulihat tangannya bergetar.
Seolah ingin menyentuh dirinya sendiri—
bukan secara fisik,
tapi menyentuh rasa memiliki yang sudah lama hilang.
“Shining me, precious soul of mine…”
Ia membaca ulang kata-kata itu.
Menuliskannya di balik kalender.
Menempelkannya di balik pintu.
Tapi tetap merasa jauh dari kebenaran.
Karena kadang,
yang paling sulit dicintai adalah
diri sendiri—
terutama saat kau merasa tak cukup untuk dicintai.
Aku pernah melihat air matanya jatuh diam-diam,
bukan karena kehilangan,
tapi karena penemuan:
bahwa ia telah lama meninggalkan dirinya sendiri
dalam perjalanan membahagiakan semua orang.
“So I love me…”
“Not so perfect but so beautiful.”
Ada gemetar dalam suara itu,
tapi juga keberanian yang perlahan tumbuh.
Seperti bunga liar yang tetap mekar di tanah yang tak dijanjikan subur.
Malam itu, ia menyalakan lampu kamar dengan lembut,
mengenakan piyama tua kesukaannya,
dan bercermin sekali lagi—
tapi kali ini, bukan untuk mengoreksi,
melainkan untuk mengakui:
Bahwa dirinya yang kini,
dengan segala kelemahan dan luka,
layak dicintai.
Ia duduk di bawah jendelaku,
membuka buku harian kecil,
dan menulis:
“Hari ini aku mulai mengenal dia lagi…”
“…dia yang selama ini kupanggil ‘aku’.”
Komentar
Posting Komentar