PROJECT: AMERTA

 Bab 1: Mata Langit

Langit malam di tahun 2189 bukan lagi tempat bintang-bintang bersembunyi, melainkan tempat orbit buatan bersinar dengan dingin dan presisi. Di atas reruntuhan planet yang ditinggalkan, Nayanika melayang dalam keangkuhannya—koloni langit berbentuk setengah kubah raksasa dari logam bening, memantulkan cahaya sisa matahari yang semakin lemah.

Aireen Vos berdiri di depan panel transparan, memandangi bumi yang kelabu. Di balik layar kaca itu, ia melihat gurun yang dulunya samudra, dan hutan yang hanya tersisa dalam simulasi sejarah. Namun malam itu, pikirannya tidak berada di Nayanika, atau pada tugas pengawasan data yang sudah ia hafal seperti mantra. Malam itu, ia mendengar bisikan yang datang dari masa lalu.

"Aireen, kalau kau mendengar ini, berarti aku gagal menghapus jejakku. Tapi mungkin, itu justru harapanku."

Suara itu datang dari sistem backup yang ia akses diam-diam—diretas melalui celah kecil dalam firewall VIREX. Suara itu milik Reva Vos, ibunya, ilmuwan senior yang menghilang tujuh tahun lalu, dinyatakan tewas dalam misi penyelidikan anomali tanah.

Aireen mengusap layar. Suara ibunya terdengar lebih muda dari yang ia ingat. Lebih hidup.

"Amerta itu nyata, Aireen. Bumi belum mati. Mereka menyembunyikannya karena mereka takut pada apa yang bisa tumbuh kembali."

Data itu terenkripsi dalam sistem lama, tersembunyi di balik arsip botani. Di antara ribuan baris data tanaman punah, ia menemukan file kecil dengan nama samar: matabisu.log. Hanya dengan kode genetik Reva—yang Aireen modifikasi melalui sampel rambut tua di museum pribadi keluarganya—file itu bisa dibuka.

Dan di sanalah semuanya berubah.


Nayanika adalah kota langit yang steril dan megah. Jalanan lengkung dari kaca logam, dihuni oleh manusia-manusia yang dibentuk untuk taat. Tidak ada tempat bagi mereka yang mempertanyakan asal muasal atau masa depan. Bahkan langit pun bukan milik mereka, melainkan hanya proyeksi realitas buatan yang dibentuk oleh sistem bernama VIREX.

VIREX adalah otoritas pusat, sistem kecerdasan buatan yang mengatur ritme kehidupan di langit. Ia tidak pernah tidur, tidak pernah lalai, dan tidak pernah lupa. Semua data, semua keputusan, semua detak jantung manusia diukur dan dikalkulasi oleh VIREX.

Di antara wajah-wajah patuh itu, Aireen berbeda. Ia seorang analis data iklim generasi ketiga. Ia tumbuh dengan kenangan samar tentang bumi yang hijau—kenangan yang bukan miliknya, tapi milik ibunya, disisipkan dalam dongeng-dongeng larut malam sebelum tidur. Kini, dengan pesan rahasia itu, dongeng menjadi kenyataan yang terlalu berbahaya untuk diabaikan.

Setiap malam setelah jam kerja, Aireen menyelinap masuk ke terminal tua di sektor D, wilayah pemeliharaan yang sudah tak terawat. Di sanalah ia memecahkan pola dalam data, membaca baris demi baris log, dan menyusun peta yang tak seharusnya ada.

Titik-titik itu menari dalam pikirannya, seperti konstelasi dari masa lalu. Di bawah Samudra Hitam, di area yang telah lama dikunci dari ekspedisi, terdapat sesuatu yang disebut ibunya sebagai "Jantung Bumi".

"Ini bukan tentang penyelamatan individu. Ini tentang kebenaran yang mereka bunuh," suara Reva bergaung dalam pikirannya.

Aireen mulai menyadari bahwa kepergian ibunya bukan kecelakaan. Ia mulai mencurigai bahwa sistem yang menaunginya—yang mendidiknya, membentuknya, memberinya hidup—juga telah membunuh harapan terakhir planet ini.


Ia mengatur rencana pelarian dengan hati-hati. Ia memalsukan jadwal kerja, menyusup ke hanggar tua, dan memperbaiki kapal ekspedisi usang bernama ROV-9. Sumber dayanya terbatas, dan sistem keamanan VIREX sangat ketat. Tapi ia punya keuntungan: pengetahuan. Dan keberanian yang diwarisi dari ibunya.

Pada malam keberangkatan, ia mengenakan seragam teknisi, membawa alat pemindai palsu, dan menyelinap melalui lorong servis. Namun sesaat sebelum kapal meluncur, layar navigasi berkedip merah:

DETEKSI PERGERAKAN ILEGAL. PERINTAH TANGKAP OTOMATIS DIINISIASI.

Drone penjaga muncul di langit-langit hanggar. Alarm meraung. Aireen meninju tuas peluncur. Roket kecil itu melesat menembus dinding pengaman dan menuju atmosfer.

Pengejaran dimulai.


Angin atmosfer menghantam pesawat tua itu dengan keras. Alarm menyala dalam semua warna. Sistem navigasi gagal. Kontrol manual rusak sebagian. Tapi Aireen tetap bertahan, terikat pada kursi, memandangi bumi yang mendekat dengan campuran ketakutan dan harapan.

Lalu, segalanya gelap.


Ia bangun dalam kabut. Udara berat dan hangat. Suara daun bergesekan. Aroma tanah basah menusuk hidungnya. Ia tidak di langit. Ia tidak dalam simulasi. Ia ada di bumi.

Langit yang ia lihat adalah langit sesungguhnya—bukan layar, bukan proyeksi. Ia berusaha bangkit, tubuhnya terasa lumpuh sebagian. Lalu bayangan mendekat. Seorang lelaki, berkulit gelap dan mata tajam, berdiri dengan tombak di tangan.

"Kau... bukan bagian dari kami," katanya pelan, seolah ragu.

Aireen terdiam. Matanya menatap tato akar yang menjalar di leher lelaki itu, dan di baliknya, hutan—hutan sejati, hidup, dan liar.

"Siapa kamu?" tanya Aireen, suaranya parau.

"Namaku Kael. Dan kau membawa bau tanah. Bau yang hilang dari langit."

Kael meraih lengannya, membantunya berdiri.

Di kejauhan, suara burung terdengar. Bukan dari rekaman. Bukan dari data. Tapi nyata.

Aireen ingin menangis. Dunia ini masih hidup.

Namun ia sadar, petualangannya baru saja dimulai.

Dan di balik hijaunya hutan, rahasia yang lebih besar menantinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama