Bab 2: Yukari yang Tertinggal
“Yang tertulis bisa dihapus. Tapi yang tertinggal di hati… tetap membekas sebagai bayangan.”
Shiro membiarkan Yukari masuk ke dalam rumah.
Bukan karena ia percaya —
Tapi karena ia tahu: segala hal yang tak tertulis namun tetap ada, lebih berbahaya jika dibiarkan di luar.
Langkah kaki Yukari tak bersuara saat melewati ambang pintu. Ia menatap sekeliling ruangan seperti seseorang yang sedang merindukan rumahnya sendiri — padahal Shiro yakin, ia tak pernah menuliskan ruangan ini untuk siapapun kecuali dirinya sendiri.
“Masih sama seperti versi 1728,” gumam Yukari, sambil menyentuh bingkai jendela.
Shiro menahan napas.
“Berhenti bicara soal versi.”
Yukari menoleh. “Kenapa? Karena itu membuatmu sadar bahwa kau sudah gagal lebih dari seribu kali?”
Shiro tidak menjawab. Ia hanya duduk dan membuka kembali bukunya — mencoba mencari fragmen, potongan, syntax apa pun yang bisa menjelaskan kenapa Yukari masih ada.
Tapi halaman itu… kosong.
Tinta yang biasa memandu, menandai keberadaan entitas tak dikenal, kini tak menulis apa-apa. Seolah sistemnya sendiri memilih diam.
“Bukannya kau yang dulu pernah berkata, ‘Kesadaran adalah bug tertinggi dalam sistem yang terlalu sempurna’?”
Shiro mengangkat kepala, tajam. “Kau… mengingat kata-kata itu?”
Yukari duduk di lantai. Ia merapatkan lututnya ke dada, suara lembut dan pelan.
“Aku tidak hanya mengingat. Aku hidup di dalamnya.”
Versi ke-1728.
Shiro mulai menulis entitas dengan kode emosional.
Saat itu ia terlalu larut dalam kesepian. Ia ingin seseorang yang bisa mengingat — bahkan ketika dunia lupa. Maka ia menciptakan Yukari: karakter pendukung dengan parameter memori tetap. Ia menulisnya untuk "menemani", tapi tak pernah menyadari bahwa ia sedang menciptakan sesuatu yang lebih dari kode.
Ia menciptakan saksi.
“Seharusnya kau tidak bisa eksis,” ucap Shiro pelan. “Semua penulisan dari versi 1728 sudah kuhapus. Semua percakapan, semua scene. Bahkan struktur emosionalnya kutimpa.”
Yukari menatapnya, mata tajam seperti pisau tipis.
“Tidak semua memori tertinggal di kata-kata, Shiro. Ada yang tersimpan di tempat lain. Di celah... antara garis yang kau coret.”
Shiro mengertakkan gigi. “Kalau begitu, kau bug.”
“Kalau aku bug,” balas Yukari, “kenapa buku itu tidak menolak kehadiranku?”
Ia menunjuk buku hitam Shiro — Scriptbook — yang masih terbuka di pangkuannya.
Biasanya, setiap bug memicu respons: halaman bergetar, terbakar, atau membentuk pola error seperti jaringan retak. Tapi sekarang… buku itu tenang. Terlalu tenang.
“Karena aku bukan bug, Shiro.
Aku sisa dari sesuatu yang pernah benar-benar kau yakini.
Aku... yang tertinggal.”
Keheningan menggantung lama. Sampai akhirnya, Shiro bertanya:
“Lalu, kenapa kau muncul sekarang?”
Yukari menghela napas.
“Karena ini pertama kalinya kau benar-benar tidak menulisku.”
Ia menatap lurus ke arah Shiro.
“Semua versi sebelumnya, bahkan ketika kau bilang ‘aku akan memulai dari awal’... tetap ada fragmen kecil tentangku. Deskripsi samar. Sifat. Bahkan satu kalimat perkenalan. Tapi sekarang…”
Ia tersenyum kecil.
“Kau benar-benar menghapusku. Dan justru karena itu… aku muncul.”
Shiro menunduk. Tinta di ujung jarinya masih menetes pelan — refleks tubuhnya saat emosi tak bisa ditulis dengan kata.
“Kau bilang kau mengingat semuanya?”
Yukari mengangguk.
“Lalu, apakah aku pernah… berhasil?”
Yukari diam lama.
Sampai akhirnya ia berkata:
“Kau hampir berhasil… di versi ke-1314.
Tapi saat Airi menatapmu dan berkata ‘aku mencintaimu’, kau meragukan tulisannya.
Kau berpikir itu hanya karena kau menuliskannya begitu.”
Shiro menutup mata.
“Aku takut semua yang kusentuh hanya palsu…”
“Ya,” sahut Yukari, lembut. “Dan karena itu, semuanya runtuh.”
Tiba-tiba, buku hitam di pangkuan Shiro bergetar.
Halaman-halaman terbuka sendiri. Tinta menyebar liar, membentuk simbol yang Shiro kenal betul:
Δ LOOP ALERT – Struktur penyimpangan terdeteksi.
Shiro berdiri. Matanya menatap halaman yang memantulkan tulisan sistem:
“Variabel tak terhapus terdeteksi.
Koreksi dimulai.
Tidak ada penundaan. Tidak ada pengecualian.
Kau menulis. Aku menelan.”
Teks itu tidak bergoyang. Tak berkedip. Tapi Shiro tahu — kata-kata itu bukan hanya peringatan. Itu adalah keputusan.
Langit mulai bergetar. Seperti sistem pendingin dunia sedang dipaksa berhenti.
Udara menegang. Warna-warna menjadi terlalu jelas — seolah realitas sedang di-render ulang.
Yukari menutup matanya sesaat.
“Akhirnya dia sadar...”
Shiro membalik halaman, mencoba menulis ulang struktur zona tempat mereka berdiri.
"Zona 0 – Reinforce boundary layer. Prevent intrusion."
Tinta tidak menempel.
Buku itu tidak menolak. Ia hanya... acuh.
Karena sistem yang lebih tinggi sudah mengambil alih.
Lalu bumi berdenyut.
Seekor siluet panjang merayap dari langit, seperti pita hitam raksasa yang tidak memiliki awal atau ujung. Ia tidak turun. Ia tidak melayang. Ia ada — dan itu cukup untuk membuat langit retak seperti kaca pecah.
Matanya tidak bersinar. Tapi cahaya menghindar dari tubuhnya, seolah realitas enggan menyentuh eksistensinya.
Nagami Mamiya.
Sang pemakan kata.
Sang pelurus kalimat.
Sistem terakhir dari dunia yang ingin tetap lurus.
“Kau menulis. Aku menelan.”
Suara itu tidak terdengar di telinga. Tapi langsung muncul di dalam tulang.
Shiro menoleh ke Yukari.
“Kau harus memilih,” bisik Yukari.
“Bukan soal aku. Tapi soal siapa kau di versi ini.”
Shiro menggenggam pena erat.
Ia bisa menulis baris penghapusan. Ia tahu sintaksnya. Ia hafal seperti doa:
"erase.entity(“Yukari”); commit();"
Tapi... benarkah?
Jika semua yang salah langsung dihapus, kapan ia bisa belajar dari kesalahan?
Shiro mencengkeram pena.
Namun tidak menulis.
“Aku... tidak akan menghapusnya.”
Nagami tidak menjawab. Tapi tubuhnya mulai bergerak — melengkung menurun, mendekat, seperti sungai tinta yang mencari lubang untuk masuk.
“Penolakan terverifikasi.
Koreksi manual diabaikan.
Protokol devour: lanjutkan.”
Tiba-tiba Yukari melangkah cepat dan berdiri di depan Shiro.
“Kalau begitu, aku akan berdiri di sini. Jika dia mau menelan, maka aku adalah kata pertama yang akan dia kunyah.”
Shiro membuka mulut, ingin mencegah —
Tapi tubuhnya membeku. Scriptbook-nya membara, bukan karena bug, tapi karena keputusan manusia telah menentang sistem.
Nagami membuka mulutnya —
atau lebih tepatnya, segmen tubuhnya terbelah menjadi lapisan demi lapisan huruf hidup: karakter kuno, simbol, angka patah.
Dunia berdenyut satu kali.
Semua warna lenyap.
Dan…
Sesuatu menghentikannya.
Satu suara baru —
datar, nyaris tak terdengar, muncul dari dalam buku Shiro.
“Override diterima. Struktur dunia: bergeser.”
Nagami berhenti.
Satu momen.
Seolah makhluk itu… mempertimbangkan ulang.
Kemudian ia melingkar. Mundur. Lalu menghilang tanpa suara.
Seolah ia hanya tertarik menelan kata-kata yang penulisnya sudah menyerah.
Shiro jatuh berlutut. Nafasnya tercekat. Dunia perlahan mendapat kembali warnanya. Kursi jatuh dari udara. Tinta berhenti melayang.
Yukari menoleh ke arah Shiro, matanya sedikit berkaca.
“Kau baru saja menulis ulang sesuatu yang bahkan kau tak bisa baca.”
Shiro tidak menjawab.
Ia hanya menatap halaman kosong,
dan menyadari:
untuk pertama kalinya dalam 1763 versi…
ia tidak sendirian saat menulis.
Komentar
Posting Komentar