Epilog – Hidup yang Ia Wariskan

Toko bunga kecil itu berdiri di sudut jalan yang selalu disinari matahari pagi. Namanya “Eliora Bloom”—toko milik Kayla yang perlahan menjadi tempat paling ramai di kota saat orang-orang sedang tak tahu harus bagaimana menghadapi hidup.

Aku berdiri tak jauh dari sana, menatap rak buku best seller di toko buku terbesar seberang jalan. Di sana, wajahku terpajang dengan tulisan:
"Kau Tak Harus Kuat Hari Ini – Zayka Seliya Tari"
Best Seller Nasional 2 Tahun Berturut-turut.

Lucu ya. Dulu aku tak tahu harus hidup seperti apa. Sekarang… aku hidup sepenuhnya. Dengan jujur. Dengan tulus. Dan dengan air mata yang tak lagi mengandung luka, melainkan syukur.

Kayla datang menghampiriku, masih dengan celemek bertuliskan “peluk bunga, jangan beban”. Ia tersenyum, mengibaskan rambut pendeknya yang tumbuh lebih sehat sekarang.

“Aku lihat bukumu bakal diadaptasi jadi film,” katanya ringan.

Aku mengangguk pelan. “Kamu juga. Toko bungamu jadi rujukan semua pasangan yang mau nikah. Ironi ya, kita dua orang yang ditinggalkan… malah jadi tempat orang lain belajar bertahan.”

Kami tertawa. Ringan. Tanpa beban. Tanpa rasa kehilangan yang menggantung seperti dulu.

“Kadang aku mikir,” kata Kayla sambil duduk di bangku panjang trotoar, “hidup kita bisa begini karena satu orang yang diam-diam mengubah segalanya.”

Aku menoleh. “Elio.”

Kayla mengangguk.

Aku membuka dompet kecil yang selalu kubawa. Di dalamnya, surat terakhir itu. Masih tertutup. Masih rapi. Tak pernah sekalipun kubuka.

“Aku masih menyimpannya,” kataku.

Kayla mengeluarkan dompetnya. Surat itu juga ada di sana. “Aku juga.”

Kami terdiam sejenak. Mata kami bertemu, lalu sama-sama tersenyum.

“Lucu ya,” gumamku. “Dia ninggalin kita dengan kata-kata terakhir, tapi kita malah memilih tidak membacanya.”

“Karena kita tahu… kita tak butuh kata-kata terakhirnya,” sahut Kayla, lembut. “Kita sudah hidup dengan semua yang dia ajarkan.”

Aku mengangguk. Ada benjolan hangat di dadaku—bukan air mata, tapi semacam pelukan dari jarak yang tak terlihat.

“Kalau dia lihat kita sekarang, aku yakin dia bakal senyum,” ujarku pelan.

Kayla meraih tanganku. “Dan mungkin… dia juga ikut bahagia.”

Kami duduk lama di sana, dikelilingi cahaya pagi dan kesibukan dunia. Tapi hati kami tenang. Kami sudah menerima. Sudah bertumbuh. Sudah melangkah.

Karena kadang, hidup memang tidak tentang siapa yang tinggal, tapi tentang siapa yang pergi… dan tetap tinggal, dalam cara yang tak pernah bisa dijelaskan.

Dan surat itu?
Akan tetap tersimpan.
Tak akan pernah dibuka.
Karena kami tahu, isinya sudah tertulis dalam hidup kami hari ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog – Denting Terakhir

DENTING

Bab 2 – Laut yang Tak Lagi Sama