Bab 12: Berani Bangun Meski Tak Bisa Terbang Tinggi
Tak semua orang ditakdirkan untuk melompat tinggi.
Beberapa dari kita
hanya bisa berjalan perlahan,
di tepi harapan.
Aku, sang jendela,
melihatnya membuka tirai pagi itu—
dengan tangan yang masih sedikit ragu,
tapi mata yang tak lagi berlindung di balik keraguan.
“Maybe I can’t fly like the flower petals over there…”
Ia tahu itu.
Bahwa sayapnya rapuh.
Bahwa meski semua orang bilang ia cantik dan bersinar,
ada dinding tak kasatmata
yang membuatnya sering merasa sendiri
di antara sorakan.
Tapi kali ini,
ia tidak ingin melarikan diri dari kenyataan itu.
Ia ingin memeluknya.
Bukan untuk menyerah,
tapi untuk menyapa dirinya yang nyata.
“I’m just walking, walking with my feet…”
Sederhana.
Tapi bagi seseorang yang pernah merasa
tak cukup kuat untuk melangkah,
itu adalah kemenangan.
Ia menulis surat kecil untuk dirinya sendiri malam itu.
Kertasnya biasa, tintanya nyaris habis.
Tapi kata-katanya bergetar:
“Aku tak harus sehebat mereka.
Aku tak harus terbang tinggi.
Tapi aku akan tetap bangun tiap pagi, dan berjalan sejauh yang kubisa.”
Dan di ujung surat itu,
ia menggambar tangannya sendiri.
Tangan yang mungkin tak sempurna,
tapi telah banyak menggenggam luka
tanpa pernah benar-benar melepaskannya.
“It’s my fate, it’s my fate…”
“Still, I want to struggle and fight.”
Malam itu, tak ada kembang api.
Tak ada sorakan.
Tapi ada satu langkah kecil dari lantai ke luar jendela,
ke balkon yang dingin.
Ia berdiri lama di sana.
Memandang bintang,
dan akhirnya membiarkan dirinya bernapas—
tanpa beban jadi sempurna.
Ia tidak sedang bangkit.
Ia tidak sedang menang.
Ia hanya…
bangun.
Dan itu, bagiku, sudah lebih dari cukup.
Komentar
Posting Komentar